Jakarta (ANTARA) - Setelah lebih dari dua dasawarsa terkatung-katung, Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang telah diusulkan sejak 2004 kembali bergulir di parlemen.
Pada periode keanggotaan DPR RI 2024-2025, RUU PPRT masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 atas usulan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
RUU yang tidak diputuskan sebagai carry over oleh periode sebelumnya itu, akhirnya kembali dibahas dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang digelar Baleg DPR RI bersama sejumlah koalisi masyarakat sipil sejak Senin, 5 Mei 2025.
Rapat tersebut digelar sesaat usai Presiden RI Prabowo Subianto berjanji untuk segera merampungkan pembahasan dan mengesahkan RUU PPRT dalam waktu tiga bulan ke depan di hadapan ratusan ribu buruh saat peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) pada 1 Mei 2025.
Implikasi terhadap kerja perawatan
Pembentukan RUU PPRT dimaksudkan untuk memberikan perlindungan serta pemenuhan hak terhadap PRT yang bekerja di sektor informal dengan memberikan tempat dan pengakuan yang sejajar dengan jenis maupun bentuk pekerjaan lain.
Bersamaan dengan hal tersebut, kehadiran RUU PPRT akan membawa implikasi pula pada sejumlah aspek lain, salah satunya pada pengakuan negara terhadap kerja perawatan (care work) yang masih belum dipandang sebagai pekerjaan produktif dan bernilai ekonomi di tanah air.
Kesadaran masyarakat yang rendah akan hal tersebut kerap kali disebabkan lantaran beban kerja perawatan masih lebih banyak dilekatkan kepada perempuan yang harus menanggung tugas-tugas domestik di dalam rumah tangga, seperti memasak, mengurus anak, membersihkan rumah, hingga merawat orangtua yang sudah lanjut usia (lansia).
Hal tersebut seakan menciptakan anggapan bahwa kerja-kerja perawatan tidak berkontribusi bagi perekonomian negara, padahal justru kerja-kerja tersebut lah yang menopang agar individu atau rumah tangga dapat produktif guna mendukung pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Pada 2024, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bekerja sama dengan Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) dan International Labour Organization (ILO) telah meluncurkan Peta Jalan Ekonomi Perawatan 2025-2045 yang mencakup tujuh isu prioritas.
Peta jalan itu diharapkan dapat mendorong mewujudkan ekosistem ketenagakerjaan yang inklusif dan adil bagi seluruh warga negara, khususnya perempuan dan anak-anak.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan pengakuan terhadap kerja perawatan diyakini mampu mengurangi kesenjangan gender dengan meningkatkan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan.
“Pekerjaan perawatan yang tidak berbayar ini menjadi kunci penentu apakah perempuan dapat memasuki dunia kerja dan tetap dapat bekerja dengan berkualitas,” kata Bintang Puspayoga.
Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA Pribudiarta Nur Sitepu mengamini pula bahwa masih rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan dibandingkan dengan laki-laki di Indonesia memiliki keterkaitan dengan pengasuhan anak karena perempuan yang telah memiliki anak kerap memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sementara waktu demi mengurus anak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dia menuturkan TPAK perempuan Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan laki-laki. Di mana, dalam 20 tahun terakhir TPAK perempuan tidak kunjung naik dengan dengan data per hari ini berada di angka 60 persen, sedangkan TPAK laki-laki terus mengalami kenaikan dengan saat ini berada di posisi 86 persen.
Tak hanya itu, pengakuan terhadap kerja perawatan juga dapat berimplikasi pada terciptanya banyak lapangan kerja baru sehingga menurunkan angka pengangguran di tanah air sebab orang-orang yang selama ini bertugas mengerjakan hal tersebut menjadi diperhitungkan sebagai pekerja dan mempunyai pekerjaan.
Untuk itu, kehadiran RUU PPRT sedianya dapat menjadi jalan masuk untuk memberi pengakuan terhadap kerja perawatan karena PRT masuk ke dalam kategori bidang kerja perawatan.
Menanti kepastian
Juli sudah memasuki babak akhir. Bila menghitung waktu sesuai janji Presiden Prabowo pada 1 Mei maka RUU PPRT sedianya akan rampung pada 1 Agustus.
Akan tetapi Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan dalam RDPU terkait RUU PPRT pada Kamis (17/7), mengatakan bahwa waktu tiga bulan yang ditargetkan Presiden Prabowo Subianto tidak mengacu pada kalender hari kerja.
Bob menyebut DPR RI mempunyai masa reses bagi para legislator untuk turun ke daerah pemilihan (dapil)-nya masing-masing guna menyerap aspirasi masyarakat.
Namun berbeda dengan jam kerja legislator, para PRT di tanah air mungkin banyak yang tak memiliki jam kerja hingga jam istirahat yang pasti sehingga harus terus menerus bekerja meski di akhir pekan ataupun di tanggal merah.
Atau di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) saat ini, perempuan Indonesia menjadi kelompok yang paling rentan terdampak PHK berdasarkan evaluasi produktivitas kinerja sebab harus menanggung kerja-kerja perawatan dalam rumah tangga yang tak diberi pengakuan sebagai kerja produktif dan bernilai ekonomi.
Oleh sebab itu, dibutuhkan kemauan politik (political will) yang kuat dari DPR RI agar pembahasan dan penyusunan RUU PPRT dapat segera rampung untuk memberikan kepastian perlindungan dan hak bagi nasib PRT yang telah terkatung puluhan tahun menghadapi kerentanan kerja.
Lebih jauh dari itu, kehadiran RUU PPRT akan meneguhkan komitmen negara dan membuka jalan pengakuan kerja perawatan yang dapat mendorong roda perekonomian, mengubah cara pandang dalam melihat kerja perawatan yang selama ini dilekatkan kepada perempuan, hingga memberi kesempatan yang lebih adil bagi perempuan Indonesia untuk dapat lebih setara dalam pasar kerja.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: RUU PPRT dan langkah pengakuan ekonomi perawatan di Indonesia