Yayasan Arika Mahina mengajak kaum perempuan korban gempa bumi magnitudo 6,5 di kawasan Iha-Liang di Dusun Lengkong (Pulau Ambon) Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah untuk mengenali pola-pola kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan mencegahnya untuk terus berlanjut di Ambon, Kamis.
Digelar di Mts. Al-Kahar 2 Iha, kegiatan tersebut merupakan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) dan juga bagian dari Program MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan) Fase II yang dilaksanakan oleh Yayasan Arika Mahina dan Yayasan BaKTI.
Puluhan ibu rumah tangga dan remaja puteri ikut serta dalam kegiatan yang menghadirkan Jacoba Ohello dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Maluku dan Batje Pattiselano, aktivis perempuan dan anak sebagai fasilitator.
Jacoba Ohello dalam kesempatan itu mengatakan kaum perempuan harus bisa mengenali pola dan bentuk KDRT yang terjadi di sekitarnya, karena kekerasan bukan hanya dalam bentuk fisik tapi juga psikis.
Dengan mengenali kekerasan yang terjadi, kaum perempuan bisa melindungi diri sendiri dan mencegahnya terus berlanjut.
Dalam banyak kasus KDRT, tambah dia seringkali para korban tidak menyadari kekerasan psikis yang dialaminya, seperti ucapan-ucapan dengan nada menghina, penggunaan kata-kata kasar dan vulgar, dan sebagainya.
"Kekerasan bukan hanya setelah kita dipukul maka kekerasan terjadi, tapi kekerasan juga bisa terjadi secara psikis. Dikata-katai dengan kalimat menghina yang menyakiti perasaan juga kekerasan," ucapnya.
Menurut Jacoba, pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga yang berkembang di masyarakat selama ini tidak setara, perempuan selalu diasosiasikan sebagai pengurus rumah tangga.
Sedangkan laki-laki laki-laki adalah pencari nafkah dan tidak memiliki kewajiban untuk ikut mengurus rumah tangga, karena semua itu adalah tanggung jawab perempuan.
Dewasa ini, perempuan juga harus ikut mencari nafkah sembari mengurus suami, anak-anak dan rumah tangganya. Beban peran ganda perempuan juga menjadi pemicu mengapa perempuan selalu menjadi korban.
"Yang harus dipahami adalah perempuan itu kodratnya hanya melahirkan dan menyusui, bukan kodratnya sebagai tukang masak, beres-beres rumah dan semacamnya," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019
Digelar di Mts. Al-Kahar 2 Iha, kegiatan tersebut merupakan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) dan juga bagian dari Program MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan) Fase II yang dilaksanakan oleh Yayasan Arika Mahina dan Yayasan BaKTI.
Puluhan ibu rumah tangga dan remaja puteri ikut serta dalam kegiatan yang menghadirkan Jacoba Ohello dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Maluku dan Batje Pattiselano, aktivis perempuan dan anak sebagai fasilitator.
Jacoba Ohello dalam kesempatan itu mengatakan kaum perempuan harus bisa mengenali pola dan bentuk KDRT yang terjadi di sekitarnya, karena kekerasan bukan hanya dalam bentuk fisik tapi juga psikis.
Dengan mengenali kekerasan yang terjadi, kaum perempuan bisa melindungi diri sendiri dan mencegahnya terus berlanjut.
Dalam banyak kasus KDRT, tambah dia seringkali para korban tidak menyadari kekerasan psikis yang dialaminya, seperti ucapan-ucapan dengan nada menghina, penggunaan kata-kata kasar dan vulgar, dan sebagainya.
"Kekerasan bukan hanya setelah kita dipukul maka kekerasan terjadi, tapi kekerasan juga bisa terjadi secara psikis. Dikata-katai dengan kalimat menghina yang menyakiti perasaan juga kekerasan," ucapnya.
Menurut Jacoba, pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga yang berkembang di masyarakat selama ini tidak setara, perempuan selalu diasosiasikan sebagai pengurus rumah tangga.
Sedangkan laki-laki laki-laki adalah pencari nafkah dan tidak memiliki kewajiban untuk ikut mengurus rumah tangga, karena semua itu adalah tanggung jawab perempuan.
Dewasa ini, perempuan juga harus ikut mencari nafkah sembari mengurus suami, anak-anak dan rumah tangganya. Beban peran ganda perempuan juga menjadi pemicu mengapa perempuan selalu menjadi korban.
"Yang harus dipahami adalah perempuan itu kodratnya hanya melahirkan dan menyusui, bukan kodratnya sebagai tukang masak, beres-beres rumah dan semacamnya," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019