Kepolisian Daerah Maluku menyatakan kondisi di Dobo, ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru, mulai kondusif setelah bentrokan terjadi usai sidang sengketa lahan di Pengadilan Negeri (PN) Dobo terkait gugatan masyarakat adat Desa Marafenfen terhadap TNI AL, Rabu.
"Kondisi Alhamdulillah sudah kondusif walaupun 'sasi' masih dipasang," kata Kabid Humas Polda Maluku, Kombes Pol. M Roem Ohoirat kepada ANTARA ketika dihubungi di Ambon.
Kericuhan terjadi setelah Hakim PN Dobo memenangkan pihak tergugat TNI AL dalam perkara perdata menyangkut sengketa lahan seluas 689 hektare di Desa Marafenfen Kecamatan Aru Selatan. Puluhan warga adat Marafenfen, sebagian mengenakan pakaian adat dan ikat kepala warna merah, mengamuk mendengar keputusan tersebut dan merusak kantor PNDobo dengan cara melempar batu. Polisi menurunkan personel dengan tameng dan mobil meriam air (water cannon) untuk membubarkan massa.
Roem Ohoirat mengatakan warga yang emosi juga melakukan "sasi" atau pelarangan dan menyegel secara adat gedung pengadilan dengan acara memasang janur kuning kelapa. Kemarahan warga tidak sampai di situ saja, lanjutnya, karena mereka juga melakukan "sasi" terhadap kantor Bupati Kepulauan Aru, Bandara Aru dan pelabuhan.
"Sementara anggota kami koordinasi untuk melakukan pembukaan 'sasi' terhadap fasilitas-fasilitas umum," katanya.
Ia meminta warga untuk tidak anarkis dan membuka "sasi" karena akan berdampak pada kerugian di masyarakat umum. Sedangkan yang terjadi saat ini adalah penutupan terhadap fasilitas-fasilitas umum seperti Bandara dan Pelabuhan Aru.
"Menutup fasilitas umum itu adalah suatu pelanggaran. Sasi itu adalah larangan adat, tapi larangan adat itu biasanya lebih ditujukan atau penutupan adat itu ditujukan kepada hak milik. Sedangkan fasilitas-fasilitas pemerintah itu kan bukan hak milik mereka, kenapa harus di-sasi," katanya.
Ia mengatakan sekarang sedang diupayakan secara persuasif agar masyarakat adat Marafenfen membuka pelarangan adat tersebut. "Sejauh ini anggota Polres Aru sebanyak 2/3 personel berada di lapangan untuk melakukan koordinasi dan mengamankan situasi," katanya.
Konflik lahan masyarakat Adat Marafenfen sudah berlangsung selama puluhan tahun, berawal dari Januari 1992 saat aparat TNI AL mengklaim sudah ada pembebasan lahan masyarakat di Desa Marafenfen untuk pembangunan Lapangan Udara TNI AL (Lanudal) Aru. Masyarakat Adat Marafenfen merasa pengambilalihan lahan mereka dilakukan secara paksa, sehingga kehidupan warga setempat yang bergantung pada hutan jadi terganggu.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021
"Kondisi Alhamdulillah sudah kondusif walaupun 'sasi' masih dipasang," kata Kabid Humas Polda Maluku, Kombes Pol. M Roem Ohoirat kepada ANTARA ketika dihubungi di Ambon.
Kericuhan terjadi setelah Hakim PN Dobo memenangkan pihak tergugat TNI AL dalam perkara perdata menyangkut sengketa lahan seluas 689 hektare di Desa Marafenfen Kecamatan Aru Selatan. Puluhan warga adat Marafenfen, sebagian mengenakan pakaian adat dan ikat kepala warna merah, mengamuk mendengar keputusan tersebut dan merusak kantor PNDobo dengan cara melempar batu. Polisi menurunkan personel dengan tameng dan mobil meriam air (water cannon) untuk membubarkan massa.
Roem Ohoirat mengatakan warga yang emosi juga melakukan "sasi" atau pelarangan dan menyegel secara adat gedung pengadilan dengan acara memasang janur kuning kelapa. Kemarahan warga tidak sampai di situ saja, lanjutnya, karena mereka juga melakukan "sasi" terhadap kantor Bupati Kepulauan Aru, Bandara Aru dan pelabuhan.
"Sementara anggota kami koordinasi untuk melakukan pembukaan 'sasi' terhadap fasilitas-fasilitas umum," katanya.
Ia meminta warga untuk tidak anarkis dan membuka "sasi" karena akan berdampak pada kerugian di masyarakat umum. Sedangkan yang terjadi saat ini adalah penutupan terhadap fasilitas-fasilitas umum seperti Bandara dan Pelabuhan Aru.
"Menutup fasilitas umum itu adalah suatu pelanggaran. Sasi itu adalah larangan adat, tapi larangan adat itu biasanya lebih ditujukan atau penutupan adat itu ditujukan kepada hak milik. Sedangkan fasilitas-fasilitas pemerintah itu kan bukan hak milik mereka, kenapa harus di-sasi," katanya.
Ia mengatakan sekarang sedang diupayakan secara persuasif agar masyarakat adat Marafenfen membuka pelarangan adat tersebut. "Sejauh ini anggota Polres Aru sebanyak 2/3 personel berada di lapangan untuk melakukan koordinasi dan mengamankan situasi," katanya.
Konflik lahan masyarakat Adat Marafenfen sudah berlangsung selama puluhan tahun, berawal dari Januari 1992 saat aparat TNI AL mengklaim sudah ada pembebasan lahan masyarakat di Desa Marafenfen untuk pembangunan Lapangan Udara TNI AL (Lanudal) Aru. Masyarakat Adat Marafenfen merasa pengambilalihan lahan mereka dilakukan secara paksa, sehingga kehidupan warga setempat yang bergantung pada hutan jadi terganggu.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021