Saniri atau dewan adat Negeri Soya di Kecamatan Sirimau, Ambon memasang "sasi adat" atau larangan melakukan aktivitas apa pun di areal sengketa eks hotel Anggrek di Batu Gajah, Jumat petang. Sebanyak 15 anggota Saniri berpakaian adat lengkap dipimpin Kepala Urusan Pemerintahan Negeri Soya J Soplanit, datang dan melakukan ritual adal singkat di bekas pintu masuk kawasan eks hotel anggrek dengan menggunakan bahasa daerah setempat, diawali dengan peniupan kulit bia (kerang) sebanyak tiga kali. Dengan disaksikan ratusan warga sekitar, Soplanit kemudian menyampaikan larangan dalam bahasa adat dan kemudian, mereka secara bersama-sama memasang papan "sasi" adat yang sudah dibawa, menyiram air yang sudah didoakan di areal tanah sengketa yang baru dieksekusi Pengadilan Negeri (PN) Ambon, 6 April lalu. Di bagian bawah papan sasi itu, mereka membakar damar dan mengikat daun anggrek dengan seutas kain berwarna merah, sebagai tanda "sasi" itu berlaku untuk siapa saja yang mencoba menyerobot tanah yang menurut para Saniri merupakan tanah ulayat negeri mereka. Pada papan yang dipasang itu tertulis "sasi adat Negeri Soya. Tanah ini adalah hak ulayat Negeri Soya dan dilindungi putusan Mahkamah Agung (MA) RI No.REG: 475/K/PDT/1976. siapa langgar adat, adat hukum dia". "Silahkan saja jika ada yang mau membongkarnya, tetapi pasti akan terkena tulah sumpah adat," ujar beberapa anggota Saniri Negeri Soya. Sebelum datang dan memasang "sasi" para anggota saniri terlebih dahulu telah berunding di Baileo (rumah adat) negeri mereka dan melakukan ritual adat sasi. Soplanit menambahkan, PN Ambon tidak berhak melakukan eksekusi karena tanah tanah eks hotel anggrek berada dalam Sopiamaluang maupun Usisapuang. Dua dusun dati itu dinyatakan hilang oleh hukum adat setelah ahli waris meninggal karena tidak anak laki- laki yang melanjutkan, sehingga otomatis dusun tersebut dikuasai pemerintah Soya dan tidak dapat diwariskan kepada orang lain tanpa persetujuan. "PN tidak berhak melakukan eksekusi karena ahli waris Simon Latumalea yakni Muskitta dan Albatros Matulessy bukan penduduk negeri Soya," ujarnya. Saat para anggota Saniri hendak meninggalkan lokasi itu, tiba-tiba datang beberapa orang yang mengaku sebagai ahli waris keluarga Simon Latumalea, sambil marah-marah dan membongkar tanda sasi yang dipasang itu. Papan sasi dan berbagai ornamennya itu, kemudian dibakar oleh mereka. "Kami juga anak adat Negeri Soya dan tahu aturan. Kami tidak takut dengan sanksi atau terkena kualat karena membongkar sasi yang dipasang karena ini tanah kami," ujar mereka. Puluhan personil polisi yang bersiaga di lokasi itu, kemudian membubarkan warga yang menonton dan meminta anggota keluarga Latumalea untuk tenang dan tidak ribut. Kuasa Hukum keluarga Albatros Matulessy dan Muskitta sebagai ahli waris keluarga Simon Latumalea, Max Siahaya, menegaskan, wajar jika keluarga ahli waris marah dan membongkar sasi yang dipasang, karena mereka merasa tanah itu milik mereka dan telah dieksekusi oleh PN Ambon. "Jika Saniri Negeri Soya merasa areal eks hotel anggrek merupakan miliknya silahkan memprosesnya di pengadilan, sehingga bisa dibuktikan siapa pemilik sah. PN Ambon juga telah menetapkan ahli waris Simon Latumalea sebagai pemilik sah dalam sengketa lahan tersebut," katanya. Dia menegaskan, sesuai prosedur hukum tanah yang sudah dieksekusi tidak mungkin dikuasai oleh orang lain, apalagi memasang tanda larangan beraktivitas dengan mengatas namakan adat. Sedangkan eksekusi tanah eks hotel anggrek yang dihuni 84 kepala keluarga (KK) dilakukan PN Ambon berdasarkan putusan perkara No.21 tahun 1950 serta surat penetapan eksekusi No. PN.AB No 21/1950, tanggal 25 Maret 2010. Panitera Sekretaris PN Ambon, Munawih Kossah mengatakan, eksekusi dilakukan setelah PN memenangkan ahli waris Keluarga Simon Latumalea atas Perusahaan Daerah (PD) Panca Karya dalam kasus sengketa tanah eks Hotel Anggrek yang dihuni 84 kepala keluarga (KK) Ketua PN Ambon Arthur Hangewa juga telah mengeluarkan surat penetapan eksekusi No.PN.AB No.21/1950 tanggal 25 Maret 2010. Selain itu, Panitera PN juga telah mengeluarkan surat No.W27UI/343/HK.02/III/ 2011, tanggal 29 Maret 2011 tentang pelaksanaan eksekusi pengosongan. Berdasarkan hasil pertemuan dengan ahli waris, 84 KK yang tinggal di tanah tersebut akan diberikan kompensasi sebesar Rp3,5 juta. Sedangkan Biro Hukum dan HAM Setda Maluku memaparkan sejumlah bukti sebagai dasar hukum yang menyatakan bahwa tanah eks Hotel Anggrek adalah milik PD. Panca Karya. Bukti-bukti itu diantaranya pemberian dari Pemerintah Negeri dan Saniri Negeri Soya melalui Surat Keputusan Nomor 4 tanggal 7 Februari 1974. Bukti kepemilikan tanah juga diperkuat dengan putusan PN Nomor 77 tahun 1974, putusan PT Maluku Nomor: 79/1975-Prdt/PT. Maluku tanggal 15 September 1975 dan putusan MA RI Nomor: 475/K/SIP/1976 tanggal 23 Februari 1982. Biro Hukum Pemprov Maluku juga telah mendaftarkan perlawanan perkara ke PN Ambon No.55 tahun 2011, tertanggal 1 April 2011.

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2011