Saumlaki, 29/4 (Antara Maluku) - Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), Marulak Togatorop meminta pemerintah dan DPRD setempat menyusun RTRW daerah tersebut sesuai dengan kebutuhan perekonomian masyarakat di setiap desa.

"Tidak hanya hanya terbatas pada beberapa desa dan kecamatan sebagaimana rencana revisi RTRW yang disampaikan oleh Ketua DPRD MTB belum lama ini," katanya di Saumlaki, Sabtu.

Menurut Marulak, penyesuaian itu akan mempermudah sertifikasi lahan, karena masyarakat hanya bisa memiliki lahan yang diakui hak-hak keperdataannya jika diperjelas dalam RTRW.

Mengubah RTRW itu harus menyeluruh di setiap desa dan tidak terbatas pada kecamatan-kecamatan tertentu.

"Zona-zona harus dipetakan dengan jelas, jangan zona-zona pada wilayah tertentu saja, misalnya hanya dari Saumlaki sampai Bandara Mathilda Batlayeri, terus bagaimana masyarakat di kecamatan lain?" katanya.

Ia mengungkapkan, RTRW di MTB belum ditetapkan dengan mempertimbangkan kepastian wilayah, sehingga banyak perkampungan yang tidak bisa dikembangkan karena sudah masuk kawasan hutan.

Kawasan hutan di sejumlah desa di MTB saat ini sudah berubah menjadi lahan pertanian, bahkan ada pula lahan perkebunan masyarakat yang masih dikategorikan dalam kawasan hutan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Maluku.

"Jangankan lahan pertanian, bila tapal batas hutan ada di tengah-tengah desa yang masyarakatnya sudah puluhan hingga ratusan tahun tinggal di situ, maka kita tidak bisa sertifikatkan," katanya.

Marulak mencontohkan kegagalan sertifikasi lahan oleh BPN tahun 2016 di desa Tenaman dan Mitak, kecamatan Wuarlabobar, karena pusat pemukiman dan wilayah perkebunan warga yang telah dikelola puluhan hingga ratusan tahun tersebut ternyata diklaim oleh pihak Dinas Kehutanan Provinsi Maluku sebagai kawasan hutan lindung.

Sehubungan dengan itu, ia menyarankan agar penentuan tapal batas wilayah hutan di setiap desa harus disesuaikan dengan RTRW, sehingga nantinya digunakan sebagai dasar oleh pemerintah daerah saat mengusulkan ke Kementerian Kehutanan untuk mengubah tapal batas daerah-daerah pengembangan yang saat ini masih berstatus kawasan hutan.

Contoh lainnya, dalam program PTSL tahun 2017 di kecamatan Wertamrian, hanya permukiman penduduk yang bisa disertifikatkan, sementara lahan pertanian mereka di dekat perkampungan tidak bisa karena terkendala peta dari pusat.

"Dengan demikian, dalam pembahasan RTRW perlu ditetapkan tapal batas kawasan hutan itu berapa kilo meter dari pemukiman penduduk desa," katanya.

Sebelumnya, Ketua DPRD MTB, Simson Lobloby mengatakan Pemerintah Daerah dan DPRD setempat telah bersepakat untuk merevisi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang diagendakan pada masa sidang kedua tahun 2017.

Peninjauan kembali RTRW itu fokus pada beberapa titik, yakni pusat-pusat pertumbuhan penduduk pada beberapa kecamatan, teristimewa di kecamatan Tanimbar Selatan karena menjadi pusat ibu kota Kabupaten MTB.

Sementara RTRW untuk kawasan kecamatan-kecamatan lain, itu masih dalam tahapan kajian dan dipastikan bakal diarahkan dalam waktu-waktu mendatang karena dipastikan proses pembangunan akan terus mengarah ke ibu kota kecamatan lain.

Dalam waktu 10 tahun terakhir ini, Pemerintah dan DPRD MTB telah dua kali melakukan perubahan Perda RTRW sesuai kebutuhan masyarakat dan pembangunan.

Dua kali perubahan itu dilakukan pada periode kepemimpinan Bitsael Salvester Temmar sebagai bupati dan Barnabas Orno sebagai wakil bupati atau periode 2006-2012 dan kepemimpinan Bitsael Salvester Temmar-Petrus Paulus Werembinan Taborat (2012-2017).

Pewarta: Simon Lolonlun

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2017