Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Dr. Trubus Rahardiansyah mengatakan, ramainya konfrontasi akibat rencana pembahasan RUU Pilkada merupakan bagian dari berdemokrasi, dan ini menimbulkan gesekan di ruang publik, untuk itu jangan sampai dinodai agenda ideologi transnasional.
"Memang dari kejadian demo RUU Pilkada lalu tidak terdengar adanya seruan gerakan khilafah. Tetapi dari pernyataan dan cara sebagian pihak yang mengutarakan pendapatnya di media sosial ada yang mengarah kesana," kata Trubus dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan bahwa segala kericuhan dan gesekan yang terjadi di masyarakat atau di ruang publik berpotensi disusupi oleh agenda politik tertentu, termasuk dari gerakan radikal.
Trubus mengungkapkan bahwa dari hasil penelusurannya ada beberapa akun di media sosial yang menyelipkan pernyataan dengan unsur intoleransi dan radikalisme ketika media sosial sedang hangat-hangatnya membahas demonstrasi di depan Gedung DPR.
"Sebagian pernyataan yang saya temukan di media sosial berbau hasutan, provokasi, penghinaan, pencemaran nama baik, hingga mengarah kepada adu domba antar kelompok masyarakat," ujarnya.
Ini semua kata Trubus, dilakukan dengan memanfaatkan kejadian yang ada, dibumbui oleh kebohongan atau hoaks. Arahnya itu adalah membenturkan antara masyarakat dengan aparat penegak hukum.
Menurut dia, ada pihak yang ingin mendorong masyarakat untuk melakukan pembangkangan kepada negara. Ujung dari pembangkangan ini tidak lain adalah ingin menarasikan bahwa apa yang dijalankan oleh Indonesia ternyata tidak berhasil mewadahi kepentingan rakyatnya.
Dari sini lanjut Trubus, kelompok radikal akan mudah menggiring masyarakat untuk meragukan landasan negara Indonesia, seperti Pancasila dan UUD 1945.
Penggiringan opini publik, kata Dr. Trubus, bahkan sudah sampai pada narasi bahwa TNI dan Polri adalah dua entitas yang berseberangan. Kelompok intoleran dan radikal cenderung memberikan pujian pada TNI, lalu memberi narasi bahwa Polri adalah musuh bersama.
"Mereka ingin TNI, yang notabene ada bersama Pemerintah, melindungi gerakan radikal dari aparat Kepolisian," tuturnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini menambahkan, walaupun demo RUU Pilkada berlangsung dengan kericuhan, keutuhan dan kestabilan Indonesia sebagai suatu negara yang berdaulat patut disyukuri.
"Demo kemarin memang terjadi di banyak tempat, tapi agenda besarnya sebenarnya lebih kepada kepentingan politik dan ketidakpuasan masyarakat atas keputusan legislatif. Bahwa ada tendensi nepotisme dalam skala yang lebih besar yang dikhawatirkan akan mencederai demokrasi Indonesia, itu yang akhirnya menggerakkan banyak pendemo melakukan aksinya," katanya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pengamat: Gesekan di ruang publik bisa disusupi ideologi transnasional
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2024
"Memang dari kejadian demo RUU Pilkada lalu tidak terdengar adanya seruan gerakan khilafah. Tetapi dari pernyataan dan cara sebagian pihak yang mengutarakan pendapatnya di media sosial ada yang mengarah kesana," kata Trubus dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan bahwa segala kericuhan dan gesekan yang terjadi di masyarakat atau di ruang publik berpotensi disusupi oleh agenda politik tertentu, termasuk dari gerakan radikal.
Trubus mengungkapkan bahwa dari hasil penelusurannya ada beberapa akun di media sosial yang menyelipkan pernyataan dengan unsur intoleransi dan radikalisme ketika media sosial sedang hangat-hangatnya membahas demonstrasi di depan Gedung DPR.
"Sebagian pernyataan yang saya temukan di media sosial berbau hasutan, provokasi, penghinaan, pencemaran nama baik, hingga mengarah kepada adu domba antar kelompok masyarakat," ujarnya.
Ini semua kata Trubus, dilakukan dengan memanfaatkan kejadian yang ada, dibumbui oleh kebohongan atau hoaks. Arahnya itu adalah membenturkan antara masyarakat dengan aparat penegak hukum.
Menurut dia, ada pihak yang ingin mendorong masyarakat untuk melakukan pembangkangan kepada negara. Ujung dari pembangkangan ini tidak lain adalah ingin menarasikan bahwa apa yang dijalankan oleh Indonesia ternyata tidak berhasil mewadahi kepentingan rakyatnya.
Dari sini lanjut Trubus, kelompok radikal akan mudah menggiring masyarakat untuk meragukan landasan negara Indonesia, seperti Pancasila dan UUD 1945.
Penggiringan opini publik, kata Dr. Trubus, bahkan sudah sampai pada narasi bahwa TNI dan Polri adalah dua entitas yang berseberangan. Kelompok intoleran dan radikal cenderung memberikan pujian pada TNI, lalu memberi narasi bahwa Polri adalah musuh bersama.
"Mereka ingin TNI, yang notabene ada bersama Pemerintah, melindungi gerakan radikal dari aparat Kepolisian," tuturnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini menambahkan, walaupun demo RUU Pilkada berlangsung dengan kericuhan, keutuhan dan kestabilan Indonesia sebagai suatu negara yang berdaulat patut disyukuri.
"Demo kemarin memang terjadi di banyak tempat, tapi agenda besarnya sebenarnya lebih kepada kepentingan politik dan ketidakpuasan masyarakat atas keputusan legislatif. Bahwa ada tendensi nepotisme dalam skala yang lebih besar yang dikhawatirkan akan mencederai demokrasi Indonesia, itu yang akhirnya menggerakkan banyak pendemo melakukan aksinya," katanya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pengamat: Gesekan di ruang publik bisa disusupi ideologi transnasional
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2024