Pesawat militer CN 295 TNI AU mendarat mulus di landasan yang hanya 1.200 meter yang masih berdebu di Atambua, Belu. Kabupaten yang berbatasan dengan Timor Leste. Itulah pertama kali saya naik pesawat yang sudah lama saya sebut-sebut namanya tetapi belum pernah saya rasakan terbangnya.
Cuaca pagi Atambua sangat cerah. Meski sudah mulai menggersang, udaranya enak, tidak panas menyengat: 28 derajat. Ini berbeda dengan kedatangan saya ke Atambua lima bulan lalu. Saya harus jalan darat dari Dili, Timor Leste. Itu karena mendung tebal terus menggelayut di langit Atambua sepanjang hari. Itulah hari pencanangan gerakan sorgum dengan langkah awal uji coba penanaman pertama. Hujan terus mengguyur upacara. Wah, ini pertanda akan tersendat atau justru sebaliknya akan berkah.
Hujan itu ternyata berkah. Sabtu lalu, ketika saya ke Atambua lagi, sorgumnya sudah panen. Bagus lagi. Murid-murid SMK Atambua dan SMK Kupang juga sudah bisa memamerkan semua peralatan buatan mereka: pemerah batang sorgum untuk jadi gula, perontok biji sorgum, penyosoh, destilasi bioethanol, pencacah ampas, mixer pupuk, dan seterusnya.
Ini hasil dari pendidikan dua bulan di Jakarta. Anak-anak SMK itu memang dikirim ke Jakarta untuk melakukan "reverse engineering". Dengan demikian, Atambua tidak tergantung pada alat-alat impor atau buatan pabrik. Mereka bisa bikin sendiri. Dan, kalau rusak, bisa memperbaiki sendiri. Tidak akan terulang cerita lama: bantuan peralatan untuk perdesaan banyak tidak berfungsi karena begitu rusak tidak tahu cara memperbaikinya.
Bupati Belu, Joachim Lopez, tidak hanya gembira karena sorgumnya sudah panen, tetapi lebih gembira lagi karena telah terjadi perubahan cara berpikir petani. Itu yang dia ucapkan di panggung. Bupati Belu memang lagi ingin mengubah pola pikir masyarakatnya.
Lopez berhasil mengubah adat lama yang sangat menghambat upaya meningkatkan perekonomian masyarakat, misalnya, adat kematian. Bupati mengeluarkan peraturan baru: orang meninggal harus segera dikubur. Paling lama dua hari. Tidak boleh lagi mayat ditahan sampai seminggu. Apa hubungannya dengan ekonomi?
"Kalau mayat ditahan selama tujuh hari berarti ada tujuh sapi yang dipotong," katanya. Itu berarti upaya mengembangkan ternak sapi hanya habis dibuat pesta. Apalagi banyak juga yang sampai berutang untuk membeli sapi itu.
Apa sanksi bagi yang menahan mayat lebih dari dua hari? Jelas: tidak akan ada pendeta yang datang untuk memberkati pemakamannya. Untuk itu, Bupati Lopez minta dukungan keuskupan Atambua. Uskup setuju. Kini di setiap ada kematian maksimum hanya dua sapi yang dipotong.
Demikian juga saat banyak sapi memangsa tanaman muda sorgum. Bupati bikin kesepakan dengan masyarakat adat. Ketua adat pun membuat keputusan: kalau ada sapi yang masuk ke ladang sorgum, sapinya boleh dipotong. Sejak itu tidak ada lagi tanaman sorgum yang rusak. Pernah terjadi satu sapi lolos ke ladang sorgum. Ketua adat benar-benar memutuskan memotong sapi itu. Aman.
Setelah sorgumnya berbuah, muncul ancaman baru. Kali ini masyarakat adat tidak mungkin lagi bisa mengatasi: serbuan burung! Ribuan burung datang bertengger di pucuk sorgum! Sambil mematuk-matuk.
Saya terpikir kinilah saatnya minta bantuan mahasiswa, terutama fakultas pertanian dan elektro. Merekalah yang kini harus menemukan cara mengatasi burung. Yang bisa menemukan ide yang realistis-aplikatif akan saya berikan hadiah.
Dirut PT Batantekno Dr. Yudiutomo Imardjoko yang ahli nuklir terkemuka di dunia itu (termasuk ahli nuklir untuk tanaman dan makanan) akan mengumumkan di website PT Batantekno (www.batantek.com) mengenai detail sayembara ini.
Batantekno sendiri akan mencoba berbagai ilmu dan teknologi yang mereka kuasai. Namun, siapa tahu ada mahasiwa atau dosen yang memiliki ide yang lebih baik.
Batantekno memang ditugasi untuk urus sorgum di NTT sebagai bentuk pengabdian untuk daerah miskin. Dananya dari PT Pertamina, PT Askes, dan beberapa BUMN lain. Akan tetapi, teknologi dan manajemennya diserahkan ke Batantekno.
Saya salut dengan kegigihan tim Batantekno ini. Dr. Yudiutomo, yang pada umur 35 tahun sudah dipanggil Kongres Amerika Serikat untuk mempertanggungjawabkan penemuannya di bidang nuklir, ingin menuntaskan soal sorgum ini.
Waktu itu Yudi ikut mengajukan rancangan teknologi penyimpanan sampah nuklir yang bisa bertahan sampai 10.000 tahun. Karena dianggap hebat, Yudi dipanggil Kongres. Dia diminta memaparkan penemuannya. Akhirnya Yudi terpilih masuk tiga terbaik rancangan penyimpanan sampah nuklir di AS. Tiga-tiganya disetujui untuk diikutkan tender pada masa yang akan datang.
"Disertasi doktor saya di AS memang soal penyimpanan sampah nuklir," kata Yudiutomo.
Kini Yudi dan Batantekno dipercaya oleh perusahaan nuklir AS untuk merancang reaktor nuklir untuk kedokteran di sana. Saya pun mengizinkan Batantekno untuk membuat perusahaan patungan dengan perusahaan nuklir AS.
Waktu saya meninggalkan Atambua untuk ke Rote, Flores, dan Bali, Yudi masih tinggal di Atambua. Setelah panen sorgum ini, dia masih harus menuntaskan model bisnisnya agar keberlanjutan proyek sorgum ini lebih terjamin.
Di Rote saya juga bertemu seorang bupati yang hebat: Lens Haning. Dia juga berhasil mengubah kebiasaan yang menyulitkan pengembangan ekonomi masyarakatnya. Dia keluarkan peraturan baru: upacara-upacara adat hanya boleh menyembelih satu ekor sapi.
Rakyat bisa menerima aturan baru itu. Terbukti Haning terpilih lagi untuk periode kedua. Tinggal menunggu pelantikannya.
Bupati Haning juga punya tekad lain: saya sanggup mengeluarkan daerah ini dari status daerah tertinggal kalau pemerintah pusat membangunkan tiga bendungan irigasi di Rote. Masing-masing biayanya hanya sekitar Rp15 miliar!
Begitulah! Harapan, hope, dan optimisme bisa muncul di mana-mana dan dari siapa saja, dengan berbagai jabatannya.
Disunting oleh D. Kliwontoro
Sorgum, Sapi, dan Burung di Belu
Senin, 26 Agustus 2013 7:57 WIB
Hujan itu ternyata berkah. Sabtu lalu, ketika saya ke Atambua lagi, sorgumnya sudah panen. Bagus lagi.