Pemandangan di Pantai Hunimua di Negeri (Desa) Liang, Kecamatan Salahutu, Pulau Ambon, Kabupaten Maluku (Malteng) Tengah tampak biasa-biasa saja. Tak ada kesan istimewa yang tertangkap pandangan mata bila membandingkannya dengan hasil penelitian Badan PBB yang mengurusi pembangunan global (UNDP) tahun 1990 yang menyatakan lokasi itu sebagai pantai terindah di Indonesia. Hanya butiran pasir putih yang terhampar di sepanjang pantai, ditambah beningnya Laut Hunimua serta suasana pantai yang tenang, jauh dari bisingnya lalu lintas kendaraan yang dapat menahan hasrat pengunjung berlama-lama di lokasi wisata itu. Selebihnya, penataan obyek wisata yang terletak yang berjarak 38 km dari dari Kota Ambon itu terkesan amburadul. Mulai dari tidak tersedianya air di toilet-toilet, tak ada tempat sampah dan petugas pembersih, tenda-tenda dagangan yang mulai tua hingga sarana rekreasi yang tidak terpelihara. Pengunjung yang datang di tempat itu pun tidaklah banyak bila dibandingkan dengan obyek wisata lainnya di Kecamatan Salahutu yang hampir setiap hari dipadati wisatawan. Sebut saja Pantai Netsepa, Desa Suli yang tak pernah sepi didatangi wisatawan, baik hari-hari bisa maupun hari libur. Penataannya pun sangat baik dan menarik. Obyek wisata yang dikelola oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Maluku Tengah itu selalu dipadati pengunjung. Apalagi Natsepa terkenal dengan jajanan rujak buahnya yang khas. Begitupun dengan sumber pemandian air panas di Dusun Hatuasa, Desa Tulehu yang didatangi penunjung sedikitnya 100 orang per hari. Jumlah itu meningkat enam kali lipat saat hari libur. Namun yang terlihat di Pantai Liang, kendatipun hari libur tampak sepi-sepi saja karena aset wisata terindah itu tak mampu menarik minat pengunjung. Ia terkesan terabaikan. Lokasi wisata yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Maluku itu baru terlihat ramai bila suatu kegiatan organisasi atau instansi dilaksanakan disana. "Disini agak sepi dibandingkan lokasi wisata lainnya. Mungkin orang lebih suka berekreasi di tempat lain," kata seorang pengunjung, Rina, Sabtu. Rina mengaku jarang melangkahkan kakinya ke Pantai Liang karena selain jangkauannya jauh dari Kota Ambon, penyajian jajanan di tempat itu terlihat kurang menarik serta fasilitas yang tidak memadai. Pesona Pantai Liang seakan tenggelam karena kurangnya perhatian pemerintah, baik pihak Negeri Liang, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malteng maupun Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku. Padahal aset wisata itu butuh perhatian semua pihak untuk pengembangannya. Kepala Pemerintah Negeri Liang, Abdul Razak Opier beralasan, pihaknya hanya menerima Rp 50,- per karcis setiap tahunnya dari pengelola sehingga tidak dapat berbuat banyak untuk mengembangkan objek wisata itu. "Tari-tarian dan kesenian daerah bila ingin dipentaskan di sini pastilah butuh dana. Sementara kami hanya dialokasikan Rp50,- per karcis," katanya. Dia mengatakan, dari kurun waktu 2009 - 2010, Pemerintah Negeri Liang hanya mendapat Rp1,5 juta dari pengelolaan obyek wisata di daerahnya itu. Sementara Kepala Bidang Produksi dan Usaha Pariwisata Disbudpar Maluku, Ima Tualeka mengatakan, akan menata tenda-tenda jajanan dan menyediakan tempat sampah di lokasi wisata itu. Begitupun para pedagang di sana akan diberi bantuan oleh Pemprov Maluku dalam rangka menyiapkan lokasi wisata itu menyambut kegiatan internasional Sail Banda yang akan berlangsung Juli - Agustus 2010. "Sedangkan terkait pasokan air bersih ke toilet-toilet di lokasi itu saat ini sedang dalam proses pengerjaan," katanya. Hingga kini pengelolaan Pantai Liang seakan "berjalan di tempat" . Tidak tampak proses pembangunan yang berjalan tempat itu. Padahal sekitar 50 ibu-ibu Desa Liang dan pedagang buah musiman mencoba mengais rejeki di sana. "Terumbu karang rusak" Perhatian yang dibutuhkan Pantai Liang bukan hanya sekedar penataannya, melainkan juga pengawasan dari pihak-pihak berkompeten karena kekayaan bawah lautnya terancam rusak akibat ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang menggunakan bahan peledak (bom ikan) untuk mendapatkan ikan. Padahal kekayaan bawah laut itu merupakan salah satu indikator penilaian tim UNDP tahun 1990 yang menetapkannya sebagai pantai terindah di Indonesia. Begitupun karang-karang di tempat itu juga mengalami nasip yang sama akibat penggunaan linggis oleh masyarakat yang ingin mengambil kerang-kerangan dari celah-celah batu. Mereka tidak menyadari bahwa perbuatannya yang ingin mendapatkan lauk untuk hidangan makanan justru merusak kekayaan pantai negerinya. Kini tindakan tersebut sudah