Upaya merawat perdamaian di Maluku menemukan napas baru melalui peran guru. Puluhan pendidik dari berbagai sekolah dan latar belakang agama mengikuti Program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) sebagai bekal menjadi agen toleransi di ruang-ruang pendidikan.
Program ini menegaskan bahwa para guru bukan hanya pengajar, tetapi penanam benih-benih perdamaian bagi generasi masa depan Maluku.
Latar belakang konflik antarmasyarakat pada Januari 1999 menjadi alasan kuat bahwa literasi keagamaan lintas budaya penting dilakukan terus-menerus dan kali ini ada kegiatan serupa yang diprakarsai oleh Institut Leimena.
Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho menjelaskan bahwa Program LKLB untuk Perdamaian dirancang secara khusus untuk memperkuat kapasitas guru sebagai juru damai di wilayah yang menyimpan sejarah konflik sosial dan segregasi berbasis agama.
“Guru memiliki peran strategis dalam rekonsiliasi dan membangun kerja sama lintas iman. Mereka adalah penjaga masa depan Maluku,” kata Matius Ho saat membuka kegiatan di Ambon.
Program yang terlaksana melalui kolaborasi Institut Leimena, Yayasan Pembinaan Pendidikan Kristen (YPPK) Dr JB Sitanala, Sasakawa Peace Foundation, Yayasan Sombar Negeri Maluku, dan GPM ini menghadirkan pendekatan baru dalam pendidikan lintas iman.
Sebagai UNESCO City of Music, Ambon menjadikan musik sebagai bahasa universal yang menghubungkan perbedaan.
“Orang Ambon suka menyanyi. Musik bukan hanya hiburan, tetapi alat memperkuat empati, solidaritas, dan persaudaraan,” kata Matius.
Hingga 2025, Program LKLB telah melibatkan lebih dari 10.700 guru di Indonesia. Khusus Maluku, sejak 2024 sebanyak 120 guru telah mengikuti pelatihan intensif lintas agama dan budaya.
Ruang perjumpaan yang menguatkan
Dalam program ini, para guru tidak hanya belajar konsep keberagaman, tetapi melakukan kunjungan langsung ke rumah ibadah besar di Ambon, seperti Masjid Raya Al-Fatah dan Jemaat GPM Bethel. Mereka berdialog mengenai tradisi keagamaan, simbol-simbol ibadah, serta strategi membangun empati di tengah masyarakat yang masih menghadapi tantangan sosial.
Ketua Yayasan Al-Fatah Ambon Hadi Basalamah menilai kegiatan seperti ini sebagai langkah strategis dalam mempererat kembali hubungan salam-sarani yakni istilah persaudaraan Islam-Kristen di Maluku.
“Kita berharap generasi sekarang tidak lagi mengalami luka masa lalu. Kegiatan seperti ini membuat kita saling memahami dan mendekat satu sama lain,” katanya.
Salah satu momen kuat terjadi saat para guru mengunjungi Gereja Josef Kam Ambon pada minggu-minggu Advent. Suasana Natal yang hangat dengan pohon hias warna-warni bersanding dengan tawa akrab peserta dari Muslim dan Kristen. Mereka mendengarkan penjelasan pemuka agama tentang makna toleransi sebagai fondasi hidup orang basudara.
Pengalaman-pengalaman perjumpaan ini menjadi bekal bagi para guru untuk dibawa pulang ke sekolah dan diteruskan kepada para murid mereka.
Perkuat toleransi
Tokoh Gereja Protestan Maluku (GPM) Pdt Elifas Maspaitella menegaskan bahwa pendidikan lintas iman adalah bagian penting dalam merawat nilai-nilai budaya Maluku, termasuk panas pela, sumpah pela, dan gandong sebagai memori kolektif yang telah menyatukan masyarakat sejak berabad-abad.
“Ketika pemain terompet Kristen dan pemain hadrat Muslim bermain bersama, harmoninya adalah harmoni kemanusiaan. LKLB ini membuat kita menyanyikan toleransi dan menyuarakan keberagaman,” ujarnya.
Direktur Yayasan Sombar Negeri Maluku Prof Hasbollah Toisuta menambahkan bahwa konflik masa lalu terjadi ketika nilai-nilai kearifan lokal mulai tergerus. Ia menilai dunia pendidikan memiliki peran kunci dalam mengembalikan kekuatan pela-gandong sebagai fondasi perdamaian.
