Ambon, 17/8 (Antara Maluku) - Upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) RI ke-72 diwarnai pementasan Drama Kolosal Pahlawan Nasional Martha Christina Tijahahu oleh Kodam XVI/Pattimura, berlangsung di Lapangan Merdeka, Ambon, Kamis.
Drama itu disaksikan oleh Gubernur Maluku Said Assagaff, Pangdam XVI/Pattimura Mayjen TNI Doni Monardo, Kapolda Maluku Irjen Pol Deden Juhara, Wali Kota Ambon Richrad Louhenapessy, Pimpinan SKPD Provinsi Maluku dan Kota Ambon, Pejabat TNI dan POLRI serta undangan lainnya.

Drama Kolosal Martha Christina Tijahahu dimainkan oleh para pemuda dan pemudi Kota Ambon serta sejumlah Anggota TNI dari Rindam XVI/Pattimura, disutradari oleh Letkol Inf Jocky Pesulima, yang sehari-hari sebagai Dandodik Bela Negara Rindam XVI/Pattimura.

Drama itu mengisahkan seorang gadis bernama Martha Christina Tijahahu (17), lahir di Negeri Abubu, Nusa Laut, pada 4 Januari 1800. Ibunya meninggal dunia, sehingga ia selalu mengikuti ayahnya Kapitan Paulus Tijahahu, Raja Negeri Abubu, pembantu Thomas Matulessy dalam perang Pattimura melawan Belanda di Saparua.

Paulus bersama puterinya memenuhi panggilan Pattimura berjuang di jazirah tenggara Saparua. Martha menyertai ayahnya untuk memberikan semangat kepada pasukan rakyat. Ini membuat Belanda untuk pertama kalinya menghadapi prajurit wanita bersemangat tinggi.

Pada 12 November 1817 Belanda mengadakan serangan besar-besaran, sehingga barisan jatuhlah pertahanan terakhir pasukan Pattimura di pulau Saparua. Para kapitan tertangkap, antara lain Said Perintah, Paulus Tijahahu dengan putrinya Martha Christina, Raja Hehanussa dari Titawai,Raja Ullath dan Patih Ouw.

Selain para kapitan, semua tawanan lainnya diangkut dengan kapal Eversten Belanda dan dibawa ke Nusalaut.

Masyarakat Nusalaut atau Nusahalawano yang berarti " Pulau Emas" dikejutkan dengan hadirnya kapal perang Belanda yang membawa para tawanan itu.

Di hadapan Laksamana Muda Buyskes, Paulus tetap menantang, lalu dijatuhi hukuman mati.

Karena masih sangat muda, Buyskes membebaskan Martha Christina. Tiba-tiba Martha merebahkan diri di depan Buyskes untuk memohonkan ampun bagi sang ayah yang sudah tua.

Namun, semua usaha Martha sia-sia, dan permintaan itu tidak pernah mendapat jawaban. Melihat itu guru Soselissa membawa masuk Martha ke dalam kamarnya, sementara ayahnya Paulus diamankan di penjara Kapal Eversten.

Pada 17 Nopember 1817 kapal tersebut merapat di tepi pantai samping Benteng Beverwijk yang terletak di Negeri Sila Pulau Nusalaut, dan para tahanan diturunkan dari atas kapal untuk dihukum gantung, di depan benteng yang telah disiapkan.

Martha mendamping sang Ayah pada waktu memasuki tempat eksekusi.

Benteng Beverwijk terletak di Negeri Sila itu didirikan pada tahun 1654 oleh Arnold de Vlaming. Nama Beverwijk sesuai dengan tempat kelahiran Arnold di Amsterdam Utara Belanda.

Pelaksanaan eksekusi Paulus dilakukan oleh para sardadu Belanda. Ia dinaikkan ke tiang gantung.

Melihat itu, Martha bersumpah, "Beta bersumpah seng (tidak) akan gulung rambut sebelum mandi deng (dengan) darah Belanda."

Selanjutnya Martha kemudian dibawa masuk ke dalam Benteng Beverwijk dan tinggal bersama guru Soselissa.

Setelah Paulus meninggal dunia, jasadnya dibawa masuk ke dalam benteng untuk dikremasi dan dimakamkan.

Laksamana Muda Buyskes lalu memerintahkan kepala sekolah dan guru di Nusalaut menghadap dan menyerahkan Martha untuk dididik di sekolah. Namun Martha justru memanfaatkan kelengahan para guru untuk melarikan diri dan mengembara di hutan bergabung dengan para pejuang.

Ia lalu merencanakan penyerangan terhadap pos serdadu Belanda di Negeri Sila, sekaligus memimpin penyerangan terhadap benteng Beverwijk bersama para pejuang lainnya.

Serangan dimulai sebelum fajar menyingsing, dengan senyap pasukan pejuang Nusalaut yang dipimpin Martha menyerbu pos Belanda dan seluruh pasukan berhasil dilumpuhkan. Lalu pasukan perjuangan perlahan-lahan bergerak menuju ke arah benteng Beverwijk, mengepung benteng tersebut menggunakan senjata peninggalan Inggris, parang Salawaku dan Tombak.

Tembakan dan ranjau musuh sardadu Belanda tidak menjadi hambatan, kendati bunyi ledakan bom berkali-kali. Namun sebagai pemimpin Martha menyerukan kepada pasukannya untuk terus maju berperang.

Baik Martha maupun Laksamana Muda Buyskes sama-sama berdiri memberikan perintah kepada masing-masing pasukan. Namun karena persediaan senjata dan amunisi dari pihak Belanda sangat kuat, peperangan tidak berimbang.

Pada Desember 1817 Martha ditangkap bersama-sama para pejuang Nusalaut.

Atas perintah Laksamana Buyskes Martha bersama 39 orang tawanan lainnya dibawa ke Benteng Beverwijk dan kemudian dinaikan ke atas kapal Eversten untuk dibawa ke Ambon dan dilanjutkan ke Pulau Jawa untuk menjadi pekerja di Perkebunan Kopi milik Bangsa Belanda.

Martha Christina Tijahahu meninggal di atas Kapal Eversten.

Pewarta: Rofinus E. Kumpul

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2017