Mayoritas masyarakat di Kota Tidore Kepulauan, termasuk di kabupaten/kota lainnya di Provinsi Maluku Utara (Malut), dulunya menjadikan popeda, kuliner lokal dari tepung sagu, sebagai menu makanan pokok sehari-hari.

Namun sekarang menu makanan pokok sehari-hari masyarakat di daerah itu, baik yang tinggal di kota maupun di desa berlaih ke nasi dari beras, karena selain lebih praktis saat dimasak dan menyantapnya, juga lebih mudah mendapatkannya.

Masyarakat di Tidore Kepulauan, menurut salah seorang tokoh masyarakat setempat, Ibrahim Saleh, mulai beralih menjadikan menu makanan pokok sehari-hari dari popeda ke nasi sejak tahun 1990-an ketika saat itu beras semakin mudah didapatkan dan harganya pun terjangkau.

Masyarakat di daerah itu sekarang hanya mengonsumsi popeda sebagai makanan selingan di saat-saat tersentu, terkadang sekali dalam sebulan, itu pun hanya kalangan orang tua yang sejak kecil sudah terbiasa mengonsumsi popeda.

Sedangkan anak-anak di Tidore Kepulauan umumnya kurang berminat mengonsumsi popeda, bahkan ketika orang tua di rumah hanya menyediakan kuliner itu saat makan siang atau makan malam, mereka lebih memilih mencari makanan lain, misalnya mi instan atau gorengan.

Salah seorang anak di daerah itu, Siti Nuraini mengaku kurang suka makan popeda, karena untuk menyantapnya agak ribet. Selain itu bentuknya yang menyerupai gumpalan lem kanji tidak mengundang selera.

Setelah popeda tidak lagi dijadikan menu makanan pokok sehari-hari masyarakat di Tidore Kepulauan, aktivitas produksi tepung sagu, baik dari pohon sagu maupun dari ubi kayu di daerah itu menjadi sepi.

Penjualan tepung sagu di semua pasar di daerah itu kini juga terlihat semakin sepi. Di Pasar Sarimalaha Goto misalnya, yang menjual tepung sagu hanya beberapa orang dan yang membeli pun dalam sehari hanya sedikit.

Salah seorang penjual tepung sagu di Pasar Sarimalaha Goto, Sumiati mengaku di era tahun 1990-an, penjual tepung sagu bisa menjual ratusan bungkus dalam sehari, tetapi sekarang paling banyak 20 bungkus sehari.

Tanaman pohon sagu yang dulunya banyak ditemukan di berbagai wilayah di Tidore Kepulauan, seperti di wilayah Oba, sekarang hanya terlihat di titik tertentu, itu pun tidak terlalu banyak karena masyarakat setempat tidak lagi antusias membudidayakannya.

Penempatan transmigran di sejumlah kawasan yang dulunya tempat tumbuhnya pohon sagu, juga menjadi salah satu penyebab semakin berkurangnya pohon sagu daerah itu, karena kawasannya dialihfungsikan menjadi areal persawahan transmigran.


Gerakan Makan Popeda

Pemkot Tidore Kepulauan terus melakukan berbagai terobosan untuk membangkitkan kembali kecintaan masyarakat di daerah berpenduduk 100 ribu jiwa lebih itu terhadap popeda sebagai kuliner warisan leluhur.

Salah satu trobosan yang dilakukan adalah melalui gerakan makan popeda minimal sekali dalam seminggu, bagi seluruh aparatur sipil negara (ASN) di lingkup Pemkot Tidore Kepulauan, yang diharapkan juga diikuti seluruh masyarakat setempat.

Wali Kota Tidore Kepulauan Ali Ibrahim mengalkulasi jumlah ASN di daerahnya 4.000 orang lebih dan jika setiap ASN memiliki anggota keluarga empat orang maka di daerah itu sedikitnya ada 20.000 orang yang makan popeda setiap minggu.

Jika masyarakat di daerah itu juga melakukan gerakan makan popeda sekali dalam seminggu maka akan lebih banyak lagi jumlah orang yang makan popeda, sehingga aktivitas produksi tepung sagu akan kembali hidup, begitu pula aktivitas penjualan tepung sagu akan kembali ramai.

Selain itu, ketahanan pangan di Tidore Kepulauan akan semakin mantap, karena walaupun suatu saat terjadi kelangkaan beras di daerah itu, tidak akan menimbulkan kerawanan pangan karena masyarakat bisa memenuhi kebutuhan pangan dengan mengonsumsi popeda.

Terobosan Pemkot Tidore Kepulauan itu, menurut salah seorang pemerhati pangan di Malut, Sahbudin Abdullah, harus disertai pula dengan adanya upaya dari setiap masyarakat di Tidore Kepulauan untuk memperkenalkan popeda kepada anak-anaknya sejak dini.

Anak-anak di daerah itu saat ini kurang menyukai popeda, karena sejak awal mereka tidak dibiasakan orang tuanya untuk mengonsumsi popeda dan itu terjadi karena orang tua pun tidak lagi rutin menyajikan popeda sebagai salah satu menu makanan sehari-hari dalam keluarga.

Perlu pula ada inovasi untuk menyajikan popeda yang menarik bagi semua orang, khususnya anak-anak, misalnya membuat popeda siap saji, seperti mi instan atau dalam bentuk lainnya yang bisa mengundang selera untuk menyantapnya.

Popeda sesuai hasil penelitian para ahli gizi, tidak hanya memiliki kandungan gizi yang sangat lengkap, juga dapat menjadi makanan kesehatan bagi penderita penyakit tertentu, seperti asam lambung dan diabetes karena mudah dicerna dan rendah karbohidrat.

Masyarakat Tidore Kepulauan biasanya membuat kuliner popeda dengan cara tepung sagu disiram dengan air panas dalam suatu wadah, misalnya loyang kemudian diaduk hingga matang dan untuk memindahkannya ke piring menggunakan semacam sumpit bambu, yang masyarakat setempat menyebutnya bali-bali.

Untuk mengonsumsi popeda biasanya dicampur dengan kuah ikan atau kuah sayur, sesuai dengan selera masing-masing, sering pula dikombinasikan dengan pisang rebus, ubi rebus dan sambal mentah yang masyarakat setempat menyebutnya badu-badu mentah.

Pewarta: *

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2017