Ambon (Antara Maluku) - Belasan wartawan dari berbagai media cetak dan elektronik di Ambon mendiskusikan implementasi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 2012 tentang Penyelenggaran Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan (P3AKTK), Kamis.

Kegiatan diskusi media yang digelar oleh Yayasan Arika Mahina tersebut menghadirkan Pembantu Dekan IV Fakultas Hukum Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon Octovianus Lawalata sebagai narasumber.

"Masalah tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menjadi korban bukan hanya perempuan tetapi juga laki-laki, bahkan banyak laki-laki dalam hal ini suami mengalami kekerasan secara psikis tapi itu tidak terlapor, jadi yang sering dibicarakan sebagai korban hanyalah perempuan," kata Ongen Lekipiuw dari Harian Rakyat Maluku.

Dikatakannya, Perda P3AKTK perlu ditinjau ulang dengan memperhitungkan hak-hak laki-laki yang menjadi korban KDRT untuk mendapatkan keadilan.

"Tanpa merendahkan harkat dan martabat laki-laki, saya kira perda ini tidak terlalu memperjuangkan hak laki-laki untuk mendapatkan keadilan, dalam pengamatan saya tidak selamanya KDRT dikarenakan laki-laki yang suka seenaknya main tangan tetapi juga karena ulah istri," katanya.

Menanggapi pernyataan tersebut, Octovianus Lawalata mengatakan memang ada beberapa kelemahan dalam Perda P3AKTK namun penerapan penyelesaian tindak pidana KDRT dalam perda tersebut mengacu kepada undang-undang (UU) yang terkait dengan masalah KDRT.

Ia memisalkan, UU yang menjadi payung hukum dalam penyelesaian tindak KDRT dalam Perda P3AKTK adalah UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dan UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

"Memang ada beberapa kelemahan dalam perda tersebut, tapi untuk masalah penyelesaian tindak pidana KDRT mengacu kepada peraturan perundang-undangan, misalnya UU Nomor 23 tahun 2004 dan UU Nomor 23 tahun 2002," katanya.

Lebih lanjut Octovianus yang juga mantan kepala Komnas HAM Perwakilan Maluku mengatakan, masalah terbesar dalam penyelesaian kasus-kasus KDRT adalah seringkali para korban tidak bisa mendapatkan keadilannya, hal tersebut dikarenakan banyak lembaga terkait yang tidak mampu bekerja maksimal.

Ia mencontohkan, salah satu korban KDRT yang memutuskan untuk tidak melanjutkan laporannya karena dibentak-bentak oleh petugas di Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Maluku ketika mengadukan masalahnya.

"Saya pernah menangani satu korban yang mengadukan masalahnya ke P2TPA tapi dia malah dibentak-bentak oleh petugas di sana, saya mengajukan dia untuk melapor ke Komnas HAM Maluku, tetapi di sana ia malah tidak mendapatkan keadilan karena pelaku memiliki hubungan pertemanan dengan ketuanya," katanya.

Pewarta: Shariva Alaidrus

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2014