Tidak mengherankan bahwa Indonesia, negara terbesar ke-4 di dunia (dari segi populasi) dengan 262 juta orang, 17.500 pulau, dan 34 provinsi, adalah penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar keempat.
Setelah meratifikasi Perjanjian Paris pada 19 Oktober 2016 dan mengubahnya menjadi Undang-Undang pada 24 Oktober 2016 (UU NO. 16/2016) di mana pada 4 November 2016, Indonesia harus secara resmi mengurangi GRK sebesar 29 persen dibandingkan dengan bisnis seperti biasa (BAU) pada tahun 2030 atau 41 persen dengan bantuan internasional (IA), tentu bukan tugas yang mudah.
Emisi GRK di Indonesia berasal dari berbagai sektor dan salah satu kontributor terbesar adalah sektor energi.
Meskipun pemerintah Indonesia dan sektor swasta telah membuat kemajuan dalam mengembangkan dan memanfaatkan energi baru terbarukan untuk mencapai 23 persen energi baru terbarukan pada tahun 2025 dan 31 persen energi baru terbarukan pada tahun 2050.
Selain itu, pemerintah dan sektor swasta tentu lebih suka mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, tentu saja tidak layak bagi kita untuk sepenuhnya mengonversi ke energi terbarukan dalam jangka waktu yang pendek.
Sebelum krisis moneter 1998, Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil dan merupakan negara yang makmur.
Karena meningkatnya standar ekonomi, Indonesia memprioritaskan pertumbuhan di atas stabilitas. Namun, pasca-1998 setelah ekonomi Indonesia menurun, pemerintah Indonesia masih trauma dengan pengalaman krisis moneter 1998, dan sejak itu memprioritaskan stabilitas daripada pertumbuhan.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia akan lebih fokus pada menghasilkan listrik murah dan stabil, bahkan jika itu berarti menggunakan lebih banyak bahan bakar fosil yang menimbulkan banyak sekali dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Listrik murah yang berasal dari bahan bakar fosil lebih disukai oleh pemerintah Indonesia dibandingkan listrik mahal yang berasal dari energi baru terbarukan.
Seperti diketahui oleh banyak orang, pilihan yang bermanfaat bagi semua pemangku kepentingan adalah listrik murah yang berasal dari energi baru terbarukan.
Tetapi, mengingat lingkungan saat ini dan kebijakan dan peraturan yang sudah ada, masih sulit bagi energi baru terbarukan untuk dapat bersaing dengan bahan bakar fosil yang masih sangat murah dan memiliki suplai yang cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional seperti batu bara, gas, dan minyak.
Meskipun kita dapat melihat peningkatan rasio elektrifikasi dari 65,71 persen pada tahun 2008 menjadi 98,6 persen pada tahun 2018, masih banyak orang di daerah perdesaan dan daerah-daerah yang terpencil yang masih tidak memiliki akses ke listrik. Kini ada sekitar 2.500 desa belum terlistriki.
Mereka harus bergantung pada lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE) dikarenakan untuk sambungan listrik ke rumah-rumah memerlukan biaya yang cukup signifikan untuk sebagian masyarakat, yakni sebesar Rp550 ribu.
Karena itu, cara yang paling termudah, tercepat, dan efisien untuk menyediakan kebutuhan dasar manusia, yaitu listrik murah, adalah dengan memanfaatkan batubara, gas, dan minyak dan ini jelas terbukti karena 87,6 persen dari listrik kita masih berasal dari bahan bakar fosil, sedangkan sisanya (12,4 persen) berasal dari energi baru terbarukan.
Karena alasan ini, akan sangat mustahil untuk Indonesia untuk sepenuhnya beralih dari penggunaan bahan bakar fosil ke energi terbarukan dalam waktu yang dekat.
Ada beberapa alasan mengapa saat ini pemerintah Indonesia masih mengandalkan dan menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber energi.
Pengalihan sumber energi dari bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan di Indonesia akan berjalan bertahap seperti di negara-negara Eropa dan juga di Cina yang mengalihkan sumber energinya setelah ekonomi mereka berkembang pesat.
Negara-negara yang berada di Eropa maju mulai dari revolusi industri dengan menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber bahan bakarnya, setelah ekonominya berjalan dan sedikit demi sedikit mereka menurunkan ketergantungan mereka terhadap bahan bakar fosil.
Saat ini Indonesia masih memerlukan bahan bakar fosil, seperti batu bara, gas, dan minyak, sebagai sumber energi yang murah. Selain agar harga listriknya terjangkau masyarakat, juga untuk menggerakkan perekonomian Indonesia supaya produk-produk yang diproduksi di Indonesia dapat berkompetisi di pasar dunia.
Namun, dengan peraturan, kebijakan, dan insentif yang tepat terhadap perkembangan energi baru terbarukan, sangat memungkinkan bagi Indonesia untuk mengurangi GRK sebesar 29 persen pada tahun 2030 atau 41 persen dengan bantuan internasional dan meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan di dalam bauran energi nasional dari 12,4 persen ke 23 persen pada tahun 2025 dan 31 persen pada tahun 2050. (*)
*) Satya Hangga Yudha Widya Putra BA (Hons) MSc adalah Co-Founder dan Penasehat Indonesian Energy and Environmental Institute (IE2I), Duta Jakarta Interculutral School (JIS), dan Penerima Beasiswa LPDP (PK–51)
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019
Setelah meratifikasi Perjanjian Paris pada 19 Oktober 2016 dan mengubahnya menjadi Undang-Undang pada 24 Oktober 2016 (UU NO. 16/2016) di mana pada 4 November 2016, Indonesia harus secara resmi mengurangi GRK sebesar 29 persen dibandingkan dengan bisnis seperti biasa (BAU) pada tahun 2030 atau 41 persen dengan bantuan internasional (IA), tentu bukan tugas yang mudah.
