Jakarta (ANTARA) - Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjudin Nur Effendi menyoroti lambannya pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang dinilainya menjadi hambatan utama dalam pemberian jaminan sosial bagi PRT di Indonesia.
"Kalau tanpa ada undang-undang itu, mereka tidak bisa mendapatkan hak-hak mereka," ujar Tadjudin melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin.
Tadjudin menyebut desakan agar dibahas dan disahkannya RUU PPRT sejak 2004 tidak menunjukkan kemajuan berarti hingga saat ini. Bahkan inisiatif agar ada UU yang menjamin para PRT sudah ada sejak 1980-an.
Menurutnya, keberadaan payung hukum tersebut sangat krusial agar PRT dapat memperoleh hak-hak dasar ketenagakerjaan, termasuk jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan.
"Mereka (DPR) tidak memikirkan bahwa pekerja ini sebetulnya adalah pekerjaan yang sebenarnya, adalah orang-orang yang katakan tidak punya peluang pekerjaan yang baik," ujarnya.
Tanpa status hukum yang jelas, lanjutnya, para pekerja rumah tangga kerap bekerja dalam kondisi rentan dan tidak terlindungi, baik secara fisik maupun sosial. Ia menyebut pekerja rumah tangga selama ini berada dalam posisi sub-ordinat yang mirip dengan sistem kerja feodal.
"PRT itu mereka mengabdi tanpa perlindungan, karena negara belum hadir untuk melindungi mereka secara resmi," kata Tadjudin.
Lebih lanjut ia menilai lambannya pembahasan RUU PPRT disebabkan oleh rendahnya perhatian legislatif terhadap kelompok pekerja di lapisan bawah.
"Ini tidak menyangkut kepentingan DPR, makanya tidak dianggap penting. Padahal, ini menyangkut kehidupan dan perlindungan rakyat kecil," katanya.
Menurut Tadjudin, pengesahan RUU PPRT akan menjadi langkah awal agar pekerja rumah tangga dapat diformalkan dan dimasukkan dalam sistem perlindungan ketenagakerjaan nasional. Setelah itu baru dimungkinkan bagi mereka untuk terdaftar dalam program jaminan sosial seperti BPJS.
"Harus ada undang-undangnya dulu. Baru setelah itu, mereka bisa mendapatkan jaminan sosial," katanya.
Tadjudin juga membandingkan nasib pekerja rumah tangga dengan pengemudi ojek online (ojol) yang masuk dalam kelompok sangat rentan. "Kasusnya hampir sama. Waktu pandemi COVID-19, banyak dari mereka kehilangan penghasilan tanpa perlindungan apa-apa dari pemerintah. Begitu juga PRT," kata dia.
Ia berharap pemerintah dan DPR dapat segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT sebagai bentuk kehadiran negara dalam menjamin hak-hak pekerja rumah tangga, termasuk jaminan sosial dan perlindungan dari eksploitasi.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli berharap RUU PPRT dapat segera dirampungkan mengingat dapat memberikan kepastian hukum dan jaminan sosial kepada PRT.
"Ini (RUU PPRT) amanat bagi kita. Kemnaker tetap men-support dan berharap RUU ini dapat memberikan kepastian hukum dan jaminan sosial kepada PRT yang adil serta perlakuan sama di depan hukum, " ujar Menaker Yassierli dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Baleg DPR beberapa waktu lalu.
Berdasarkan data yang dihimpun jumlah PRT di Indonesia sebanyak 4,2juta pekerja dan mereka rentan kehilangan hak-haknya sebagai pekerja. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah hukum ketenagakerjaan di Indonesia saat ini tak secara khusus dan tegas mengatur tentang PRT.
Begitu pula dengan Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka yang berharap agar RUU PPRT segera rampung dibahas dan disahkan oleh DPR.
Gibran menyebut Presiden Prabowo Subianto telah menyatakan komitmen kuat pemerintah melindungi pekerja rumah tangga, yang salah satunya dilakukan dengan mendukung pengesahan RUU PPRT menjadi undang-undang.
"Karena RUU PPRT bukan hanya sekumpulan pasal, bukan hanya sekedar produk hukum, tapi lebih dari itu, ini adalah bentuk penghargaan, pelindungan, dan keadilan. Ini adalah cerminan bahwa negara juga hadir untuk para pekerja rumah tangga," katanya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pengamat: PRT butuh UU agar bisa akses jaminan sosial yang layak
