Ambon, 20/2 (Antara Maluku) - Presiden Joko Widodo mengharapkan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPB) di wilayah perbatasan Negeri Suli dan Tulehu, Kecamatan Salahutu (Pulau Ambon), Kabupaten Maluku Tengah, tidak menjadi proyek mangkrak.
"Saat menghadiri peringatan HPN di Ambon, Kepala Negara sempat meninjau proyek PLTU di Waai dan sempat menyatakan harapannya ada proyek PLTPB yang ditangani PLN tidak mangkrak," kata Ketua Komisi A DPRD Maluku Melki Frans di Ambon, Senin.
Penegasan Melki Frans disampaikan dalam rapat kerja antara komisi dengan BPN, Biro Hukum Setda Maluku, pihak PT. PLN (Persero) Wilayah Maluku-Malut, 17 warga pemilik lahan dan tanaman asal Negeri Tulehu serta keluarga Pattirane yang juga selaku pemilik lahan.
Menurut dia, Komisi A melakukan mediasi dengan kedua pihak untuk menyelesaikan persoalan lahan seluas 4,8 hektare yang dijadikan lokasi plan B dari pihak PLN untuk membangun PLTPB.
"Sekarang lahan ini sudah menjadi milik PLN karena sudah dibayarkan, hanya saja kepada pihak siapa yang berhak menerimanya masih terjadi perdebatan sehingga PLN melakukan konsinyasi dengan menitipkan dana Rp4,5 miliar ke Pengadilan Negeri Ambon," katanya.
Konsinyasi ini sudah berlangsung lebih dari tiga tahun dan ada dua opsi untuk pencairan anggaran tersebut.
Yang pertama adalah opsi gugatan secara perdata ke pengadilan sampai ada putusan hukum tetap yang inkrah menyatakan siapa pemilik lahan yang sah, sedangkan opsi kedua adalah upaya perjanjian damai antara para pihak.
Bila ada kesepakatan damai maka DPRD bersama BPN dan Biro Hukum bersama-sama membuat surat ke pengadilan agar uang itu bisa cair dan dilakukan pembayaran, tetapi yang jelas kedua pihak sepakat tidak akan mengganggu aktivitas PLN.
"Konsinyasi tidak ada limit waktu, hanya saja uangnya menyusut setiap tahun karena nilai uang turun," katanya.
Pemangku adat dan ketua Saniri Negeri Tulehu, Ramly Nahumarury mengatakan, secara phykologi masyarakat tetap menganggap ini adalah hak ulayat turun temurun berarti ada solusi yang saling menguntungkan di situ.
"Kita juga harus mendapat bagian dari itu, dan hari ini kita tidak bisa putuskan," tandasnya.
Dia juga mengakui bukan pemilik lahan tetapi selaku pemangku adat dan ketua saniri negeri mewakili 17 warga Tulehu, dan yang perlu ada kesepakatan bersama agar program PLN berjalan untuk kepentingan masa depan masyarakat daerah ini.
"Kami tidak pernah menghambat dan kalau untuk kepentingan umum, kita akan maju bersama-sama," ujarnya.
Sementara dari Negeri Suli, Markus Patirane dan Yonaes Waisapy/ Pattirane mengatakan, pihaknya telah menyurati Haman Kotta di Tulehu dan menyatakan tanaman di lokasi Plan B PLTPB adalah milik 17 warga Tulehu.
"Dalam surat ini juga dimintakan agar warga Tulehu bersatu dengan marga Pattirane dari Suli untuk sama-sama menolak keluarga Markus Sitanala yang tidak memiliki lahan di objek sengketa," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2017
"Saat menghadiri peringatan HPN di Ambon, Kepala Negara sempat meninjau proyek PLTU di Waai dan sempat menyatakan harapannya ada proyek PLTPB yang ditangani PLN tidak mangkrak," kata Ketua Komisi A DPRD Maluku Melki Frans di Ambon, Senin.
Penegasan Melki Frans disampaikan dalam rapat kerja antara komisi dengan BPN, Biro Hukum Setda Maluku, pihak PT. PLN (Persero) Wilayah Maluku-Malut, 17 warga pemilik lahan dan tanaman asal Negeri Tulehu serta keluarga Pattirane yang juga selaku pemilik lahan.
Menurut dia, Komisi A melakukan mediasi dengan kedua pihak untuk menyelesaikan persoalan lahan seluas 4,8 hektare yang dijadikan lokasi plan B dari pihak PLN untuk membangun PLTPB.
"Sekarang lahan ini sudah menjadi milik PLN karena sudah dibayarkan, hanya saja kepada pihak siapa yang berhak menerimanya masih terjadi perdebatan sehingga PLN melakukan konsinyasi dengan menitipkan dana Rp4,5 miliar ke Pengadilan Negeri Ambon," katanya.
Konsinyasi ini sudah berlangsung lebih dari tiga tahun dan ada dua opsi untuk pencairan anggaran tersebut.
Yang pertama adalah opsi gugatan secara perdata ke pengadilan sampai ada putusan hukum tetap yang inkrah menyatakan siapa pemilik lahan yang sah, sedangkan opsi kedua adalah upaya perjanjian damai antara para pihak.
Bila ada kesepakatan damai maka DPRD bersama BPN dan Biro Hukum bersama-sama membuat surat ke pengadilan agar uang itu bisa cair dan dilakukan pembayaran, tetapi yang jelas kedua pihak sepakat tidak akan mengganggu aktivitas PLN.
"Konsinyasi tidak ada limit waktu, hanya saja uangnya menyusut setiap tahun karena nilai uang turun," katanya.
Pemangku adat dan ketua Saniri Negeri Tulehu, Ramly Nahumarury mengatakan, secara phykologi masyarakat tetap menganggap ini adalah hak ulayat turun temurun berarti ada solusi yang saling menguntungkan di situ.
"Kita juga harus mendapat bagian dari itu, dan hari ini kita tidak bisa putuskan," tandasnya.
Dia juga mengakui bukan pemilik lahan tetapi selaku pemangku adat dan ketua saniri negeri mewakili 17 warga Tulehu, dan yang perlu ada kesepakatan bersama agar program PLN berjalan untuk kepentingan masa depan masyarakat daerah ini.
"Kami tidak pernah menghambat dan kalau untuk kepentingan umum, kita akan maju bersama-sama," ujarnya.
Sementara dari Negeri Suli, Markus Patirane dan Yonaes Waisapy/ Pattirane mengatakan, pihaknya telah menyurati Haman Kotta di Tulehu dan menyatakan tanaman di lokasi Plan B PLTPB adalah milik 17 warga Tulehu.
"Dalam surat ini juga dimintakan agar warga Tulehu bersatu dengan marga Pattirane dari Suli untuk sama-sama menolak keluarga Markus Sitanala yang tidak memiliki lahan di objek sengketa," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2017