Emisi GRK di Indonesia berasal dari berbagai sektor dan salah satu kontributor terbesar adalah sektor energi.
Meskipun pemerintah Indonesia dan sektor swasta telah membuat kemajuan dalam mengembangkan dan memanfaatkan energi baru terbarukan untuk mencapai 23 persen energi baru terbarukan pada tahun 2025 dan 31 persen energi baru terbarukan pada tahun 2050.
Selain itu, pemerintah dan sektor swasta tentu lebih suka mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, tentu saja tidak layak bagi kita untuk sepenuhnya mengonversi ke energi terbarukan dalam jangka waktu yang pendek.
Sebelum krisis moneter 1998, Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil dan merupakan negara yang makmur.
Karena meningkatnya standar ekonomi, Indonesia memprioritaskan pertumbuhan di atas stabilitas. Namun, pasca-1998 setelah ekonomi Indonesia menurun, pemerintah Indonesia masih trauma dengan pengalaman krisis moneter 1998, dan sejak itu memprioritaskan stabilitas daripada pertumbuhan.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia akan lebih fokus pada menghasilkan listrik murah dan stabil, bahkan jika itu berarti menggunakan lebih banyak bahan bakar fosil yang menimbulkan banyak sekali dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Listrik murah yang berasal dari bahan bakar fosil lebih disukai oleh pemerintah Indonesia dibandingkan listrik mahal yang berasal dari energi baru terbarukan.
Seperti diketahui oleh banyak orang, pilihan yang bermanfaat bagi semua pemangku kepentingan adalah listrik murah yang berasal dari energi baru terbarukan.
Tetapi, mengingat lingkungan saat ini dan kebijakan dan peraturan yang sudah ada, masih sulit bagi energi baru terbarukan untuk dapat bersaing dengan bahan bakar fosil yang masih sangat murah dan memiliki suplai yang cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional seperti batu bara, gas, dan minyak.
Meskipun kita dapat melihat peningkatan rasio elektrifikasi dari 65,71 persen pada tahun 2008 menjadi 98,6 persen pada tahun 2018, masih banyak orang di daerah perdesaan dan daerah-daerah yang terpencil yang masih tidak memiliki akses ke listrik. Kini ada sekitar 2.500 desa belum terlistriki.
Mereka harus bergantung pada lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE) dikarenakan untuk sambungan listrik ke rumah-rumah memerlukan biaya yang cukup signifikan untuk sebagian masyarakat, yakni sebesar Rp550 ribu.
Karena itu, cara yang paling termudah, tercepat, dan efisien untuk menyediakan kebutuhan dasar manusia, yaitu listrik murah, adalah dengan memanfaatkan batubara, gas, dan minyak dan ini jelas terbukti karena 87,6 persen dari listrik kita masih berasal dari bahan bakar fosil, sedangkan sisanya (12,4 persen) berasal dari energi baru terbarukan.
Karena alasan ini, akan sangat mustahil untuk Indonesia untuk sepenuhnya beralih dari penggunaan bahan bakar fosil ke energi terbarukan dalam waktu yang dekat.
Ada beberapa alasan mengapa saat ini pemerintah Indonesia masih mengandalkan dan menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber energi.
Pengalihan sumber energi dari bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan di Indonesia akan berjalan bertahap seperti di negara-negara Eropa dan juga di Cina yang mengalihkan sumber energinya setelah ekonomi mereka berkembang pesat.
Negara-negara yang berada di Eropa maju mulai dari revolusi industri dengan menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber bahan bakarnya, setelah ekonominya berjalan dan sedikit demi sedikit mereka menurunkan ketergantungan mereka terhadap bahan bakar fosil.
Saat ini Indonesia masih memerlukan bahan bakar fosil, seperti batu bara, gas, dan minyak, sebagai sumber energi yang murah. Selain agar harga listriknya terjangkau masyarakat, juga untuk menggerakkan perekonomian Indonesia supaya produk-produk yang diproduksi di Indonesia dapat berkompetisi di pasar dunia.
Namun, dengan peraturan, kebijakan, dan insentif yang tepat terhadap perkembangan energi baru terbarukan, sangat memungkinkan bagi Indonesia untuk mengurangi GRK sebesar 29 persen pada tahun 2030 atau 41 persen dengan bantuan internasional dan meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan di dalam bauran energi nasional dari 12,4 persen ke 23 persen pada tahun 2025 dan 31 persen pada tahun 2050. (*)
*) Satya Hangga Yudha Widya Putra BA (Hons) MSc adalah Co-Founder dan Penasehat Indonesian Energy and Environmental Institute (IE2I), Duta Jakarta Interculutral School (JIS), dan Penerima Beasiswa LPDP (PK–51)
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019