Kearifan lokal "sasi" merupakan salah satu prana sosial di Maluku yang melarang warga memanen hasil tanaman maupun hasil laut sebelum waktunya. Ketika berbicara "sasi, tentu perhatian banyak orang tertuju ke wilayah berjuluk "negeri raja-raja" ini.
Salah satu provinsi di Timur Indonesia ini memang sejak dahulu terkenal dengan berbagai budaya dan kearifan lokal yang dijunjung masyarakatnya demi kelestarian sumber daya alam.
Berlaku tidaknya "sasi" di tengah masyarakat tidak terlepas dari peran seseorang yang bertugas semacam polisi penjaga negeri/desa, yang dalam strata adat dan budaya di Maluku disebut "Kewang".
Bicara peran kewang, banyak orang akan menyebut nama Eliza Kissya. Ia polisi penjaga kelestarian sumber daya alam baik di darat maupun laut di desa Haruku, Kabupaten Maluku Tengah yang terkenal dengan sasi ikan lompa (Trisina baelama), sejenis ikan sardin kecil yang hidup di kali Learisa Kayeli.
Bagi kalangan pemerhati dan pecinta lingkungan, nama Eliza Kissya tidak asing lagi.
Pria kelahiran 12 Maret 1949 ini banyak berbagi pengalaman tentang tugas dan tanggung jawab menjaga lingkungan negerinya.
Melakoni tugasnya menjaga kelestarian sungai, laut maupun hutan sejak 1979, Eliza merupakan generasi keenam Kewang Haruku dan dikenal sebagai sang pemanggil ikan.
Siapa pun dengan mudah dapat mengenali Eliza Kissya yang selalu menggunakan baju hitam-hitam dan aksen warna merah dalam kesehariannya. Orang juga dapat mengenalinya dari tas ukulele yang selalu dibawanya kemanapun ia pergi.
Pria yang akrab disapa Om Eli yan selalu memakai topi untuk menutupi kepalanya yang sudah tidak berambut ini mengaku sering merasa jengah bila diminta menuliskan nama, karena pengejaan yang seharusnya Elia menjadi Eliza.
"Orang-orang selalu berpikir saya ini perempuan sebelum bertemu saya," katanya.
Selain menjadi kewang, Eliza memiliki segudang talenta yang membuat banyak orang kagum kepadanya.
Dengan latar belakang pendidikan yang hanya tamat Sekolah Rakyat (SR), Om Ely tidak pernah merasa terhalangi untuk melahirkan beberapa buku tentang tradisi sasi lompa dan hukum adat yang telah berlaku di negerinya sejak tahun 1600-an, maupun tentang strategi pengelolaan lingkungan yang mengutamakan kearifan lokal dalam masyarakat daerahnya.
"Beta (saya) sadar memiliki keterbatasan dengan latar belakang pendidikan yang hanya SR. Tetapi itu semua tidak menjadi penghalang dan niat beta untuk menulis beberapa buku yang merupakan `sari` dari pengalaman beta selama menjadi kewang," katanya, saat berbincang dengan Antara pada akhir September 2013.
Buku-buku hasil karyanya tersebut saat ini banyak dikonsumsi oleh kalangan pemerhati dan pecinta lingkungan maupun masyarakat yang tertarik mempelajari tradisi sasi lompa di negerinya.
Om Ely tercatat sempat mengikuti sejumlah pendidikan non formal untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuannya, antara lain pendidikan Konservasi Alam oleh Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1987), Latihan Budidaya Perikanan di Politeknik Universitas Pattimura (1989), Latihan Analisa Dampak Lingkungan oleh WALHI & Yayasan Hualopu (1991), Studi Banding Pertanian Lahan Kering di Flores (1992) serta latihan Media Komunikasi Rakyat oleh SEARICE (1993).
Dalam kedudukannya sebagai Pemangku atau Kepala Kewang Desa negeri Haruku, dia juga terlibat aktif dalam pertemuan-pertemuan regional, antara lain pada Pertemuan Nelayan se-Indonesia Timur di Lombok (1989) serta Simposium Sumberdaya Hukum Lingkungan & Seminar Hukum Adat Kelautan di Universitas Pattimura, Ambon (1991).
"Pantun dan Puisi"
Sebagai kewang dan penulis buku, Om Ely ternyata juga pandai membuat pantun dan puisi.
Pantunnya lebih banyak menggambarkan kecintaannya akan lingkungan dan keindahan alam negerinya maupun Maluku, di samping hubungan persaudaraan dan kekeluargaan masyarakat sebagai bagian dari "anak Maluku".
Sederet pantun hasil karyanya tersebut telah tersimpan dalam memori otaknya, dan setiap saat bisa disampaikan kepada orang yang ingin mendengarkan.
Sadar umur tidak muda lagi, Om Ely pun mencatat semua pantunnya dalam sebuah buku lusuh.
"Beta sudah tua. Kadang bisa lupa akan pantun maupun puisi ciptaan beta sendiri, sehingga harus dicatat dalam buku harian dan setiap saat bisa dibaca kembali" ujarnya.
