Saumlaki, 25/10 (Antara Maluku) - Pengadilan Negeri Saumlaki menilai sikap DPRD Maluku Tenggara Barat menolak perintah membayar utang pihak ketiga sebagaimana putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagai tindakan keliru.

"Mencermati pemberitaan, sikap DPRD MTB yang melakukan voting terhadap putusan akta perdamaian Pengadilan Negeri Saumlaki adalah hal yang sangat keliru," kata Humas Pengadilan Negeri Saumlaki, Ahmad Yani Tamher, SH di Saumlaki, Selasa.

Ia menjelaskan, ketentuan pasal 1858 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan pasal 154 Rbg memberi ketegasan bahwa putusan akta van dading (putusan akta perdamaian) disamakan kekuatannya dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak ada upaya hukum banding maupun kasasi.

Hal tersebut dipertegas dengan yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor:1038/K/sip/1973 dan memiliki kekuatan eksekutorial.

"Penjelasan ini mesti dipahami dengan baik, sehingga putusan pengadilan itu tidak lagi dipersoalkan," kata Ahmad Yani.

Ia juga menyatakan putusan Akta Perdamaian tersebut merupakan kesepakatan dari pihak penggugat dan tergugat.

Dia mencontohkan, jika ada seseorang menggugat Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tenggara Barat dalam bentuk gugatan wanprestasi atau ingkar janji, maka pada persidangan pertama sesuai dengan ketentuan Peraturan Mahkamah Agung RI nomor: 1 tahun 2016 tentang mediasi, majelis menunjuk hakim mediator untuk mendamaikan para pihak yang berperkara.

"Nah, setelah para pihak berperkara setuju untuk berdamai, maka dibuat kesepakatan perdamaian yang dituangkan dalam surat kesepakatan perdamaian, lalu ditandatangani oleh para pihak bersama hakim mediator sebagai bukti persetujuan bersama," katanya.

Setelah itu, hakim mediator melaporkan kepada majelis hakim bahwa upaya mediasi berhasil dilaksanakan, kemudian majelis hakim menyalin isi kesepakatan perdamaian tersebut dalam putusan akta perdamaian, sehingga putusan tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum banding maupun kasasi.

Sebaliknya, oleh salah satu pihak yang merasa dirugikan karena kesepakatan tersebut diingkari, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada ketua PN Saumlaki untuk kemudian melakukan eksekusi terhadap objek yang dijaminkan dalam kesepakatan perdamaian tersebut.

"Untuk itu saya tegaskan bahwa setiap warga negara yang baik, ataupun lembaga negara, lembaga tinggi negara, dan korporasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus taat dan patuh terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap," katanya.

Ahmad Yani juga menegaskan ajaran trias politika yang diadopsi dalam UUD 1945 mengatur tentang kekuasaan alat negara, yaitu Eksekutif (pelaksana Undang-Undang), Legislatif (membentuk Undang-Undang) dan Yudikatif yaitu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-Undang, memeriksa dan mengadili.

"Coba perhatikan UU Kekuasaan Kehakiman nomor 48 tahun 2009 dimana dalam pasal 1 menegaskan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia," katanya.

Jadi, kata Ahmad Yani, Pansus Penelusuran Utang Pihak Ketiga yang dibentuk oleh Paripurna DPRD MTB tidak diberi kewenangan oleh Undang-Undang apapun untuk melakukan voting terhadap putusan PN Saumlaki yang telah berkekuatan hukum tetap.

Sebelumnya, lewat mekanisme voting, sidang paripurna DPRD MTB memutuskan untuk meminta pemerintah daerah tidak menganggarkan biaya pembayaran utang pihak ketiga itu dalam APBD Perubahan 2016.

Pewarta: Simon Lolonlun

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2016