Dua Kesultanan di Provinsi Maluku Utara, yakni Ternate dan Tidore, menyatakan keprihatinan mereka karena belakangan ini tanah adat diperebutkan untuk investasi pertambangan.

Sultan Ternate Hidayatullah Sjah di Ternate, Selasa, menyatakan keprihatinan tersebut disebabkan karena saat ini daratan Halmahera menjadi rebutan investor di bidang pertambangan yang berkeinginan mengelola kekayaan yang terkandung di  dalamnya. Ia berpesan kepada masyarakat adat yang tersebar di jazirah Moloku Kieraha, Maluku Utara (Malut), untuk tetap bersama-sama menjaga eksistensi status dan hak kelola tanah untuk kemakmuran rakyat.

"Investasi di Malut harus menjadi alat untuk menyejahterakan rakyat, mampu selamatkan generasi 30 - 50 tahun ke depan, sehingga Kesultanan Ternate bakal membuat suatu keputusan untuk disampaikan ke Presiden, Gubernur, Bupati, hingga Wali Kota dan khususnya di wilayah Kesultanan Ternate, bahwa seluruh tanah adat tidak boleh lagi diperjualbelikan," kata Sultan Ternate.

Menurut dia, keprihatinan yang sama juga disampaikan oleh Sultan Tidore Husain Sjah, saat keduanya menghadiri hajatan hari jadi ke-528 Kampung Igobula di Galela Selatan, Halmahera Utara pada Senin (14/3).

Sebagai salah satu kerajaan tertua di Indonesia ini, karena Kesultanan Ternate telah berdiri sejak 800 tahun lalu, ia menyatakan Kesultanan akan bekerjasama dengan Kementerian Pertanian untuk pembibitan pohon untuk pengelolaan tanah adat tidak jadi sumber konflik akibat tambang. Meski begitu, sultan menyadari Malut juga butuh investasi dari luar untuk pembangunan ekonomi, namun pengelolaannya bukan dengan memiliki lahan.

"Kami akan sediakan lahan 40 hektare, bikin pembibitan dan bibit diberikan secara gratis kepada petani. Dan untuk investor cukup dengan kontrak kerja sama. Jadi mau kelola 50 tahun, 100 tahun, silahkan, tetapi tidak menjadi hak milik, karena lahan itu demi generasi mendatang," ujarnya.

Baca juga: Sultan Tidore ingatkan Gubernur Malut soal pembentukan kawasan kota Sofifi

Dia mengakui, sangat tidak manusiawi bila generasi mendatang memikul beban berat, akibat dari kebijakan generasi hari ini dan Kesultanan pernah salah urus masalah tanah di Morotai, yang di sana tanahnya hanya dibayar Rp1.000 per hektare untuk investor. Cara tersebut tidak boleh terjadi di Galela, Halmahera, kata Sultan Ternate.

Sementara itu, Sultan Tidore Husain Sjah meminta pemerintah tidak menutup mata terhadap seluruh masyarakat adat di jazirah Moloku Kie Raha, karena setiap anak yang lahir di Malut punya ikatan dengan adat istiadat.  Sultan Tidore menyatakan, empat kesultanan di Malut ini lebih tua dari peradaban yang ada di Indonesia, sehingga tanah ada dan tali persaudaraan yang telah dipupuk selama ini harus tetap dipertahankan.

Husain menambahkan, Kampung Igobula di Pulau Halmahera adalah bagian yang tak terpisahkan dari Kesultanan Ternate dan Tidore, karena dari sisi historis, dulu terdapat seorang wanita bernama Boki Bobola yang dinikahi salah satu pangeran dari Tidore dan alah satu keturunannya dibawa ke Tidore dan dipercayakan menjadi Gimalaha hingga imam masjid Sigi Kolano.

Bahkan di perkampungan Soakonora, Galela, disebut Husain, berasal dari Tidore. Lalu berhijrah ke Ternate hingga ke Igobula, dan kembali berkhidmat di Tidore dan ini adalah ikatan kekeluargaan antara satu dengan yang lain.

"Ternate dan Tidore itu bersaudara, sehingga momentum kali ini sangat berharga, karena pertemukan dua orang sultan sekaligus, bahkan belum pernah terjadi dan peristiwa ini bisa menjadi sebuah catatan sejarah untuk dikenang oleh warga Igobula," ujarnya.

Baca juga: Kesultanan Ternate Maluku Utara programkan Ternate Kota Religius, bagaimana dukungan Pemda?

Pewarta: Abdul Fatah

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2022