Ternate (Antara Maluku) - Kalangan praktisi hukum di Maluku Utara minta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Wakajati Malut Edward Aritonang terkait dugaan pemerasan yang dilakukannya terhadap Wakil Bupati Halmahera Selatan nonaktif Rusdan.
"KPK harus memeriksa Wakajati Malut untuk memastikan apakah dugaan pemerasan kepada Wakil Bupati Halsel tersebut benar atau tidak. Jika benar harus diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," kata seorang praktisi hukum di Maluku Utara (Malut) Johan, SH di Ternate, Kamis.
Kalau dugaan pemerasan yang dilakukan Wakajati Malut terhadap Wakil Bupati Halsel nonaktif tersebut hanya diperiksa oleh interen dari Kejaksaan baik di Kajati Malut maupun Kejaksaan Agung dikhwatirkan akan ditutup-tutupi dengan pertimbangan menjaga citra institusi kejaksaan.
Johan mengatakan, masyarakat di Malut selama ini selalu mengkritisi kinerja Kejati Malut yang terkesan kurang serius menangani kasus korupsi, terutama yang melibatkan para pejabat setempat. Misalnya dalam kasus dugaan penyimpangan anggaran pembelian kapal Halsel Ekspres oleh Pemkab Halmahera Selatan.
Kasus yang diduga melibatkan pejabat di lingkup Pemkab Halsel dengan kerugian sekitar Rp14 miliar itu tidak pernah dituntaskan oleh Kejati Malut. Padahal fakta-fakta hukum mengenai terjadinya penyimpangan sangat jelas, seperti pembelian kapal tanpa melalui proses lelang.
"Masih banyak lagi kasus korupsi lain di Malut yang tidak ditangani secara serius oleh Kejati Malut dan itu bisa terjadi karena ada permainan antara okum di Kejati dengan pihak yang terlibat korupsi. Terkuaknya kasus pemerasan yang dilakukan Wakajati terhadap Wakil Bupati Halsel nonaktif menguatkan dugaan itu," katanya.
Kasus dugaan pemerasan tersebut terkuak setelah Rusdan sebagai terdakwa kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial di Kabupaten Halmahera Timur sebesar Rp4,5 miliar ketika dia menjadi Kabag Keuangan Pemkab Halmahera Timur menjalani sidang vonsi di Pengadilan Tipikor Ternate (28/8) membeberkan pemerasan yang dialaminya dan dilakukan oleh Wakajati Malut Edward Aritonang.
Rusdan mengaku, saat kasus korupsi dana bantuan sosial tersebut mulai diselidiki Kajati Malut, ia didatangi oleh seorang penyidik di Kejati Malut dan mengajaknya bertemu dengan Wakajati Malut Edward Aritonang.
"Saat bertemu dengan Wakajati Malut, saya dimintai uang sebesar Rp2 miliar sebagai kompensasi agar kasus itu dihentikan penyelidikannya. Namun saya waktu itu hanya menyanggupi sebesar Rp500 juta," ujarnya.
Wakajati Malut menolak uang yang hanya Rp500 juta tersebut dengan alasan ada pihak tertentu yang telah menawarkan uang yang lebih besar dengan syarat kasus korupsi dana bantuan sosial di Pemkab Haltim 2010 tersebut tetap dilanjutkan dan akhirnya ia diseret ke pengadilan dengan vonis delapan tahun penjara.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2013
"KPK harus memeriksa Wakajati Malut untuk memastikan apakah dugaan pemerasan kepada Wakil Bupati Halsel tersebut benar atau tidak. Jika benar harus diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," kata seorang praktisi hukum di Maluku Utara (Malut) Johan, SH di Ternate, Kamis.
Kalau dugaan pemerasan yang dilakukan Wakajati Malut terhadap Wakil Bupati Halsel nonaktif tersebut hanya diperiksa oleh interen dari Kejaksaan baik di Kajati Malut maupun Kejaksaan Agung dikhwatirkan akan ditutup-tutupi dengan pertimbangan menjaga citra institusi kejaksaan.
Johan mengatakan, masyarakat di Malut selama ini selalu mengkritisi kinerja Kejati Malut yang terkesan kurang serius menangani kasus korupsi, terutama yang melibatkan para pejabat setempat. Misalnya dalam kasus dugaan penyimpangan anggaran pembelian kapal Halsel Ekspres oleh Pemkab Halmahera Selatan.
Kasus yang diduga melibatkan pejabat di lingkup Pemkab Halsel dengan kerugian sekitar Rp14 miliar itu tidak pernah dituntaskan oleh Kejati Malut. Padahal fakta-fakta hukum mengenai terjadinya penyimpangan sangat jelas, seperti pembelian kapal tanpa melalui proses lelang.
"Masih banyak lagi kasus korupsi lain di Malut yang tidak ditangani secara serius oleh Kejati Malut dan itu bisa terjadi karena ada permainan antara okum di Kejati dengan pihak yang terlibat korupsi. Terkuaknya kasus pemerasan yang dilakukan Wakajati terhadap Wakil Bupati Halsel nonaktif menguatkan dugaan itu," katanya.
Kasus dugaan pemerasan tersebut terkuak setelah Rusdan sebagai terdakwa kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial di Kabupaten Halmahera Timur sebesar Rp4,5 miliar ketika dia menjadi Kabag Keuangan Pemkab Halmahera Timur menjalani sidang vonsi di Pengadilan Tipikor Ternate (28/8) membeberkan pemerasan yang dialaminya dan dilakukan oleh Wakajati Malut Edward Aritonang.
Rusdan mengaku, saat kasus korupsi dana bantuan sosial tersebut mulai diselidiki Kajati Malut, ia didatangi oleh seorang penyidik di Kejati Malut dan mengajaknya bertemu dengan Wakajati Malut Edward Aritonang.
"Saat bertemu dengan Wakajati Malut, saya dimintai uang sebesar Rp2 miliar sebagai kompensasi agar kasus itu dihentikan penyelidikannya. Namun saya waktu itu hanya menyanggupi sebesar Rp500 juta," ujarnya.
Wakajati Malut menolak uang yang hanya Rp500 juta tersebut dengan alasan ada pihak tertentu yang telah menawarkan uang yang lebih besar dengan syarat kasus korupsi dana bantuan sosial di Pemkab Haltim 2010 tersebut tetap dilanjutkan dan akhirnya ia diseret ke pengadilan dengan vonis delapan tahun penjara.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2013