Ambon, 15/6 (Antara Maluku) - Hasil kekayaan alam berupa emas yang dicari warga di sekitar Gunung Botak, Kabupaten Buru selama ini lebih dominan dinikmati penambang dari luar daerah dan bukannya membawa keuntungan ekonomi bagi warga sekitar.

"Belasan hingga puluhan ribu orang datang dari berbagai penjuru nusantara ke Gunung Botak untuk mencari emas, membuka lapak makanan dan bahan pokok maupun menjadi tukang pikul barang atau disebut kancil," kata tokoh adat masyarakat Buru, Ibrahim Wael di Ambon, Rabu.

Selama aksi penambangan emas tanpa izin berlangsung, para penambang ini datang dari Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara, maupun Pulau Ambon dan sekitarnya.

Sementara warga asli Pulau Buru lebih banyak menjadi penonton di negeri sendiri dan hanya menerima imbas dari aksi penambangan yang menggunakan bahan kimia beracun seperti sianida sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan.

Menurut Ibrahim, kalau pun ada warga setempat yang mendapatkan nilai ekonomis dari penambangan emas hanyalah dalam persentase yang relatif kecil jumlahnya.

Menurut Ibrahim, setelah penutupan lokasi penambangan atas perintah Presiden Joko Widodo dalam Bulan November 2015 lalu, para penambang tersebut sudah kembali ke daerah asalnya.

"Jadi kalau ada pihak yang berbicara mengatasnamakan masyarakat Buru menyatakan warga sulit membiayai pendidikan anak-anaknya itu tidaklah mutlak," tandasnya.

Ia juga merasa heran dengan upaya pihak-pihak tertentu yang ingin membuka lahan seluas 11 hektare di Wamsait untuk dijadikan lokasi pemurnian emas.

Padahal lahan itu telah disiapkan pemerintah daerah bagi para transmigran sebagai lahan usaha satu, sehingga tindaka seperti ini haruslah dicegah oleh pemerintah.

"Sekarang mereka sudah membawa masuk matrial sebagai persiapan membuka tempat pemurnian emas dengan cara membuat kolam rendaman material menggunakan bahan kimia yang bakal menimbulkan pencemaran lingkungan," katanya.

Pewarta: Daniel Leonard

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2016