Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan bahwa dokter harus mampu bertanggung jawab atas setiap tindakan medis yang diambil.
Hal ini disampaikan Bamsoet dalam Ujian Sidang Terbuka Promosi Doktor Hukum Universitas Borobudur Prasetyo Edi yang menjabat Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Adapun tema disertasinya tentang 'Pertanggungjawaban Hukum Dokter Spesialis yang Tidak Memiliki Kompetensi Penyebab Kematian dan Kesakitan Pada Pasien'.
Menurut Dosen Tetap Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur ini, RUU Kesehatan yang telah disahkan pemerintah dan DPR RI membuat kehadiran penelitian ini bisa menjadi nilai tambah, khususnya dalam menyusun peraturan turunan dari berbagai hal yang sudah diatur dalam RUU Kesehatan tersebut.
"Misalnya, terkait perlindungan terhadap dokter dalam menjalankan tugasnya, dengan tetap menjamin hak-hak pasien sebagai wujud implementasi Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik, sehat, dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan," ujar Bamsoet dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Bamsoet minta perawatan korban perdagangan ginjal dilakukan maksimal
Ketua DPR RI ke-20 ini mengungkapkan salah satu kesimpulan penelitian yang dapat dijadikan masukan pemerintah, yakni dokter dapat dianggap tidak kompeten dan dapat dituntut pertanggungjawaban hukum akibat kematian pasien bila dokter dalam melakukan praktik kedokteran melanggar kaidah kompetensi disiplin kedokteran.
Tuntutan tersebut, katanya, dapat diajukan apabila dokter melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten dan tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi yang sesuai maupun mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi yang sesuai.
Putusan inkrah Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) perihal pelanggaran nonkompetensi yang diputus bersalah pada 2020-2023 mencatat ada 34 dokter yang diputus melanggar disiplin kedokteran, sebanyak 34 dokter itu terdiri atas 23 dokter spesialis dan 11 dokter umum.
"Karena itu, negara harus hadir dalam pengaturan hukum antara dokter dan pasien. Disinilah pentingnya kehadiran dan kewenangan yang kuat dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)," jelasnya.
Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Unpad (PADIH Unpad) dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan bahwa penelitian ini menyoroti teknik kedokteran yang selalu berkembang sebagai bagian dari kemajuan teknologi.
Dengan demikian, paparnya, diperlukan pengaturan undang-undang spesifik yang membahas tentang perkembangan teknik kedokteran dalam membantu proses pengobatan pasien untuk memastikan perkembangan pemanfaatan teknik kedokteran agar sesuai dengan tujuan, nilai-nilai luhur etika kedokteran berdasarkan kode etik kedokteran, dan sumpah dokter.
"Pengaturan yang diatur tersebut, misalnya pengesahan teknik kedokteran yang dapat digunakan dalam praktik kedokteran, persyaratan teknis penggunaan teknik kedokteran, persyaratan administrasi dalam penggunaan teknik kedokteran, kualifikasi dokter yang dapat menggunakan teknik kedokteran tersebut, pengawasan dalam penggunaan teknik kedokteran, batasan wewenang dokter dalam menggunakan teknik kedokteran dalam pengobatan pasien serta mengembangkan kebijakan dan prosedur administratif dalam kaitannya menggunakan teknik kedokteran," pungkas Bamsoet.
Para penguji lainnya dalam disertasi ini adalah Penguji Internal Rektor Universitas Borobudur Prof. Bambang Bernanthos, serta Dr. Ahmad Redi, Penguji eksternal Prof. Zainal Arifin Husein, Promotor Prof. Faisal Santiago, dan Ko-Promotor Dr. St. Laksanto Utomo.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ketua MPR: Dokter harus mampu bertanggung jawab atas tindakan medis