Ambon (ANTARA) - Etnis Tionghoa mengenal konsep Tian Xia yang menekankan bahwa semua manusia adalah bersaudara dan memiliki tujuan yang sama, yaitu mencapai kebahagiaan dan keharmonisan.
Konsep Tian Xia ini menjadi pondasi sehingga masyarakat keturunan Tionghoa bisa berbaur dan diterima di tengah budaya Indonesia yang beragam, tak terkecuali di Ambon, Maluku.
Konsep Tian Xia ini sendiri memiliki kemiripan dengan falsafah pela gandong yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Maluku. Kedua konsep itu sama-sama menekankan persaudaraan dan kekeluargaan satu sama lain.
Dengan landasan filosofis hidup yang seirama itu, maka tak mengherankan jika sebanyak lebih dari 40.000 orang Tionghoa di seluruh Maluku kini hidup berdampingan bahkan kawin-mawin dengan penduduk wilayah yang berjuluk bumi raja-raja ini.
Eksistensi etnis Tionghoa di Maluku semakin diperkuat dengan berdirinya sebuah klenteng atau rumah pemujaan bagi masyarakat Tionghoa di dataran tinggi Pulau Ambon. Suarna Giri Tirta namanya, tempat pemujaan dewa/dewi kepercayaan masyarakat Tionghoa di Maluku.
Setiap perayaan Imlek, klenteng ini selalu dikunjungi oleh masyarakat etnis Tionghoa di sekitaran Pulau Ambon. Tak banyak klenteng yang berdiri di Ambon, tetapi karena itu, keberadaan Suarna Giri Tirta justru menjadi pemersatu bagi Masyarakat Tionghoa di daerah ini.
“Ini adalah budaya orang Tionghoa, siapapun yang merasa memiliki darah keturunan Tionghoa boleh melakukan pemujaan di sini,” kata Ketua Walubi sekaligus tetua masyarakat Tionghoa Maluku, Welhelmus Jauwerissa.
Halaman berikut: Sejarah keberadaan Masyarakat Tionghoa di Maluku
Sejarah
Keberadaan masyarakat Tionghoa di Maluku memiliki posisi yang unik, karena jika melihat perjalanan sejarah di daerah itu, kentalnya budaya Eropa ala Portugis dan Belanda yang terasimilasi dengan kebudayaan masyarakat setempat seolah mengendapkan eksistensi Tionghoa.

Hingga saat ini belum dapat dipastikan bagaimana sejarah masuknya etnis Tionghoa ke Kepulauan Maluku. Kurangnya catatan-catatan sejarah tentang kedatangan masyarakat Tionghoa di Maluku membuat beberapa teori ahli menjadi tak begitu kuat.
Alhasil cerita turun temurun menjadi bekal utama bagi setiap masyarakat Tionghoa di Maluku untuk mengenang sejarah nenek moyang mereka.
Tak banyak catatan sejarah yang terungkap dari eksistensi etnis Cina di Maluku. Sumber-sumber terdahulu menyebut, keberadaan orang Tionghoa tercatat sejak Dinasti Tang pada tahun 618-906.
Namun, konon Maluku sudah tercatat dalam tambo dinasti Tang di negeri China sekitar tahun 618-906 yang menyebut tentang ‘Miliku’, yaitu suatu daerah yang dipakai sebagai patokan penentuan arah ke kerajaan Holing (Kalingga) yang ada di sebelah Barat.
Para ahli memperkirakan ‘Mi-li-ku’ ini sebagai Maluku, yang artinya sekurang-kurangnya Maluku sudah dikenal di negeri China pada abad ke-7.
Hal itu juga dibuktikan dengan cerita masyarakat. Menurut tetua Tionghoa Maluku lainnya, Kim Tan, beberapa nama tempat di Kota Ambon sendiri diambil dari istilah Tionghoa seperti Tantui yang dalam Bahasa Indonesia berarti Menjelajahi kaki, hal tersebut sesuai dengan letak geografis wilayah Tantui sendiri yang berada di dataran rendah pesisir Teluk Ambon dan Baguala.
Halaman berikut: Asimilasi Kebudayaan
Asimilasi Kebudayaan
Pada Maret 1978, pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap warganegara perlu membuktikan kewarganegaraannya.
Untuk mengajukan permohonan mendapatkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), WargaTionghoa-Indonesia yang memilih kewarganegaraan Indonesia kemudian diminta mengganti nama dan membuat SBKRI agar dapat tetap tinggal di Indonesia.
Penambahan atau penggantian nama etnis Tionghoa ini biasanya menggunakan nama Indonesia yang terdengar umum seperti Wijaya, Sanjaya, Tanoe dan lain sebagainya.
