Para aktivis perlindungan perempuan dan anak di Maluku mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) karena menjamin pemerintah sebagai penyelenggara negara melindungi para korban kekerasan seksual.
"RUU TPKS sudah harus disahkan karena sangat mendesak dan dibutuhkan sebagai landasan bagi penanganan kasus-kasus kekerasan seksual yang saat ini semakin marak terjadi di Indonesia," kata Direktur Yayasan Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Lappan) Ambon, Baihajar Tualeka di Ambon, Senin.
RUU TPKS sebelumnya dikenal dengan RUU Pidana Kekerasan Seksual (PKS). Badan legislasi (Baleg) DPR menjelaskan perubahan nama bertujuan agar aparat penegak hukum dapat lebih mudah menegakkan hukum terhadap kasus-kasus kekerasan seksual.
Baihajar mengatakan RUU TPKS berawal dari pengalaman para korban kekerasan seksual. RUU itu diharapkan bisa menjadi landasan dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual, tidak hanya upaya untuk mendapatkan keadilan secara hukum, tetapi juga bisa mengintegrasikan upaya pemulihan bagi korban.
Dengan semakin meningkatnya jumlah korban kasus kekerasan seksual, RUU TPKS juga bisa menjadi upaya pemerintah untuk mengedukasi publik guna mencegah terjadinya kekerasan seksual dalam bentuk apa pun.
"Undang-undang yang sudah ada belum mengintegrasikan pemulihan dan kerusakan yang dialami oleh korban karena hanya bicara soal hukuman pidana saja, sehingga RUU ini diharapkan bisa mendukung mereka, tidak hanya untuk rasa keadilan saja, tetapi juga pemulihan, restitusi dan juga upaya-upaya pencegahan," kata Baihajar Tualeka.
Sedangkan, Direktur Yayasan Gasira Maluku, Lies Marantika mengatakan, kekerasan seksual terjadi berhubungan dengan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Pelaku cenderung memiliki kekuasaan dan bisa mengintimidasi korban secara langsung sehingga tidak berani melapor atau pun mengeluhkan peristiwa yang dialaminya.
Tidak hanya orang luar, seperti tetangga, teman, guru dan orang-orang lain yang memiliki hubungan interaksi dengan korban, pelaku kekerasan seksual juga bisa berasal dari orang yang hidup bersama korban, semisal ayah, kakek, paman, kakak laki-laki dan lainnya.
"Kalau kita melihat dari kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi, ada relasi kuasa antara pelaku dan korban. Pelaku memiliki kemampuan untuk menekan dan mengintimidasi korban secara langsung," ujarnya.
Lies yang juga mantan komisioner Komnas Perempuan mengatakan kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja dan menimpa siapa saja. Perlindungan dan dukungan negara terhadap para korban sangat dibutuhkan, agar tidak hanya rasa keadilan secara hukum, tetapi perlu juga jaminan keadilan pemulihan bagi mereka.
"RUU ini bisa menjadi jaminan adanya perlindungan dan dukungan pemerintah terhadap korban-korban kekerasan seksual, sehingga perlu didorong agar segera disahkan," kata Lies Marantika.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021
"RUU TPKS sudah harus disahkan karena sangat mendesak dan dibutuhkan sebagai landasan bagi penanganan kasus-kasus kekerasan seksual yang saat ini semakin marak terjadi di Indonesia," kata Direktur Yayasan Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Lappan) Ambon, Baihajar Tualeka di Ambon, Senin.
RUU TPKS sebelumnya dikenal dengan RUU Pidana Kekerasan Seksual (PKS). Badan legislasi (Baleg) DPR menjelaskan perubahan nama bertujuan agar aparat penegak hukum dapat lebih mudah menegakkan hukum terhadap kasus-kasus kekerasan seksual.
Baihajar mengatakan RUU TPKS berawal dari pengalaman para korban kekerasan seksual. RUU itu diharapkan bisa menjadi landasan dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual, tidak hanya upaya untuk mendapatkan keadilan secara hukum, tetapi juga bisa mengintegrasikan upaya pemulihan bagi korban.
Dengan semakin meningkatnya jumlah korban kasus kekerasan seksual, RUU TPKS juga bisa menjadi upaya pemerintah untuk mengedukasi publik guna mencegah terjadinya kekerasan seksual dalam bentuk apa pun.
"Undang-undang yang sudah ada belum mengintegrasikan pemulihan dan kerusakan yang dialami oleh korban karena hanya bicara soal hukuman pidana saja, sehingga RUU ini diharapkan bisa mendukung mereka, tidak hanya untuk rasa keadilan saja, tetapi juga pemulihan, restitusi dan juga upaya-upaya pencegahan," kata Baihajar Tualeka.
Sedangkan, Direktur Yayasan Gasira Maluku, Lies Marantika mengatakan, kekerasan seksual terjadi berhubungan dengan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Pelaku cenderung memiliki kekuasaan dan bisa mengintimidasi korban secara langsung sehingga tidak berani melapor atau pun mengeluhkan peristiwa yang dialaminya.
Tidak hanya orang luar, seperti tetangga, teman, guru dan orang-orang lain yang memiliki hubungan interaksi dengan korban, pelaku kekerasan seksual juga bisa berasal dari orang yang hidup bersama korban, semisal ayah, kakek, paman, kakak laki-laki dan lainnya.
"Kalau kita melihat dari kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi, ada relasi kuasa antara pelaku dan korban. Pelaku memiliki kemampuan untuk menekan dan mengintimidasi korban secara langsung," ujarnya.
Lies yang juga mantan komisioner Komnas Perempuan mengatakan kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja dan menimpa siapa saja. Perlindungan dan dukungan negara terhadap para korban sangat dibutuhkan, agar tidak hanya rasa keadilan secara hukum, tetapi perlu juga jaminan keadilan pemulihan bagi mereka.
"RUU ini bisa menjadi jaminan adanya perlindungan dan dukungan pemerintah terhadap korban-korban kekerasan seksual, sehingga perlu didorong agar segera disahkan," kata Lies Marantika.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021