Ambon, 13/3 (Antaranews Maluku) - Diskusi media massa yang digelar oleh Yayasan Gasira Maluku untuk memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret, Senin, membahas pola kekerasan seksual yang terjadi kepada perempuan dan anak.
Pembahasan tersebut menghadirkan pakar kriminologi dari Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon John Dirk Pasalbessy, Kanit II Tindak Pidana Perdagangan Orang Subdit Perlindungan Perempuan dan Anak Direskrimum Polda Maluku Kompol. William Tanasale dan Direktur Yayasan Gasira Maluku Lies Marantika sebagai pembicara.
Belasan wartawan dari berbagai perwakilan media cetak dan elektronik di Ambon turut serta dalam diskusi yang menitikberatkan pada bentuk-bentuk kekerasan seksual, pola pendukung yang mempengaruhi terjadinya kejahatan tersebut dan peran media dalam menyiarkannya.
John Dirk Pasalbessy mengatakan sedikitnya ada empat hal yang bisa dilihat dari seorang pelaku kejahatan seksual, yakni intelektual, kemampuan dalam pendidikan, kontrol dan konsep diri.
Dijelaskannya fungsi intelektual atau kecerdasan berpikir berpengaruh pada perilaku anti sosial. Jika pada anak-anak, ada kecenderungan mengidentifikasi dan mengikuti apa yang dilakukan oleh orang tua.
Hal itu akan semakin diperparah oleh tidak adanya kemampuan dalam pendidikan, yang dalam hal ini adalah pendidikan moral dan etika, termasuk juga mendapatkan pendidikan seks sejak dini.
Sedangkan kontrol diri adalah ketidakmampuan diri mengontrol imajinasi. John mencontohkan kebiasaan menonton film porno dapat membuat pikiran terstimulasi terhadap objek yang dilihat kepada orang lain.
Sama halnya dengan teori konsep diri, seorang pelaku kekerasan seksual memiliki kecenderungan mencari-cari persamaan atau keterikatan dengan korban. Ini dapat terlihat jelas dalam kasus-kasus yang melibatkan pelaku yang merupakan seorang psikopat.
"Korban kekerasan seksual umumnya memiliki hubungan interpersonal dengan pelaku," katanya.
Tak jauh berbeda John Dirk, Kompol. William Tanasale mengatakan korban kekerasan seksual memiliki kecenderungan untuk menjadi pelaku kejahatan yang sama di kemudian hari. Ini sangat terlihat pada kasus-kasus pedofilia.
Kasus perkosaan pedofilia sendiri agak sulit ditelusuri karena biasanya terselubung dengan kasusnya lainnya, semisal penculikan, penipuan dan lainnya.
Karena itu sangat disarankan setiap korban kekerasan seksual, khususnya anak-anak harus mendapatkan pemulihan secara menyeluruh, termasuk reintegrasi sosialnya sehingga bisa melepaskan ingatan terhadap pengalaman buruk yang pernah dialami.
"Penyimpangan seksual bisa disebabkan oleh faktor pengalaman yang pernah dialami. Untuk kasus pedofilia saat ini belum ada regulasi khusus, penyelesaiannya di ranah hukum masih menggunakan Undang-Undang terkait," ujarnya.
Menurut Lies Marantika, bicara tentang kasus kekerasan seksual adalah bicara tentang adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban. Pelaku umumnya memiliki kemampuan untuk menekan dan menundukan korban baik secara fisik maupun psikis.
Ia memisalkan kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak perempuan sebagai korban dan ayahnya sebagai pelaku. Relasi kuasa yang kuat membuat anak tidak mampu untuk melepaskan diri dari ayahnya.
"Ini sangat terlihat jelas pada kasus ayah sebagai pelaku dan anak sebagai korban," ucapnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2018
Pembahasan tersebut menghadirkan pakar kriminologi dari Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon John Dirk Pasalbessy, Kanit II Tindak Pidana Perdagangan Orang Subdit Perlindungan Perempuan dan Anak Direskrimum Polda Maluku Kompol. William Tanasale dan Direktur Yayasan Gasira Maluku Lies Marantika sebagai pembicara.
Belasan wartawan dari berbagai perwakilan media cetak dan elektronik di Ambon turut serta dalam diskusi yang menitikberatkan pada bentuk-bentuk kekerasan seksual, pola pendukung yang mempengaruhi terjadinya kejahatan tersebut dan peran media dalam menyiarkannya.
John Dirk Pasalbessy mengatakan sedikitnya ada empat hal yang bisa dilihat dari seorang pelaku kejahatan seksual, yakni intelektual, kemampuan dalam pendidikan, kontrol dan konsep diri.
Dijelaskannya fungsi intelektual atau kecerdasan berpikir berpengaruh pada perilaku anti sosial. Jika pada anak-anak, ada kecenderungan mengidentifikasi dan mengikuti apa yang dilakukan oleh orang tua.
Hal itu akan semakin diperparah oleh tidak adanya kemampuan dalam pendidikan, yang dalam hal ini adalah pendidikan moral dan etika, termasuk juga mendapatkan pendidikan seks sejak dini.
Sedangkan kontrol diri adalah ketidakmampuan diri mengontrol imajinasi. John mencontohkan kebiasaan menonton film porno dapat membuat pikiran terstimulasi terhadap objek yang dilihat kepada orang lain.
Sama halnya dengan teori konsep diri, seorang pelaku kekerasan seksual memiliki kecenderungan mencari-cari persamaan atau keterikatan dengan korban. Ini dapat terlihat jelas dalam kasus-kasus yang melibatkan pelaku yang merupakan seorang psikopat.
"Korban kekerasan seksual umumnya memiliki hubungan interpersonal dengan pelaku," katanya.
Tak jauh berbeda John Dirk, Kompol. William Tanasale mengatakan korban kekerasan seksual memiliki kecenderungan untuk menjadi pelaku kejahatan yang sama di kemudian hari. Ini sangat terlihat pada kasus-kasus pedofilia.
Kasus perkosaan pedofilia sendiri agak sulit ditelusuri karena biasanya terselubung dengan kasusnya lainnya, semisal penculikan, penipuan dan lainnya.
Karena itu sangat disarankan setiap korban kekerasan seksual, khususnya anak-anak harus mendapatkan pemulihan secara menyeluruh, termasuk reintegrasi sosialnya sehingga bisa melepaskan ingatan terhadap pengalaman buruk yang pernah dialami.
"Penyimpangan seksual bisa disebabkan oleh faktor pengalaman yang pernah dialami. Untuk kasus pedofilia saat ini belum ada regulasi khusus, penyelesaiannya di ranah hukum masih menggunakan Undang-Undang terkait," ujarnya.
Menurut Lies Marantika, bicara tentang kasus kekerasan seksual adalah bicara tentang adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban. Pelaku umumnya memiliki kemampuan untuk menekan dan menundukan korban baik secara fisik maupun psikis.
Ia memisalkan kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak perempuan sebagai korban dan ayahnya sebagai pelaku. Relasi kuasa yang kuat membuat anak tidak mampu untuk melepaskan diri dari ayahnya.
"Ini sangat terlihat jelas pada kasus ayah sebagai pelaku dan anak sebagai korban," ucapnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2018