Banyak orang bilang coklat itu enak. Tapi umumnya penganan khas Hari Kasih Sayang itu lebih banyak dikonsumsi oleh  orang yang sedang mengalami tekanan (depresi). Adalah Julie Steenhuysen, wartawan kantor berita transnasional Reuters, yang mengungkapkan hasil survey sejumlah peniliti di Amerika Serikat tentang keterkaitan coklat dengan gairah (semangat) dalam tulisan kecil yang diberinya judul "Depressed? You Must Like Chocolate". Menurut para peneliti, orang yang terserang depresi umumnya mengonsumsi lebih banyak coklat ketimbang mereka yang tidak. Setiap bulan, rata-rata 8,4 batang coklat dihabiskan mereka yang sedang dilanda depresi, sementara yang tidak hanya menikmati 5,4 batang. Seseorang yang mengalami depresi parah, berdasarkan "screening test", bahkan bisa menghabiskan lebih dari 11,8 batang per bulan. Satu batang coklat yang dimaksudkan adalah potongan kecil seberat 28 gram. "Depresi secara signifikan berhubungan dengan banyaknya jumlah coklat yang dikonsumsi seseorang," kata Dr. Natalie Rose dari University of California, Davis, dan University of California, San Diego, dan koleganya yang menulis untuk penerbitan Archives of Internal Medicine. Banyak orang mengira coklat adalah suplemen pemicu gairah, tapi beberapa studi sebelumnya yang hanya melibatkan responden atau sukarelawan kaum perempuan menyatakan ada hubungan antara semangat dan  permen (manisan). Ingin mencari temuan baru, Rose dan koleganya mempelajari hubungan-hubungan antara coklat dan gairah pada 931 perempuan dan laki-laki yang tidak menggunakan obat anti depresi. Para responden diminta menjawab pertanyaan berapa banyak coklat yang mereka konsumsi, dan banyak di antara mereka menjawab lengkap dengan program dietnya. Perasaan para responden itu diukur dengan alat penunjuk skala depresi yang umum, dan hasilnya menunjukkan ada kaitan jelas antara coklat dan depresi. Berbeda dari studi-studi sebelumnya, hubungan itu jelas terlihat terjadi pada kaum Adam maupun Hawa. Hanya saja, Rose dan kawan-kawan tidak menemukan jawaban mengapa orang yang sedang depresi mengonsumsi coklat lebih banyak. Dalam laporannya, para peneliti mengatakan ada kemungkinan depresi mendorong orang makan coklat sebagai upaya memancing gairah, dan ini membenarkan sejumlah studi terhadap tikus yang menunjukkan indikasi coklat dapat meningkatkan semangat. Atau, bisa saja depresi mendorong orang makan coklat untuk sejumlah alasan tanpa berpikir bakal mendapatkan peningkatan gairah. "Mereka yang terlibat studi tidak mendapatkan keuntungan apapun dari coklat, dan mungkin pula coklat justru membuat orang depresi" kata para peneliti, merujuk penjelasan lain tentang keterkaitan coklat dan depresi. Menurut mereka, mungkin saja coklat bermanfaat sebagai tambahan aniti-oksidasi. Atau, efek stimulus dari coklat bisa jadi seperti minuman beralkohol, yang justru membuat orang loyo setelah kegembiraan sesaat. Pastinya, perbedaan-perbedaan kemungkinan itu jelas harus ditanggapi dengan melakukan studi-studi lain, untuk membuktikan apakah coklat ada penyebab depresi atau sebaliknya meningkatkan gairah untuk sementara waktu.

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2010