Ternate (Antara Maluku) - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya terkait sengketa hasil pilkada Maluku Utara (Malut) memerintahkan kepada KPU Malut menggelar pemungutan suara ulang pada tujuh kecamatan di Kabupaten Kepulauan Sula.

Selain itu, MK juga memerintahkan kepada KPU Malut untuk mengganti seluruh ketua dan anggota Panitia Pemungutan Kecamatan (PPK) di tujuh kecamatan dimaksud yakni Kecamatan Mangoli Selatan, Kecamatan Taliabo Selatan, Kecamatan Taliabo Utara, Kecamatan Taliabo Barat, Kecamatan Taliabo Barat Laut, Kecamatan Lede dan Kecamatan Tabona.

Putusan MK tersebut, menurut seorang tokoh masyarakat di Malut, Muhammad Kasim, memberi pelajaran kepada KPU Malut dan seluruh jajarannya di bawahnya untuk dalam melaksanakan pilkada harus mengacu pada peraturan yang berlaku.

Pelajaran lain dari putusan MK tersebut adalah KPU dan seluruh jajaran dibawahnya harus bertindak netral dan tidak boleh melakukan tindakan yang dapat merugikan atau menguntungkan pasangan calon gubernur/ calon wakil gubernur (cagub/cawagub) tertentu.

Dalam proses persidangan di MK tergambar dengan jelas bagaimana PPK sengaja mentipe-x hasil pilkada di kecamatan bersangkutan dengan tujuan menguntungkan pasangan cagub/cawagub tertentu, seperti terjadi pada tujuh kecamatan di Kepsul dan sejumlah kecamatan lainnya di Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel) dan Pulau Morotai.

Seorang tokoh adat di Malut Abdul Kader mengatakan, putusan MK tersebut juga memberi pelajaran kepada pasangan cagub/cawagub, termasuk tim suksesnya agar tidak menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan.

Kepala daerah dan aparat birokrasi juga harus memetik pelajaran dari putusan MK tersebut bahwa mereka tidak boleh menggunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk melakukan berbagai trik politik untuk memenangkan pasangan cagub/cawagub yang mereka dukung.

Dalam proses persidangan di MK terkait sengketa pilkada Malut terungkap adanya berbagai upaya dari sejumlah bupati dan pejabat birokrasi di Malut yang secara terang-terangan memanfaatkan kekuasaan dan kewengannnya untuk mendukung pasangan cagub/cawagub tertentu.

Seorang aktivis LSM di Malut Sukri mengatakan, putusan MK yang memerintahkan pemungutan suara ulang tersebut akan mengakibatkan semakin banyaknya uang rakyat yang digunakan untuk membiayai pilkada, karena sudah pasti untuk pemungutan suara ulang itu butuh dana besar.

Jika pilkada dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku, begitupula penyelenggara pilkada dan pihak-pihak terkait lainnya, terutama bupti dan pejabat birokrasi juga berindak netral maka hasil pilkada tidak akan sampai disengketakan ke MK sehingga tidak akan terjadi pemborosan uang rakyat yang timbul akibat adanya sengketa itu.

Sesuai data dari Sekretariat KPU Malut, komisioner KPU Malut menghabiskan dana Rp750 juta untuk menghadiri persidangan di MK, termasuk untuk menyewa pengacara, sedangkan dana untuk penyelenggaraan pilkada putaran pertama dan putaran kedua sebesar Rp100 miliar lebih.

"Uang rakyat akan semakin terkuras jika sengketa pilkada tersebut memunculkan kekecewaan pada masyarakat yang pada gilirannya memicu terjadinya konflik, untuk mengantisipasi konflik itu tentu harus ada dana, jadi ini semua harus menjadi pelajaran untuk penyelenggaraan pilkada di daerah ini pada masa datang," katanya.


Efek Jera


Pengamat politik di Malut berpendapat putusan MK terkait hasil sengketa pilkada Malut tersebut memang bisa menjadi pelajaran kepada berbagai pihak terkait, khususnya KPU, pasangan cagub/cawagub dan pejabat birokrasi di Malut, tapi belum sepenuhnya belum bisa memberi efek jera.

