Ambon (Antara Maluku) - Wartawan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Maluku, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Ambon, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Maluku mengecam kekerasan terhadap tujuh orang wartawan oleh oknum polisi di Makassar, Sulsel (13/11).
"Kami mengutuk aksi kekerasan yang dilakukan oknum polisi terhadap sesama rekan wartawan di Makassar. Kasus ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap tugas-tugas jurnalistik," ujar sejumlah wartawan dalam pernyataan sikap di Ambon, Sabtu.
Pernyataan sikap ditanda tangani Ketua PWI Maluku, Robby Sajori dan Sekretaris, Hanafi Holle, Ketua AJI Kota Ambon, Abdul Karim Angkotasan dan Sekretaris Nurdin Tubaka serta Ketua IJTI Maluku, Juhry Samanery dan Sekretaris Wahyudi Mirahadi.
Wartawan di Ambon menilai perbuatan oknum polisi terhadap wartawan dalam menjalankan tugas jurnalstiknya telah melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Karena itu mereka meminta pimpinan Polri di Jakarta dan Polda Sulawesi Selatan Barat (Sulselbar) bekerja cepat mengusut tuntas kasus kekerasan tersebut, dan para pelaku pemukulan terhadap tujuh wartawan diadili sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
"Kami mengecam tindakan anarkisme yang dilakukan oknum polisi kepada tujuh wartawan di Makassar. Ini perbuatan keji. Wartawan di Maluku mendorong agar pengusutan kasus pemukulan terhadap empat wartawan diproses sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan dengan mengedepankan cara-cara profesional," ujar pimpinan organisasi profesi wartawan tersebut.
Menurut mereka, polisi harusnya memberikan perlindungan kepada para jurnalis saat menjalankan tugas jurnalistik di lapangan, apalagi saat meliput aksi-aksi demonstrasi.
Apalagi perlindungan terhadap pekerja pers juga diamanatkan dalam undang-undang yang mestinya diterapkan oleh para polisi di manapun, termasuk di Makassar.
"Polisi tugasnya melindungi dan mengayomi. Bukan sebaliknya membabi buta dan memukul rekan-rekan wartawan yang sedang melaksanakan tugas," ujar mereka.
Mereka juga mempertanyakan komitmen Polri dalam menegakkan supremasi hukum serta melindungi hak-hak warga sipil di tanah air.
"Kami sangat menyayangkan tindakan balas dendam oknum-oknum polisi kepada wartawan sebagai bentuk kemarahan karena Wakapolrestabes Makassar AKBP Totok Lisdiarto terluka terkarena anak panah. Pemukulan terhadap wartawan yang sedang melaksanakan tugas tidak dibenarkan oleh siapa pun. Ini sama saja mencederai prinsip demokrasi dan kebebasan pers di negara ini," ujarnya.
"Kebringasan" oknum polisi terhadap tujuh orang wartawan saat sedang bertugas meliput aksi demo mahasiswa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di Jalan AP Pettarani, depan kampus UNM Makassar yang berakhir bentrok.
Wartawan yang mengalami tindak kekerasan dari oknum polisi diantaranya Iqbal (Tempo), Waldy (Metro TV) dan Ikrar (Celebes TV). Bahkan di antaranya ada yang direbut "memory card" kameranya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2014
"Kami mengutuk aksi kekerasan yang dilakukan oknum polisi terhadap sesama rekan wartawan di Makassar. Kasus ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap tugas-tugas jurnalistik," ujar sejumlah wartawan dalam pernyataan sikap di Ambon, Sabtu.
Pernyataan sikap ditanda tangani Ketua PWI Maluku, Robby Sajori dan Sekretaris, Hanafi Holle, Ketua AJI Kota Ambon, Abdul Karim Angkotasan dan Sekretaris Nurdin Tubaka serta Ketua IJTI Maluku, Juhry Samanery dan Sekretaris Wahyudi Mirahadi.
Wartawan di Ambon menilai perbuatan oknum polisi terhadap wartawan dalam menjalankan tugas jurnalstiknya telah melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Karena itu mereka meminta pimpinan Polri di Jakarta dan Polda Sulawesi Selatan Barat (Sulselbar) bekerja cepat mengusut tuntas kasus kekerasan tersebut, dan para pelaku pemukulan terhadap tujuh wartawan diadili sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
"Kami mengecam tindakan anarkisme yang dilakukan oknum polisi kepada tujuh wartawan di Makassar. Ini perbuatan keji. Wartawan di Maluku mendorong agar pengusutan kasus pemukulan terhadap empat wartawan diproses sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan dengan mengedepankan cara-cara profesional," ujar pimpinan organisasi profesi wartawan tersebut.
Menurut mereka, polisi harusnya memberikan perlindungan kepada para jurnalis saat menjalankan tugas jurnalistik di lapangan, apalagi saat meliput aksi-aksi demonstrasi.
Apalagi perlindungan terhadap pekerja pers juga diamanatkan dalam undang-undang yang mestinya diterapkan oleh para polisi di manapun, termasuk di Makassar.
"Polisi tugasnya melindungi dan mengayomi. Bukan sebaliknya membabi buta dan memukul rekan-rekan wartawan yang sedang melaksanakan tugas," ujar mereka.
Mereka juga mempertanyakan komitmen Polri dalam menegakkan supremasi hukum serta melindungi hak-hak warga sipil di tanah air.
"Kami sangat menyayangkan tindakan balas dendam oknum-oknum polisi kepada wartawan sebagai bentuk kemarahan karena Wakapolrestabes Makassar AKBP Totok Lisdiarto terluka terkarena anak panah. Pemukulan terhadap wartawan yang sedang melaksanakan tugas tidak dibenarkan oleh siapa pun. Ini sama saja mencederai prinsip demokrasi dan kebebasan pers di negara ini," ujarnya.
"Kebringasan" oknum polisi terhadap tujuh orang wartawan saat sedang bertugas meliput aksi demo mahasiswa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di Jalan AP Pettarani, depan kampus UNM Makassar yang berakhir bentrok.
Wartawan yang mengalami tindak kekerasan dari oknum polisi diantaranya Iqbal (Tempo), Waldy (Metro TV) dan Ikrar (Celebes TV). Bahkan di antaranya ada yang direbut "memory card" kameranya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2014