dihentikan karena ada pengawasan dari Pemerintah Desa. Masyarakat itu dibolehkan mengambil kerang-kerangan asalkan tidak merusak karang. Kendatipun Pemerintah Liang mengawasi wilayahnya bersama pihak Kepolisian, hal itu tak menjamin sepenuhnya bahwa kekayaan bawah laut dan karang-karang di kawasan pantai itu akan aman dari penggunaan bom ikan, potas, dan sejenisnya. Butuh kesadaran semua pihak untuk menjaga agar pantai itu tetap indah. "Sengketa tanah" Wakil Gubernur Maluku, Said Assagaff gencar mempromosikan aset wisata itu pada setiap kesempatan. Di sela-sela sambutannya pada beberapa kegiatan, orang nomor dua di Maluku itu tak lupa "menyelipkan" predikat Pantai Liang sebagai yang terindah. Tujuannya agar keindahan Pantai Liang tersebar meluas hingga ada pihak-pihak yang tertarik untuk mengembangkannya. "Dulu pernah ada investor yang ingin menanamkan modalnya mengembangkan Pantai Liang. Namun karena ada pihak-pihak yang bersengketa, saling mengklaim sebagai pemilik tanah sehingga investor itu batal berinvestasi di sini. Dia memilih mengembangkan Pantai Bunaken," kata Said Assagaff. Dia mengimbau masyarakatnya untuk berpikiran maju, menghentikan sengketa guna pengembangan daerah itu di masa mendatang yang akan berdampak pada kesejahteraan rakyat. Sementara pada kesempatan terpisah, Kadisbudpar Provinsi Maluku, Florence Sahusilawane mengatakan, saling klaim antara warga Desa Liang yang mengaku sebagai pihak yang berhak atas lokasi wisata itu membuat pengelola belum dapat melaksanakan pembangunan di Pantai Hunimua. Florence Sahusilawane mengatakan Disbudpar sedang menunggu keputusan hukum atas sengketa tanah yang terjadi di Negeri Liang dan akan menjalin kerja sama dengan pemilik tanah yang sah berdasarkan hukum. "Jadi kami belum dapat melaksanakan pembangunan di tempat itu karena alasan tersebut," katanya. Sejatinya pembangunan aset wisata terindah itu butuh perhatian dan kesadaran semua pihak, baik masyarakat, Pemerintah Desa, Pemkab Malteng maupun Pemprov Maluku pengelolaan dan pemanfaatannya semata-mata bertujuan untuk kesejahteraan rakyat Maluku. Saat Ini Ikan Banyak di Perairan Maluku Musim tenggara yang sedang terjadi saat ini biasanya berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah ikan di perairan Maluku. Hal itu dikemukakan Kepala Balai Konservasi Biota Laut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia  (LIPI) Ambon, Augy Syahailatua, dalam satu perbincangan dengan ANTARA di Ambon, Sabtu. "Meski musim ini menyebabkan cuaca buruk dan sering turun hujan deras, ikan di perairan Maluku justrui sedang banyak-banyaknya," katanya. Menurut Syahailatua, musim tenggara yang berlangsung antara Juli hingga September di Maluku mengakibatkan lautan menjadi lebih subur dan terjadi fenomena pemijahan dan menetasnya telur berbagai jenis ikan di perairan yang terhubung dengan Laut Banda. "Ikan berkembang biak lebih cepat pada musim ini," katanya. Ia mengungkapkan, fenomena pemijahan ikan bisa dibuktikan dengan adanya kegiatan penangkapan telur ikan terbang yang saat ini sedang dilakukan oleh nelayan di Laut Aru, Maluku Tenggara dan Fak-fak yang menjadi bagian dari Laut Banda. Dijelaskan, musim saat ni yang dikenal masyarakat Maluku sebagai musim timur berasal dari angin yang bertiup dari arah tenggara Maluku ke sebelah barat, sehingga mendorong massa air permukaan Laut Banda menuju ke Laut Flores dan Laut Jawa. Kejadian ini mengakibatkan naiknya massa air bagian bawah Laut Banda ke permukaan yang dikenal dengan peristiwa upwelling. "Peristiwa ini membawa unsur hara, fosfat dan nitrat yang menyuburkan perairan," ujarnya. Dengan suburnya perairan, plankton sebagai makanan ikan lebih cepat besar dan berbagai spesies ikan di lautan pun berkembang biak lebih cepat. "Biasanya kalau ikan kecil banyak, maka ikan besar pun akan datang," katanya. Menurut dia, nelayan tradisional di Maluku mengetahui adanya peristiwa upwelling dengan cara merasakan air laut yang lebih dingin daripada sebelumnya, karena pada saat itu suhu permukaan air laut yang normalnya 29-30 derajat Celcius turun hingga 26 derajat Celcius. "Kalau musim Barat suhu permukaan air laut naik hingga 31 derajat Celcius, sehingga lebih hangat," kata Syahailatua. Ia menambahkan, pada musim tenggara  maka nelayan yang menggunakan perahu tradisional akan kesulitan melakukan aktivitas penangkapan ikan, karena sering terjadi gelombang laut yang bisa mencapai enam meter. "Mungkin karena sedikitnya operasi penangkapan ikan, maka saat musim tenggara harga ikan di pasaran cenderung lebih mahal," kata Augy Syahailatua.

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2010