Ambon (ANTARA) - Provinsi Maluku yang memiliki potensi kekayaan alam laut dan hutan masih tetap membutuhkan adanya kehadiran pelabuhan tipe A yang terintegrasi dengan industri perikanan atau pun sektor lainnya.
"Misalnya untuk mewujudkan program Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN) dibutuhkan pembangunan Ambon New Port, yang sudah diperjuangkan sejak kepemimpinan dua presiden sebelumnya namun tidak jalan," kata Anggota Komisi IV DPR RI Saadiah Uluputy di Ambon, Senin.
Penjelasan Saadiah disampaikan dalam rapat anggota DPR RI dan anggota DPD RI dapil Maluku bersama DPRD provinsi yang dipimpin Ketua DPRD Maluku Benhur G. Watubun.
Di era kepemimpinan Presiden Prabowo ini diakomodir dalam Perpres dan Inpres untuk Ambon Integrated Port atau pelabuhan terintegrasi dan diharapkan program ini secara sungguh-sungguh bisa terwujud.
Tadi saat rapat dengan Gubernur Maluku dan Wagub juga dibicarakan untuk kembali diperjuangkan.
"Di Komisi IV DPR kita juga membahas sejumlah hal strategis dimana kita tahu ada Inpres nomor 1/2025 tentang efisiensi anggaran sehingga kementerian juga mengalami efisiensi," ujarnya.
Misalnya Kementerian Pertanian dapat pengurangan dana Rp10 triliun dari total Rp57 triliun tahun ini, sehingga dengan dana yang turun ini juga mengganggu beberapa program yang telah diusulkan baik oleh pemprov dan DPRD Maluku maupun DPR RI untuk Maluku.
"Kami menyampaikan beberapa catatan kritis dalam rapat komisi yang berhubungan dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) karena ada beberapa program yang tidak ada akibat kebijakan efisiensi anggaran, misalnya DAK pertanian dan perikanan yang sudah diperjuangkan tahun sebelumnya," ucap Saadiah.
Ada lima daerah di Maluku yang sudah masuk untuk mendapatkan DAK akhirnya dibatalkan.
Kemudian ada beberapa usulan lain seperti jalan usaha tani yang dibutuhkan daerah-daerah pertanian dan perkebunan untuk jalan produksi.
Termasuk di dalamnya perjuangan agar perhatian pemerintah terhadap beberapa komoditi unggulan Maluku seperti cengkih dan pala dan kelapa juga menjadi catatan karena Presiden memberikan perhatian penuh untuk masalah pangan khususnya beras dan jagung.
"Kami juga memberikan catatan kritis kenapa hanya beras dan jagung padahal komoditi lainnya juga perlu diperhatikan, namun pemerintah menyampaikan program untuk dua tahun pertama ini difokuskan untuk beras dan jagung.," kata dia.
Kalau kebutuhan atau tingkat konsumsi beras di Maluku hampir mencapai 50.000 kg, sementara 49.600 kg itu merupakan hasil produksi.
"Jika kita ingin mendapatkan swasembada pangan sebagaimana yang sudah dicapai provinsi lainnya, maka tentu daerah yang juga ada program optimalisasi lahan pangan juga menjadi catatan," tandasnya.
Anggota Komisi IV DPR telah mengundang Menteri Pertanian berkunjung ke Pulau Buru dan Seram, Maluku untuk melihatnya dan menjadi perhatian pemerintah untuk pengembangan pertanian.
Untuk bidang perikanan, perlu adanya diskusi dengan Komisi II soal regulasi bagi hasil perikanan.
Karena selama kewenangan pemerintah untuk melakukan pengelolaan sebagaimana diatur dalam UU RI Nomor 32 Tahun 2014 0-12 mil laut di bawah kewenangan daerah dan di atas 12 mil merupakan kewenangan pusat maka Maluku akan mendapatkan jatah yang sangat sedikit, bahkan bagi hasil perikanan tidak ada.
Di atas 12 mil laut, kapal-kapal yang menangkap ikan baik di WPP 714716718, bagi hasilnya terbagi 20 banding 80 persen, dimana yang 20 persen untuk pemerintah dan 80 persen untuk daerah.
"Anehnya, pembagian yang 80 persen ini dibagikan ke seluruh kabupaten se-Indonesia dan bukan daerah penghasil, sehingga logikanya daerah penghasil yang miskin seperti Maluku ini memberikan subsidi kepada daerah yang lain. Padahal seluruh penangkapan di sini, ada kapal yang beroperasi juga di sini dan berdampak pada kerusakan laut tidak mendapatkan semacam dispensasi lain, sehingga selama ada regulasi ini maka daerah penghasil dirugikan," katanya.