Uniknya di Maluku, etnis Tionghoa Maluku menggabungkan marga Tionghoa mereka dengan marga yang terdengar Maluku agar tak kehilangan identitas Tionghoa namun tetap melokal. Nama "marga" yang banyak disematkan tersebut adalah Jauwerissa, Tanner, Sutanner, Onggaria, Isakai, Lieber, Tanian dan banyak lagi.
Hal ini semakin merekatkan hubungan antara masyarakat Maluku dengan masyarakat Tionghoa Maluku. Budaya Tionghoa juga telah berbaur dengan budaya lokal Maluku, menciptakan budaya yang unik dan kaya.
Meskipun demikian, perayaan Imlek dan Cap Go Meh masih dilestarikan dengan penuh semangat. Ini menunjukkan bahwa keberagaman budaya dan agama di daerah Ambon ini.
Halaman berikut: Kontribusi Masyarakat Tionghoa dalam bidang ekonomi di Ambon
Kontribusi bidang ekonomi
Berdasarkan cerita masyarakat, etnis Tionghoa sejak lama telah menjadi bagian dari peradaban di Maluku. Mereka turut andil dalam mewarnai perilaku masyarakat pribumi Maluku, terutama dalam hal perdagangan hasil bumi dan laut sejak dulu.
Welhelmus Jauwerissa mengatakan berdasarkan cerita rakyat, masyarakat China daratan yang mendatangi Maluku umumnya hanya berbekal ide dan gagasan untuk berdagang di daerah itu.
Berbeda dengan Bangsa Eropa yang datang untuk mencari rempah-rempah di Maluku, masyarakat Etnis Tionghoa yang datang justru dengan tangan kosong, tetapi mereka melihat peluang usaha yang bisa dijalankan dengan konsep saling menguntungkan bagi masyarakat pribumi.
Mereka memperkenalkan sistem jual-beli dengan menyertakan uang atau barang berharga, dan manajemen pasca panen dalam bentuk ‘simpan uang’. Hal inilah yang memperkuat kedekatan antara masyarakat Tionghoa dengan pribumi Maluku. Bahkan, masyarakat lokal memiliki sebutan tersendiri bagi pebisnis Tionghoa bergantung pada wilayah tempat tinggalnya.
Sebutan seperti China Saparua, China Dobo, China Namlea, China Banda, China Kei, China Saumlaki atau China Ambon, melekat pada etnis Tionghoa Maluku yang umumnya berprofesi sebagai pedagang.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat Tionghoa kini telah berkontribusi besar dalam pembangunan ekonomi dan sosial di Maluku, dengan mendirikan berbagai usaha seperti toko, restoran, dan pabrik yang telah menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan perekonomian lokal.
Bahkan masyarakat Tionghoa pun terlibat langsung dalam upaya hilirisasi industri perikanan hingga ekspor hasil rempah dan perikanan modern sampai saat ini.
Halaman berikut: Imlek 2576 dan harapan akan harmoni yang semakin kuat
Harapan
Kini pada imlek 2576 kongzili 2025 masehi masyarakat Tionghoa Maluku memaknai perayaan dengan memperkuat harmoni di tengah keberagaman suku, agama dan budaya.
Ketua Permabudhi Maluku Alin Tjoa mengatakan Imlek bercerita tentang cinta, kehangatan keluarga, bakti, penghormatan, rasa syukur dan harapan yang baik untuk menjalani hari hari di tahun yang baru.
Menurutnya, perayaan Imlek merupakan Jembatan yang menghubungkan perbedaan, mengingatkan keberagaman adalah kekayaan yang patut dirayakan bersama, sebuah tradisi kehidupan yang sarat makna.
Cahaya lampion-lampion yang menjadi simbol harapan, serta aneka jajanan kue dan makanan sebagai simbol berkelimpahan, Angpao atau Amplop merah dan ornamen-ornamen warna merah adalah simbol kebahagiaan.
Perayaan Imlek 2576 dengan sio ular kayu dalam tradisi Tianghoa melambangkan kebijaksanaan, kecerdasan, dan ketenangan. Sedangkan Elemen kayu melambangkan pertumbuhan, kredibilitas, dan kreativitas.
Melalui Imlek tahun ini diharapkan dapat membawa kebaikan dan kebahagiaan serta semakin mempererat tali persaudaraan di Maluku dalam membangun hidup yang damai dan toleran bagi seluruh masyarakat Maluku.
“Gong xi fa cai, mari pererat persaudaraan bangun Maluku menuju Maluku maju."
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Eksistensi masyarakat Tionghoa di bumi Pela Gandong Maluku