Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menilai pelaporan soal kematian enam anggota laskar ormas Front Pembela Islam (FPI) ke Pengadilan Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) tidak tepat.
ICC hanya bisa mengadili perkara-perkara pelanggaran hak asasi manusia berat atau "gross violations of human rights" sebagaimana dimaksud Statuta Roma.
"Yaitu genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi," kata Poengky dalam pernyataannya, di Jakarta, Minggu.
Poengky menambahkan bahwa ICC juga menerima "exhausted domestic remedy" atau kejahatan ketika peradilan di negara bersangkutan tidak mau melaksanakan tugas-tugasnya untuk mengadili perkara (unwilling and unable).
"ICC tidak akan mau menangani perkara yang akan, sedang atau telah ditangani oleh sistem peradilan pidana di negara yang bersangkutan," ujarnya.
Selain itu, kata dia, yang bisa berperkara merupakan anggota ICC, sedangkan Indonesia bukan anggota ICC.
"Indonesia bukan anggota ICC sehingga tidak bisa diadukan ke ICC," kata perempuan yang menyandang gelar master untuk international human rights law tersebut.
Oleh karena itu, kata Poengky, langkah tim advokasi melaporkan kematian enam orang laskar FPI ke ICC tidak tepat.
"Berdasarkan laporan Komnas HAM sudah jelas bahwa kasus ini bukan pelanggaran HAM berat sehingga tidak termasuk yurisdiksi ICC," ucap dia menegaskan.
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara juga yakin upaya tim hukum FPI membawa kasus kematian laskar ke ICC bakal menemui jalan buntu.
Sebab, kata dia, Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, yakni perjanjian antarnegara di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dibentuk pada 17 Juli 1998.
Beka menilai langkah terbaik menyelesaikan masalah kematian enam anggota laskar FPI adalah di Polri.
Apalagi, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo berjanji akan menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM, yakni kasus tewasnya enam laskar FPI dilanjutkan ke pengadilan pidana.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021
ICC hanya bisa mengadili perkara-perkara pelanggaran hak asasi manusia berat atau "gross violations of human rights" sebagaimana dimaksud Statuta Roma.
"Yaitu genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi," kata Poengky dalam pernyataannya, di Jakarta, Minggu.
Poengky menambahkan bahwa ICC juga menerima "exhausted domestic remedy" atau kejahatan ketika peradilan di negara bersangkutan tidak mau melaksanakan tugas-tugasnya untuk mengadili perkara (unwilling and unable).
"ICC tidak akan mau menangani perkara yang akan, sedang atau telah ditangani oleh sistem peradilan pidana di negara yang bersangkutan," ujarnya.
Selain itu, kata dia, yang bisa berperkara merupakan anggota ICC, sedangkan Indonesia bukan anggota ICC.
"Indonesia bukan anggota ICC sehingga tidak bisa diadukan ke ICC," kata perempuan yang menyandang gelar master untuk international human rights law tersebut.
Oleh karena itu, kata Poengky, langkah tim advokasi melaporkan kematian enam orang laskar FPI ke ICC tidak tepat.
"Berdasarkan laporan Komnas HAM sudah jelas bahwa kasus ini bukan pelanggaran HAM berat sehingga tidak termasuk yurisdiksi ICC," ucap dia menegaskan.
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara juga yakin upaya tim hukum FPI membawa kasus kematian laskar ke ICC bakal menemui jalan buntu.
Sebab, kata dia, Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, yakni perjanjian antarnegara di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dibentuk pada 17 Juli 1998.
Beka menilai langkah terbaik menyelesaikan masalah kematian enam anggota laskar FPI adalah di Polri.
Apalagi, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo berjanji akan menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM, yakni kasus tewasnya enam laskar FPI dilanjutkan ke pengadilan pidana.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021