Putusan MK bisa memberi pelajaran sekaligus efek jera jika materi putusannya lebih progresif, misalnya mendiskualifikasi pasangan cagub/cawagub Malut yang terbukti ikut terlibat dalam proses terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan pilkada.

"Salah satu pelanggaran yang paling menonjol dalam pelaksanaan pilkada Malut putaran kedua sebagaimana terungkap dalam persidangan MK adalah hasil data pilkada ditipe-x oleh PPK untuk menguntungkan pasangan cagub/cawagub tertentu. Pasangan cagub/cawagub yang terlibat dalam praktik itu seharusnya didiskualifikasi," kata pengamat politik dari Universitas Khairun Ternate Ridha Azam.

Kalau MK mengeluarkan keputusan seperti itu maka kedepan tidak akan ada pasangan cagub/cawagub, termasuk pada pilkada kabupaten/ kota yang berani melakukan hal serupa karena konsekuensinya jika melakukan akan dikenai sanksi diskualifikasi.

Partai politik dan pejabat birokrasi yang juga terbukti terlibat memanfaatkan kekuasaan dan kewenangan mereka untuk melakukan berbagai upaya yang melanggar hukum untuk mendukung pasangan cagub/cawagub tertentu juga harus dikenai sanksi berat agar bisa menimbulkan efek jera, katanya.

Ridha mengatakan, MK juga seharusnya memberikan sanksi berat kepada komisioner KPU Malut, karena mereka juga secara tidak langsung membenarkan pelanggaran pilkada yang terjadi di antaranya memplenokan hasil pilkada yang ditipe-x, seperti hasil pilkada di tujuh kecamatan di Kabuapten Kepsul.

Putusan MK yang hanya memerintahkan penggantian ketua PPK dan anggotanya pada tujuh kecamatan di Kepsul sedangkan, komisioner KPU Malut tidak mendapat sanksi apapun, ini tidak memberi efek jera sehingga tidak tertutup kemungkinan pelanggaran seperti itu akan terjadi lagi pada pelaksanaan pilkada berikutnya.

Jadi putusan MK terkait sengketa pilkada Malut tersebut hanya sekedar menenangkan masyarakat untuk tidak melakukan aksi yang berpotensi menimbulkan konflik, padahal seharusnya putusan MK itu selain bisa menegakkan keadilan juga diharapkan bisa memberi pendidikan politik khususnya dalam pelaksanaan pilkada.

Hasil pilkada Malut putaran digugat ke MK oleh pasangan cagub/ cawagub Abdul Gani Kasuba-Muhammad Naser Thaib (AGK-Manthab), karena tidak menerima hasil pleno KPU Malut yang menetapkan pasangan Ahmad Hidayat Mus-Hasan Doa (AHM-Doa) sebagai pemenang pilkada putaran kedua dengan perolehan suara 50,97 persen.

Abdul Gani Kasuba saat itu mengatakan, pihaknya menggugat hasil pleno KPU Malut tersebut karena menemukan banyak pelanggaran yang sangat merugikan mereka, seperti adanya data hasil pilkada Malut di Kabupaten Kepsul yang datanya ditipe-x.

Pihak KPU Malut saat itu berdalih bahwa mereka tetap memplenokan hasil pilkada Malut putaran kedua, termasuk data hasil pilkada di Kepsul yang ditipe-x tersebut, karena saat itu saksi dari pasangan AGK-Manthab maupun Bawaslu tidak bisa menunjukan data pembanding.

MK telah mengeluarkan putusan terkait sengketa pilkada Malut tersebut, oleh karena itu sekarang yang harus menjadi perhatian adalah melaksanakan putusan MK itu dan tidak boleh lagi terjadi permainan, sehingga hasilnya bisa diterima dengan jiwa besar oleh masyarakat di daerah ini.

Pewarta: La Ode Aminuddin

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2013