Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengingatkan Polri untuk lebih responsif dalam menerima laporan terkait perempuan dan anak.
"Respons terhadap kekerasan pada perempuan dan anak masih jauh dari harapan. Polri Presisi jangan sekadar jargon," kata Bambang saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Bambang mengatakan hal itu untuk menanggapi pemberitaan terkait kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga menyebabkan kematian seorang ibu muda bernama Mega Suryani Dewi (24) yang dibunuh suaminya di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Korban Mega sebelumnya pernah melapor ke polisi sebelum insiden pembunuhan itu terjadi.
Bambang menegaskan personel Polri harus paham dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sehingga seharusnya polisi dapat memberikan respons cepat ketika ada pengaduan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Dia juga meminta Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di polsek dan polres dievaluasi jika kinerjanya tidak maksimal.
"Unit Perlindungan Perempuan dan Anak layak dievaluasi keberadaannya," tambahnya.
Bambang juga mengingatkan bahwa Unit PPA Reskrim bukan sekadar perpanjangan atau tempat penampungan polisi yang bermasalah karena dianggap tidak "basah". Unit tersebut justru harus menjadi ujung tombak pelayanan Polri terhadap perempuan dan anak.
Menurut dia, Unit PPA harus dipimpin oleh polisi muda dan bukan diisi oleh polisi yang akan pensiun.
"Dengan begitu, harapannya, banyak polisi yang melek gender dan paham pada hak-hak perempuan dan anak," tuturnya.
Kasus pembunuhan Mega Suryani Dewi oleh suaminya, Nando (24), cukup menarik perhatian publik.
Pelaku Nando bahkan sempat memandikan jenazah istrinya dan membaringkan di tempat tidur. Setelah itu, pelaku membawa kedua anaknya ke rumah orang tuanya dan menyerahkan diri ke polisi.
Sempat diberitakan, Mega pernah melaporkan sikap KDRT yang kerap dilakukan suaminya tetapi tidak mendapat respons dari polisi. Namun, hal itu dibantah oleh kepolisian setempat.
"Respons terhadap kekerasan pada perempuan dan anak masih jauh dari harapan. Polri Presisi jangan sekadar jargon," kata Bambang saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Bambang mengatakan hal itu untuk menanggapi pemberitaan terkait kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga menyebabkan kematian seorang ibu muda bernama Mega Suryani Dewi (24) yang dibunuh suaminya di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Korban Mega sebelumnya pernah melapor ke polisi sebelum insiden pembunuhan itu terjadi.
Bambang menegaskan personel Polri harus paham dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sehingga seharusnya polisi dapat memberikan respons cepat ketika ada pengaduan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Dia juga meminta Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di polsek dan polres dievaluasi jika kinerjanya tidak maksimal.
"Unit Perlindungan Perempuan dan Anak layak dievaluasi keberadaannya," tambahnya.
Bambang juga mengingatkan bahwa Unit PPA Reskrim bukan sekadar perpanjangan atau tempat penampungan polisi yang bermasalah karena dianggap tidak "basah". Unit tersebut justru harus menjadi ujung tombak pelayanan Polri terhadap perempuan dan anak.
Menurut dia, Unit PPA harus dipimpin oleh polisi muda dan bukan diisi oleh polisi yang akan pensiun.
"Dengan begitu, harapannya, banyak polisi yang melek gender dan paham pada hak-hak perempuan dan anak," tuturnya.
Kasus pembunuhan Mega Suryani Dewi oleh suaminya, Nando (24), cukup menarik perhatian publik.
Pelaku Nando bahkan sempat memandikan jenazah istrinya dan membaringkan di tempat tidur. Setelah itu, pelaku membawa kedua anaknya ke rumah orang tuanya dan menyerahkan diri ke polisi.
Sempat diberitakan, Mega pernah melaporkan sikap KDRT yang kerap dilakukan suaminya tetapi tidak mendapat respons dari polisi. Namun, hal itu dibantah oleh kepolisian setempat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pengamat ingatkan Polri lebih responsif terhadap perempuan dan anak