Ambon (ANTARA) - Dua kelompok pemuda masing-masing beranggotakan 10 sampai 20 orang saling menyerang satu sama lain, bukan dengan senjata api atau senjata tajam. Mereka saling melukai dengan seikat lidi enau.
Lidi disabetkan ke dada dan perut. Satu kali cambukan lidi biasanya hanya meninggalkan bekas memerah. Namun para pemuda itu menyabetkan sekurang-kurangnya 50 kali satu sama lain.
“Tas, tas, tas!!” begitu bunyi lidi ketika mendarat pada kulit manusia.
Luka sabetan hingga berdarah pun tak dapat terelakkan. Namun para pemuda asal Negeri Mamala dan Morela, Maluku Tengah, itu seperti menikmati cambukan demi cambukan lidi ke tubuh mereka.
Bukannya merintih kesakitan, senyum sumringah justru terpancar dari wajah mereka. Apalagi aksi mereka selalu diiringi dengan lagu daerah dengan tabuhan tifa totobuang.
Di hadapan ribuan pasang mata, adrenalin para pemuda itu semakin memuncak ketika penonton menjerit menyaksikan sembari membayangkan ngilunya sabetan lidi enau.
Pertarungan tanpa dendam
Tradisi pukul sapu lidi atau bakupukul manyapu asal Mamala-Morela itu terlihat keras dan kejam memang. Namun itulah kekayaan adat istiadat Maluku yang justru mempersatukan hampir semua kalangan di daerah berjuluk Negeri Raja-raja tersebut.
Para peserta pun tampak tak sedikitpun menunjukkan dendam karena disabet ratusan kali dengan lidi enau. Karena itulah sebagian masyarakat biasa menyebut tradisi pukul sapu ini sebagai pertarungan darah tanpa dendam.
Ini menandakan, bagaimana masyarakat Maluku khususnya Mamala dan Morela dapat dengan mudah melupakan rasa sakit demi menjaga tradisi.
Pertunjukan yang diadakan pada 7 Syawal setiap tahun itu membuat masyarakat Pulau Ambon bahkan wisatawan luar daerah hingga manca negara berbondong-bondong menyaksikannya meski harus berdesak-desakan di lapangan Masjid Mamala dan Morela.

Pela Gandong
Nuansa persatuan pun kental terasa saat kedua negeri (desa) yakni Mamala dan Morela melangsungkan acara adat itu secara bersamaan pada dua lokasi berbeda meskipun hanya berjarak 150 meter.
Meriahnya pukul manyapu di kedua desa tersebut tak terlepas dari keterlibatan pela dan gandong yang datang dari negeri seberang.
Pela dan gandong adalah budaya dan sistem persekutuan yang mencerminkan hubungan persaudaraan dan kekerabatan di Maluku. Pela merupakan hubungan persekutuan antara dua desa atau lebih sementara gandong adalah hubungan keluarga antara dua desa atau lebih. Berdasarkan cerita sejarah, sistem gandong memiliki ikatan yang lebih erat.
Uniknya, di tengah kemajemukan di Maluku, sistem pela dan gandong menjadi jembatan toleransi dan menjadikan perbedaan seolah tak memiliki tempat dan tradisi bakupukul manyapu Mamala-Morela menjadi percontohan bagaimana eratnya persatuan dan persekutuan yang terjalin.
Negeri Mamala memiliki hubungan gandong dengan Negeri Tiouw, Kaibobo, dan Waai sedangkan pela dengan Lateri. Berdasarkan sumber lainnya, Mamala dan semua negeri di pesisiran Leihitu (Ambon Utara) mengangkat hubungan pela dengan Negeri Ouw. Dalam hubungan ini, Ouw adalah negeri produsen gerabah dan Mamala serta negeri-negeri di Leihitu adalah langganannya.
Sedangkan Negeri Morela memiliki hubungan pela gandong dengan Kaibobo, Waai, dan Soya. Ketiga negeri itu beragama Kristen dan mereka sering dilibatkan dalam perayaan pukul manyapu di Morela.
Tatkala Negeri Mamala dan Morela secara geografis hanya bertetangga bahkan kedua negeri pernah terlibat pertikaian antarwarga, tradisi bakupukul manyapu justru mengumpulkan semua orang dari penjuru Pulau Ambon di kedua negeri tersebut.
Seolah ingin mengatakan, “Lihat ini, kami semua bersaudara dan bersatu.”
Latar belakang yang berbeda
Tradisi bakupukul manyapu di Negeri Mamala dan Morela memang terlihat sama, namun ternyata keduanya memiliki latar sejarah yang berbeda.
Tradisi bakupukul manyapu di Negeri Mamala diciptakan oleh seorang tokoh Islam dari Maluku yang bernama Imam Tuni. Tradisi ini dipertunjukkan sebagai perayaan atas keberhasilan pembangunan Masjid yang selesai dibangun pada 7 Syawal, tepatnya setelah hari raya Idul Fitri.
Pembangunan masjid tersebut sempat mendapat halangan karena tiang masjid yang patah. Lalu Imam Tuni bermunajat dan membuat minyak untuk dioleskan pada tiang masjid, setelah itu tiang tersebut utuh seperti sedia kala.
“Untuk menguji khasiat minyak tersebut maka para pemuda melakukan pukul manyapu satu sama lain kemudian diobati dengan minyak itu,” kata Raja Negeri Mamala M Ramli Malawat.
Sementara di Morela tradisi ini dikaitkan dengan sejarah perjuangan Kapitan Telukabessy dengan pasukannya pada masa penjajahan Portugis dan VOC pada abad ke-16 di Kerajaan Tanah Hitu. Pasukan pimpinan Kapitan Telukabessy bertempur untuk mempertahankan Bentengg Kapahaha dari serbuan VOC, meskipun pada akhirnya harus mengalami kekalahan dan Benteng Kapahaha ditaklukkan.
“Untuk menggambarkan kekalahan tersebut, pasukan Telukabessy mengambil lidi enau dan saling mencambuk diri hingga berdarah,” kata Raja Negeri Morela Fadil Sialana.
Tradisi bakupukul manyapu yang terus dilestarikan masyarakatnya membuat Pemerintah Provinsi Maluku memandangnya sebagai alat pemersatu sekaligus promosi kebudayaan daerah itu.
Dalam lima tahun terakhir tradisi bakupukul manyapu tak pernah absen dari kalender pariwisata Maluku.
“Momen kultural seperti ini menjadi daya tarik tersendiri untuk mempromosikan budaya Maluku sekaligus memiliki makna yang mendalam untuk mempererat ikatan persaudaraan," kata Gubernur Maluku Henndrik Lewerissa.
Hal itu yang mendorong masyarakat mengemas tradisi ini dengan semakin atraktif dan kental akan nilai-nilai budaya seperti tarian-tarian lainnya seperti persembahan tari katreji, tari reti, tari cakalele, tari hu’ul dibalut dengan sejarahnya yang begitu kuat.
Bakupukul manyapu menjadi simbol pemersatu ketika alunan tifa totobuang mengiringi sabetan lidi ke tubuh disambut nyanyian lagu gandong yang menggema dari para pela dan gandong. Kemudian pemerintah hadir untuk memvalidasi persatuan yang telah terbangun.
Di situlah identitas Maluku terungkap; Maluku yang bersatu, Maluku yang bersaudara. Hal itu sebagaimana semboyan nenek moyang: Sagu salempeng patah dua, potong di kuku rasa di daging, ale rasa beta rasa.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: "Bakupukul manyapu" sebagai tradisi pemersatu di Maluku