Sejumlah pesan damai disampaikan para Tokoh Agama dan Tokoh Adat bagi masyarakat di Pulau Kei Besar Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku, untuk mengakhiri konflik di Desa (Ohoi) Elat dan Bombay (Hoarngutru).

Pesan damai dan ajakan merajut kembali hidup persaudaraan diantara sesama masyarakat di kemukakan Tokoh Adat dan Adat pada gelaran Doa Bersama dan Ritual Adat yang dipusatkan di Elat Ibu Kota Kecamatan Kei Besar, Sabtu (17/12).

Uskup Keuskupan Amboina Mgr. Seno Ngutra mengemukakan, sebagai anak Kei Besar dengan peristiwa yang terjadi saat ini tentunya membuat kita semua menangis.

Baca juga: Bupati Maluku Tenggara meminta polisi tangkap pihak pemicu konflik

"Kita perlu menangisi kebodohan dan kesalahan kita, karena tidak ada yang menang dalam sebuah perang ataupun konflik," ujarnya.

Dikatakan, dulu wilayah Kei Besar paling aman, namun ketika akhir-akhir ini terjadi peristiwa pertikaian, maka mungkin kita telah melupakan adat istiadat. Maka hari ini warga diminta mengingat kembali bagaimana betapa indahnya hidup bersaudara.

"Apa yang terjadi adalah sebuah kesalahan, namun Tuhan tidak melihat berapa kali anda jatuh, melainkan Tuhan melihat bagaimana anda bangkit dan berjalan kembali, maka hari ini kita di wilayah ini harus bangkit dan kembali berjalan bersama-sama sebagai orang bersaudara di Kei Besar," ujar Ngutra.

Baca juga: Polisi ringkus lima orang terduga pemicu konflik di Maluku Tenggara

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku Abdullah Latuapo mengungkapkan, apa yang kita lakukan bersama Pemda saat ini adalah niat yang suci dan mulia untuk membangun kembali kesadaran untuk memperbaiki kehidupan persaudaraan kita di wilayah Kei Besar.

Latuapo menandaskan, pada hakikatnya, kita umat manusia tanpa pandang bulu adalah satu, kita semua bersaudara, sekalipun Agama yang kita anut berbeda.

"Agama Islam sendiri telah mengajarkan, cintailah orang lain tanpa pandang bulu, sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, jadi janganlah bertikai atapun saling membunuh," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Kalasis Gerja Protestan Maluku (GPM) Wilayah Kei Besar, Hengky Siahaya menuturkan, "Hari ini kita semua berkumpul disini adalah untuk mencari persaudaraan dan kedamaian, oleh karena itu marilah kita menjaga tanah ini, menjaga nilai luhur yang telah diturunkan oleh para leluhur kita yakni "ain ni ain" (kita adalah satu), dan juga perlu menjaga kedamaian yang diajarkan semua Agama,".

Baca juga: Polisi ringkus lima orang terduga pemicu konflik di Maluku Tenggara

Mari hargai dan jaga persaudaraan, kebersamaan dan toleransi, sebagaimana yang telah diwarisi oleh para leluhur kita dan ajaran agama kita masing-masing.

Sekretaris Dewan Adat Kepulauan Kei Patrisius Renwarin menjelaskan, sekaligus harapan tentang ritual adat yang dilaksanakan.

Jelasnya, Ritual Adat pemasangan Sasi "Hawear Balwirin" saat ini adalah untuk menjaga atau melarang agar kedua belah pihak yang bertikai atau siapa saja yang hidup di wilayah ini tidak lagi melakukan pertikaian.

"Kita semua adalah orang Kei, jangan lagi bertanya pemasangan Hawear ini, karena ini adalah tanda larangan adat untuk menghentikan pertikaian, maka mari kita cintai tanah ini dengan menghargai adat dan istiadat kita yang menjunjung tinggi kebersamaan dan persaudaraan," tutup Renwarin.

Baca juga: Polisi kembali tangkap satu terduga pemicu bentrok di Maluku Tenggara, penegakan hukum diperlukan

Pewarta: Siprianus Yanyaan

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2022