Keramaian di Desa Batu Merah, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, jadi tampak berbeda dari hari-hari biasa. Saat Ramadhan tiba, di sepanjang jalan desa ini bisa dijumpai jejeran pedagang aneka penganan untuk berbuka puasa. Penjual setempat menaruh penganan tersebut di bawah tenda-tenda kecil atau etalase kaca yang dipajang sepanjang jalan raya, sehingga pembeli bisa dengan mudah untuk memilih kue favoritnya. Setiap penganan dijual rata-rata seharga Rp1.000 hingga Rp5.000 per buah. Pengunjung tidak hanya umat Muslim dari berbagai wilayah di Kota Ambon, tetapi juga komunitas lain yang ingin mencicipi aneka kue khas yang susah didapatkan pada hari biasa. Kemacetan lalu lintas sudah pasti akan terjadi setiap sore di ruas jalan depan Desa Batu Merah yang merupakan jalan poros angkutan yang akan ke luar kota maupun sebaliknya, karena warga bertumpuk untuk berburu aneka penganan yang disukai dan hanya ada setahun sekali. Salah satu kue yang menarik perhatian yakni "tTart yahudi". Tart dengan nama unik ini hanya bisa ditemui di pusat jajanan Desa Batu Merah dan ramai dijajakan saat Ramadhan saja. Penganan ini dijual dengan harga Rp2.000 per potong atau Rp15.000 per loyang (7-8 potong). Bentuknya memang sama seperti tart lainnya dan hanya dibuat dari terigu, mentega, telur, susu, gula, vanili, serta cokelat bubuk, tapi rasanya sedikit berbeda karena ada campuran biji gardamun yang diimpor dari Timur Tengah. Tidak hanya pas sebagai penganan saat berbuka puasa, tetapi rasanya yang legit dan lezat memang enak dinikmati sambil bersantai dengan secangkir kopi maupun teh hangat, sehingga pas disajikan untuk sarapan atau kudapan di rumah. Warnanya yang kecokelatan memang sangat mengundang selera. Nirza Ayuni, warga kawasan Waihaong, Kecamatan Nusaniwe misalnya, mengaku, menjadi pelanggan setia tart yahudi. Setiap hari ia pasti beli. "Saya setiap hari membeli tart yahudi untuk santapan sore sekeluarga," katanya. Wanita usia 25 tahun ini mengaku, kendati di daerah sekitar tempat tinggalnya juga tersedia pusat jajanan berbuka puasa, selama Ramadhan ia lebih memilih datang ke Desa Batu Merah, hanya sekedar untuk membeli tart tersebut. "Rasanya beda dibandingkan tart biasa. Mau dibilang seperti lapis legit juga tidak sama, tapi rasanya agak unik, lebih mirip kue brudel atau semacamnya," katanya. "Sejak 1985" Tart yahudi pertama kali dipopulerkan tahun 1985 oleh salah satu keluarga yang bermukim di Batu Merah. Adalah keluarga Cokro yang pertama kali mempopulerkan penganan ini. Namun kala itu, mereka hanya membuat tart yahudi untuk memenuhi pesanan resepsi pernikahan maupun hajatan lainnya, dan setelah itu barulah diproduksi oleh warga Batu Merah lainnya dan bisa dijumpai masyarakat umum. Ny. Dilla Cokro (38), mengaku, dirinya membuat dan menjual tart tersebut berdasarkan resep warisan ibunya Almarhum Nur Bargeis, wanita berdarah Arab-Ambon. "Mama saya yang pertama kali menjualnya di kawasan ini. Beberapa orang juga sudah mulai menjualnya, tapi rasanya tidak sama seperti tart yahudi yang kami buat," katanya. Meskipun keluarganya yang pertama kali memproduksi dan menjual tart tersebut, tapi Ny. Dilla mengaku sama sekali tidak tahu kenapa kue tersebut dinamakan tart yahudi oleh ibunya dulu. "Waktu saya kecil dulu mama cuma bilang namanya kue tart yahudi, tapi beliau tidak pernah menjelaskan mengapa namanya seperti itu," ujarnya. Seunik namanya, tart yahudi tidak saja dijual saat Ramadhan, tetapi entah kenapa memang hanya laris manis saat itu saja. "Kalau hari biasanya yang laku hanya sedikit," kata Irfan Mustafa (40), menantu Nur Bargeis sekaligus pemilik katering Irfan Rizky. Pemilik Catering Irfan Rizky ini juga mengaku, tart yahudi mampu menjadi penentu lakunya 40 jenis kue lainnya yang mereka dagangkan saat bulan puasa. "Biasanya pengunjung yang datang selalu menanyakan tart yahudi. Kalau sudah habis mereka langsung pergi tanpa melihat-lihat kue lainnya lagi," katanya. Selama Ramadhan dalam sehari Ny. Dilla Cokro bersama iparnya Irfan Mustafa dibantu 15 karyawan mampu memproduksi 30 hingga 40 loyang tart yahudi hanya dengan modal Rp400.000, dan sebelum pukul 18.00 WIT kuenya sudah laris terjual. Keuntungan bersih yang diperoleh dari menjual kue ini mencapai Rp300.000 per hari. Tidak seperti adonan tart biasanya, jumlah takaran bahan-bahan pembuatan tart yahudi harus sama, yakni banyaknya terigu harus sebanding dengan mentega maupun susu dan telur, sehingga kaya dengan kandungan kalsium dan protein. Ny. Mima R. Maskat (61), warga Desa Batu Merah lainnya juga mengaku hanya memproduksi tart yahudi saat bulan puasa saja. "Saya cuma membuatnya saat bulan puasa atau dipesan saja," katanya. Selama Ramadhan, Ny. Mima bersama suaminya Sanuri (60) mampu membuat 27-30 loyang tart yahudi yang dititipkan di tenda-tenda penjual sepanjang jalan Desa Batu Merah. Ibu satu anak itu telah memproduksi tart yahudi sejak 2003 berdasarkan resep yang diberikan salah seorang temannya dari Kota Namlea, Kabupaten Pulau Buru. "Yang mempopulerkannya memang keluarga Cokro, tapi mungkin karena enak, makanya banyak yang tertarik untuk membuatnya juga," katanya. (Shariva Alaidrus)

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2010