Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 98 persen frekuensi kejadian bencana di Indonesia dalam 10 tahun terakhir berupa bencana hidrometeorologi sebagai dampak perubahan iklim.
"Data BNPB selama satu dekade ini mencatat 98 persen frekuensi kejadian bencana adalah hidrometeorologi," kata Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB Raditya Jati di Ambon, Rabu.
Bencana hidrometeorologi diakibatkan parameter-parameter meteorologi, seperti curah hujan, kelembapan, temperatur, dan angin.
Ia mengatakan bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan tanah longsor, terus terjadi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Bencana ini juga dipicu dampak perubahan iklim.
Baca juga: Maluku kaji ulang rencana kontinjensi bencana hidrometeorologi, begini penjelasannya
Ia mencontohkan banjir bandang dan tanah longsor di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada April 2021 yang diakibatkan Siklon Tropis Seroja. Peristiwa tersebut menjadi peringatan bagi pemerintah di 34 provinsi di Indonesia agar memasukkan isu perubahan iklim dalam konsep perencanaan dan mitigasi dampak bencana di daerah masing-masing.
Oleh karena itu, kata dia, konsep penanganan kebencanaan harus inklusif dan terpadu, melibatkan berbagai pihak, termasuk memperhitungkan sistem tata ruang dan infrastruktur.
Ia menyebut BNPB bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berupaya mengonvergensikan isu perubahan iklim menjadi bagian dari penanggulangan dampak bencana.
"Belajar dari peristiwa di NTT, kita harus siap menghadapi perubahan iklim, menjadi PR (Pekerjaan Rumah) bukan hanya pemerintah pusat, tapi juga daerah," ucap Raditya.
Ia juga menyebut bencana lain yang harus diantisipasi berupa bencana disebabkan faktor geologi, yakni gempa bumi dan tsunami. Provinsi Maluku memiliki potensi bencana yang disebabkan dua faktor tersebut.
Ia mengatakan korban jiwa akibat bencana geologi lebih besar dibandingkan dengan bencana hidrometeorologi.
"Informasi dari ahli geologi dan kegempaan asal Amerika Serikat Prof. Ron Harris menyebutkan Maluku ada gesekan-gesekan yang bisa menimbulkan kegempaan," ujar Raditya Jati.
Baca juga: BNPB dorong literasi sejarah bencana Indonesia dari Ambon, begini penjelasannya
Baca juga: Richard : "Wake up call" tingkatkan pemahaman kebencanaan warga Ambon
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021
"Data BNPB selama satu dekade ini mencatat 98 persen frekuensi kejadian bencana adalah hidrometeorologi," kata Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB Raditya Jati di Ambon, Rabu.
Bencana hidrometeorologi diakibatkan parameter-parameter meteorologi, seperti curah hujan, kelembapan, temperatur, dan angin.
Ia mengatakan bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan tanah longsor, terus terjadi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Bencana ini juga dipicu dampak perubahan iklim.
Baca juga: Maluku kaji ulang rencana kontinjensi bencana hidrometeorologi, begini penjelasannya
Ia mencontohkan banjir bandang dan tanah longsor di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada April 2021 yang diakibatkan Siklon Tropis Seroja. Peristiwa tersebut menjadi peringatan bagi pemerintah di 34 provinsi di Indonesia agar memasukkan isu perubahan iklim dalam konsep perencanaan dan mitigasi dampak bencana di daerah masing-masing.
Oleh karena itu, kata dia, konsep penanganan kebencanaan harus inklusif dan terpadu, melibatkan berbagai pihak, termasuk memperhitungkan sistem tata ruang dan infrastruktur.
Ia menyebut BNPB bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berupaya mengonvergensikan isu perubahan iklim menjadi bagian dari penanggulangan dampak bencana.
"Belajar dari peristiwa di NTT, kita harus siap menghadapi perubahan iklim, menjadi PR (Pekerjaan Rumah) bukan hanya pemerintah pusat, tapi juga daerah," ucap Raditya.
Ia juga menyebut bencana lain yang harus diantisipasi berupa bencana disebabkan faktor geologi, yakni gempa bumi dan tsunami. Provinsi Maluku memiliki potensi bencana yang disebabkan dua faktor tersebut.
Ia mengatakan korban jiwa akibat bencana geologi lebih besar dibandingkan dengan bencana hidrometeorologi.
"Informasi dari ahli geologi dan kegempaan asal Amerika Serikat Prof. Ron Harris menyebutkan Maluku ada gesekan-gesekan yang bisa menimbulkan kegempaan," ujar Raditya Jati.
Baca juga: BNPB dorong literasi sejarah bencana Indonesia dari Ambon, begini penjelasannya
Baca juga: Richard : "Wake up call" tingkatkan pemahaman kebencanaan warga Ambon
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021