Jakarta (Antara Maluku) - Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin mengatakan, Presiden Joko Widodo sekalipun memiliki hak prerogatif harus memiliki alasan kuat untuk melakukan perombakan kabinet atau "reshuffle".
"Menurut konstitusi, menteri bukan pegawai tinggi biasa seperti pejabat lain yang berstatus pegawai negeri sipil. Menteri adalah pemimpin negara yang melaksanakan kekuasaan pemerintah," kata Said Salahudin di Jakarta, Sabtu.
Said mengatakan, untuk memberhentikan seorang pegawai negeri sipil maka seorang pejabat seperti diwajibkan oleh undang-undang harus mempunyai alasan kuat.
"Begitu pula bila Presiden menggunakan hak prerogatifnya memberhentikan menteri. Karena itu, bila perombakan kabinet benar-benar dilakukan, maka Presiden memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan kepada publik tentang alasan pemberhentian pembantunya.
"Misalnya, Presiden harus jujur mengemukakan bahwa Menteri X diberhentikan karena kinerjanya dianggap buruk," katanya.
Said tidak setuju pada pendapat bahwa perombakan kabinet belum perlu karena masa kerja menteri baru seumur jagung sehingga belum bisa diukur.
"Indonesia mengaku menggunakan sistem presidensial. Dalam sistem presidensial berlaku prinsip eksekutif tunggal, yaitu suatu sistem yang menekankan bahwa seluruh tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan ada di tangan Presiden," katanya.
Artinya, kata dia, kekuasaan dan tanggung jawab pemerintahan ada di tangan Presiden. Karena pertanggungjawaban atas pelaksanaan kekuasaan pemerintahan oleh menteri berada di tangan Presiden, maka tidak perlu ada ketentuan waktu bagi Presiden dalam melakukan perombakan kabinet.
"Walaupun baru hitungan hari, apabila ada menteri yang melakukan kesalahan fatal dalam kebijakan yang diambilnya, maka boleh saja Presiden memberhentikan menteri bersangkutan," katanya.