Suami dari Elizabeth Kissya tersebut juga memiliki talenta untuk membuat ukulele atau yang dikenal masyarakat Maluku dengan sebutan "juk". Juk buah tangan pertamanya terbuat dari kayu puleh yang selalu menemaninya kemanapun dia pergi.
"Ini juk pertama yang beta buat. Sudah beberapa yang beta buat karena diminta orang. Semuanya menggunakan kayu puleh. pohonnya harus benar-benar tua, dan cara pengambilannya juga harus memperhitungkan musim, sehingga tidak berongga dan suara yang dihasilkan lebih keras," katanya sambil memperlihatkan juk hasil buatan tangannya tersebut.
Om Ely menyatakan keinginan membuat ukulele dilandasi kekecewaan karena batal membeli alat musk tersebut di salah satu toko di Kota Ambon.
"Beta seng jadi beli karena suaranya tidak enak didengar dan nadanya tidak pas," katanya.
Kini, ukulele karyanyalah yang menjadi sarana penghibur dirinya bersama keluarga saat malam menjelang, selain untuk menciptakan beberapa lagu yang liriknya menggambarkan kecintaannya akan lingkungan maupun persaudaraan sejati sebagai orang Maluku.
"Beta sudah bisa menciptakan beberapa lagu dengan juk ini. Semuanya beta catat dalam buku catatan harian lengkap dengan notasi angkanya," ujarnya.
Om Ely pun tidak segan-segannya memainkan juk kesayangannya tersebut sambil menyanyikan lagu-lagu hasil karyanya di hadapan banyak orang, seperti yang dilakukannya untuk menghibur puluhan aktivis dan pencinta lingkungan serta fotografer dari berbagai daerah yang menyaksikan ritual budaya "buka sasi lompa" di lokasi rumah kewang, Negeri Haruku 23 November 2013 lalu.
Ayah dari enam orang anak ini bercita-cita suatu saat kelak bisa menerbitkan sebuah buku yang berisi puisi, pantun dan lagu-lagu hasil ciptaannya. "Paling tidak buku tersebut dapat membanggakan saya dan keluarga termasuk menginspirasi banyak orang untuk mencintai dan melestarikan lingkungan dan sumber daya alam, ditengah derasnya arus globalisasi serta kurangnya kepedulian utuk menjaganya," tandas Eliza Kissya.
Kegigihan om Ely menjaga kelestarian lingkungan hidup dan SDA jugalah yang mengantarkan negeri Haruku meraih penghargaan Kalpataru untuk Lingkungan Hidup di tahun 1985, Satya Lencana untuk Pembangunan Berkelanjutan di tahun 1999 dan dedikasi personalnya meraih Coastal Award 2010.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2013
Salah satu provinsi di Timur Indonesia ini memang sejak dahulu terkenal dengan berbagai budaya dan kearifan lokal yang dijunjung masyarakatnya demi kelestarian sumber daya alam.
Berlaku tidaknya "sasi" di tengah masyarakat tidak terlepas dari peran seseorang yang bertugas semacam polisi penjaga negeri/desa, yang dalam strata adat dan budaya di Maluku disebut "Kewang".
Bicara peran kewang, banyak orang akan menyebut nama Eliza Kissya. Ia polisi penjaga kelestarian sumber daya alam baik di darat maupun laut di desa Haruku, Kabupaten Maluku Tengah yang terkenal dengan sasi ikan lompa (Trisina baelama), sejenis ikan sardin kecil yang hidup di kali Learisa Kayeli.
Bagi kalangan pemerhati dan pecinta lingkungan, nama Eliza Kissya tidak asing lagi.
Pria kelahiran 12 Maret 1949 ini banyak berbagi pengalaman tentang tugas dan tanggung jawab menjaga lingkungan negerinya.
Melakoni tugasnya menjaga kelestarian sungai, laut maupun hutan sejak 1979, Eliza merupakan generasi keenam Kewang Haruku dan dikenal sebagai sang pemanggil ikan.
Siapa pun dengan mudah dapat mengenali Eliza Kissya yang selalu menggunakan baju hitam-hitam dan aksen warna merah dalam kesehariannya. Orang juga dapat mengenalinya dari tas ukulele yang selalu dibawanya kemanapun ia pergi.
Pria yang akrab disapa Om Eli yan selalu memakai topi untuk menutupi kepalanya yang sudah tidak berambut ini mengaku sering merasa jengah bila diminta menuliskan nama, karena pengejaan yang seharusnya Elia menjadi Eliza.
"Orang-orang selalu berpikir saya ini perempuan sebelum bertemu saya," katanya.
Selain menjadi kewang, Eliza memiliki segudang talenta yang membuat banyak orang kagum kepadanya.
Dengan latar belakang pendidikan yang hanya tamat Sekolah Rakyat (SR), Om Ely tidak pernah merasa terhalangi untuk melahirkan beberapa buku tentang tradisi sasi lompa dan hukum adat yang telah berlaku di negerinya sejak tahun 1600-an, maupun tentang strategi pengelolaan lingkungan yang mengutamakan kearifan lokal dalam masyarakat daerahnya.