“Pendidikan menjadi ruang strategis untuk mengembalikan nilai pela-gandong. Contohnya UIN Ambon yang berpela dengan UKIM dan bergandong dengan IAKN. Inilah bentuk nyata pendidikan sebagai pilar perdamaian,” katanya.
Pela gandong adalah persaudaraan dan kekeluargaan yang mengikat dua negeri atau lebih untuk membantu dan saling menghormati tanpa memandang perbedaan agama dan sosial.
Sekolah pela gandong
Gerakan memperkuat toleransi di Maluku kini semakin mengakar melalui penerapan Sekolah Pela Gandong. Dua sekolah menengah atas di Kota Ambon yakni SMA Kristen Rehoboth dan SMA Al-Hilal Ambon mengembangkan sistem pendidikan yang menghidupkan kembali nilai pela dan gandong sebagai dasar persaudaraan lintas iman.
“Program ini menjadi salah satu praktik pendidikan perdamaian berbasis kearifan lokal di Maluku,” kata Kepala SMA Kristen Rehoboth Ambon Salomina Patty.
Program Sekolah Gandong disusun melalui tiga pendekatan yakni belajar lintas sekolah, siswa Rehoboth dan Al-Hilal mengikuti kelas kolaboratif dan proyek sosial bersama. Kemudian interaksi budaya dan dialog dengan pertemuan rutin, praktik seni, menari, menyanyi, hingga kegiatan “makan gandong”.
juga ada pertukaran guru lintas sekolah melalui tenaga pendidik saling berbagi, memperkuat kolaborasi akademik dan pemahaman lintas iman.
Kepala SMA Al-Hilal Ambon Jaleha menegaskan bahwa program ini juga melibatkan orang tua untuk membangun kepercayaan bersama.
“Pendidikan harus menjadi jembatan, bukan tembok. Kepercayaan itu kami bangun perlahan melalui dialog dan kegiatan bersama,” ujarnya.
Dampaknya terlihat jelas. Siswa mulai merasa memiliki “saudara gandong” di sekolah lain, keberanian berinteraksi lintas agama meningkat, dan sapaan “halo gandong” menjadi simbol kebersamaan baru di kalangan pelajar.
Sekolah Gandong menjadi bagian integral dari Program LKLB yang digagas Institut Leimena, menyediakan modul, pelatihan guru, serta ruang perjumpaan antar–rumah ibadah untuk memperkuat empati dan dialog.
Kedua kepala sekolah memastikan program ini bukan proyek sementara, tetapi model berkelanjutan yang terus diperkuat melalui integrasi kurikulum, pelatihan LKLB, ruang dialog rutin, serta dokumentasi praktik baik yang dapat direplikasi sekolah lain.
“Kami ingin memastikan bahwa jika suatu hari pimpinan sekolah berganti, program ini tetap berjalan. Sekolah Gandong harus menjadi budaya,” kata Jaleha.
Penanam benih perdamaian
Program LKLB untuk Perdamaian menegaskan satu hal penting: pendidikan adalah pilar yang mampu menyatukan Maluku. Tiga batu tungku—lembaga adat, lembaga agama, dan lembaga pendidikan didorong untuk bergerak bersama menjaga kerukunan.
Di tangan para guru, nilai-nilai toleransi, empati, dan persaudaraan ditanam hari ini untuk menuai perdamaian bagi generasi mendatang.
Model pendidikan toleransi berbasis budaya lokal seperti Sekolah Gandong membuktikan bahwa Maluku bukan hanya belajar dari masa lalu, tetapi sedang menulis masa depan yang lebih damai.
“Harapan kami, sekolah-sekolah di Maluku menjadi laboratorium keberagaman yang menunjukkan pada dunia bahwa toleransi bisa tumbuh kuat bila ditanam melalui budaya lokal,” tutur Salomina Patty.
Dari ruang kelas hingga rumah-rumah ibadah, dari musik hingga pela-gandong, para guru di Maluku menjaga satu nyala penting yaitu nyala persaudaraan orang basudara.
Dari nyala itu, Maluku menimba harapan untuk merawat perdamaian yang lebih kokoh bagi generasi esok.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menabur toleransi melalui peran guru di Maluku
Editor : Ikhwan Wahyudi
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2025