"Beta (saya) sadar memiliki keterbatasan dengan latar belakang pendidikan yang hanya SR. Tetapi itu semua tidak menjadi penghalang dan niat beta untuk menulis beberapa buku yang merupakan `sari` dari pengalaman beta selama menjadi kewang," katanya, saat berbincang dengan Antara pada akhir September 2013.
Buku-buku hasil karyanya tersebut saat ini banyak dikonsumsi oleh kalangan pemerhati dan pecinta lingkungan maupun masyarakat yang tertarik mempelajari tradisi sasi lompa di negerinya.
Om Ely tercatat sempat mengikuti sejumlah pendidikan non formal untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuannya, antara lain pendidikan Konservasi Alam oleh Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1987), Latihan Budidaya Perikanan di Politeknik Universitas Pattimura (1989), Latihan Analisa Dampak Lingkungan oleh WALHI & Yayasan Hualopu (1991), Studi Banding Pertanian Lahan Kering di Flores (1992) serta latihan Media Komunikasi Rakyat oleh SEARICE (1993).
Dalam kedudukannya sebagai Pemangku atau Kepala Kewang Desa negeri Haruku, dia juga terlibat aktif dalam pertemuan-pertemuan regional, antara lain pada Pertemuan Nelayan se-Indonesia Timur di Lombok (1989) serta Simposium Sumberdaya Hukum Lingkungan & Seminar Hukum Adat Kelautan di Universitas Pattimura, Ambon (1991).
"Pantun dan Puisi"
Sebagai kewang dan penulis buku, Om Ely ternyata juga pandai membuat pantun dan puisi.
Pantunnya lebih banyak menggambarkan kecintaannya akan lingkungan dan keindahan alam negerinya maupun Maluku, di samping hubungan persaudaraan dan kekeluargaan masyarakat sebagai bagian dari "anak Maluku".
Sederet pantun hasil karyanya tersebut telah tersimpan dalam memori otaknya, dan setiap saat bisa disampaikan kepada orang yang ingin mendengarkan.
Sadar umur tidak muda lagi, Om Ely pun mencatat semua pantunnya dalam sebuah buku lusuh.
"Beta sudah tua. Kadang bisa lupa akan pantun maupun puisi ciptaan beta sendiri, sehingga harus dicatat dalam buku harian dan setiap saat bisa dibaca kembali" ujarnya.
Suami dari Elizabeth Kissya tersebut juga memiliki talenta untuk membuat ukulele atau yang dikenal masyarakat Maluku dengan sebutan "juk". Juk buah tangan pertamanya terbuat dari kayu puleh yang selalu menemaninya kemanapun dia pergi.
"Ini juk pertama yang beta buat. Sudah beberapa yang beta buat karena diminta orang. Semuanya menggunakan kayu puleh. pohonnya harus benar-benar tua, dan cara pengambilannya juga harus memperhitungkan musim, sehingga tidak berongga dan suara yang dihasilkan lebih keras," katanya sambil memperlihatkan juk hasil buatan tangannya tersebut.
Om Ely menyatakan keinginan membuat ukulele dilandasi kekecewaan karena batal membeli alat musk tersebut di salah satu toko di Kota Ambon.
"Beta seng jadi beli karena suaranya tidak enak didengar dan nadanya tidak pas," katanya.
Kini, ukulele karyanyalah yang menjadi sarana penghibur dirinya bersama keluarga saat malam menjelang, selain untuk menciptakan beberapa lagu yang liriknya menggambarkan kecintaannya akan lingkungan maupun persaudaraan sejati sebagai orang Maluku.
"Beta sudah bisa menciptakan beberapa lagu dengan juk ini. Semuanya beta catat dalam buku catatan harian lengkap dengan notasi angkanya," ujarnya.
Om Ely pun tidak segan-segannya memainkan juk kesayangannya tersebut sambil menyanyikan lagu-lagu hasil karyanya di hadapan banyak orang, seperti yang dilakukannya untuk menghibur puluhan aktivis dan pencinta lingkungan serta fotografer dari berbagai daerah yang menyaksikan ritual budaya "buka sasi lompa" di lokasi rumah kewang, Negeri Haruku 23 November 2013 lalu.
Ayah dari enam orang anak ini bercita-cita suatu saat kelak bisa menerbitkan sebuah buku yang berisi puisi, pantun dan lagu-lagu hasil ciptaannya. "Paling tidak buku tersebut dapat membanggakan saya dan keluarga termasuk menginspirasi banyak orang untuk mencintai dan melestarikan lingkungan dan sumber daya alam, ditengah derasnya arus globalisasi serta kurangnya kepedulian utuk menjaganya," tandas Eliza Kissya.
Kegigihan om Ely menjaga kelestarian lingkungan hidup dan SDA jugalah yang mengantarkan negeri Haruku meraih penghargaan Kalpataru untuk Lingkungan Hidup di tahun 1985, Satya Lencana untuk Pembangunan Berkelanjutan di tahun 1999 dan dedikasi personalnya meraih Coastal Award 2010.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2013