Ambon, 18/12 (Antara Maluku) - Pusat Penelitian Laut Dalam - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPLD-LIPI) merekomendasikan trik pengolahan ikan julung-julung atau Hemiramphus brasiliensis di Pulau Keffing, Kecamatan Seram Timur, Kabupaten Seram Bagian Timur.
"Untuk produksi ikan julung, menurut kami perlu ada pembatasan waktu dan daerah tangkap, sehingga produksinya tetap terjaga," kata Kepala Bidang Pengelolaan dan Diseminasi Hasil Penelitian PPLD-LIPI Daniel Pelasula, di Ambon, Senin.
Keffing merupakan pulau kecil dengan luas tidak mencapai 2.000 kilometer persegi. Dihuni oleh 400 kepala keluarga, pulau itu terkenal sebagai penghasil ikan julung-julung.
PPLD-LIPI didukung oleh Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Perindustrian dan Perdagangan (Koperindag) Kabupaten Seram Bagian Timur melakukan eksplorasi sumber daya perairan pulau Keffing dan sekitarnya pada 29 November 2017.
Hasil penelitian dan rekomendasi pengelolaan sumber daya hayati di kawasan itu telah disampaikan kepada Bupati, DPRD dan SKPD setempat beberapa waktu lalu.
Menurut Daniel pembatasan waktu dan daerah tangkap ikan julung-julung sangat memungkinkan, karena umumnya ikan tersebut datang ke wilayah pesisir untuk bertelur. Jika ditangkap sebelum bertelur maka akan memutuskan regenerasinya dan keberlanjutan sumberdaya.
Ia juga menyarankan penghentian penggunaan batang mangrove sebagai kayu bakar untuk mengasapi ikan dan diganti dengan alternatif lainnya. Beberapa sumber bahan bakar yang bisa dimanfaatkan, antara lain tempurung dan kulit kelapa, pelepah sagu, kulit kenari dan lainnya.
"Produksi tertinggi didapatkan pada musim timur yang berlangsung sekitar Mei - Agustus. Waktu operasi penangkapan yang efektif antara pukul 06.00 - 11.00 WIT dan pukul 15.00 - 18.00 WIT," katanya.
Nelayan Keffing, kata dia, umumnya melaut menggunakan perahu kapal. Satu perahu bisa diisi oleh maksimal 10 orang. Mereka menangkap ikan julung-julung menggunakan pukat cincin berukuran kecil atau mini purse seine (jaring giob).
Biaya operasi nelayan Keffing setiap bulan adalah Rp7.500.000. Dibutuhkan investasi paling sedikit adalah Rp92 juta untuk pengadaan satu unit penangkapan jaring giob (Rp45 juta), perahu (Rp35 juta), dua unit mesin (Rp10 juta) dan kelengkapan lainnya (Rp2 juta).
Sebelum dijual di pasar ikan di Kota Geser, ibu kota kecamatan Seram Timur, ikan julung-julung hasil tangkapan ditempatkan di kerangka bambu persegi panjang yang disebut waya. Satu waya berisi 20 ekor ikan.
Ikan julung-julung segar dijual seharga Rp85.000 per ikat (10 waya), yang sudah diasapi Rp115.000 - Rp130.000 per ikat, sedangkan per waya bisa dibeli dengan harga Rp15.000 - Rp16. 000.
Ketika musim timur, produksi rata-rata ikan julung-julung sekitar 1.500 ikat per bulan, dengan total pendapatan mencapai Rp127.500.000 per bulan. Sedangkan produksi saat bukan musim ikan adalah 25 ikat per sekali melaut.
Waktu operasi produktif pada saat bukan musim ikan hanya 12 hari, maka dalam sebulan nelayan mendapatkan 300 ikat yang dijual dengan harga rata-rata Rp90.000 per ikat, sehingga total pendapatan hanya Rp27.000.000 per bulan.
"Harga rata-rata ikan julung-julung kering adalah Rp115.000, jika dikurangi biaya pengolahan Rp30.000 per ikat, maka harganya sama dengan harga ikan mentah," ucapnya.
Dikatakannya lagi, usaha perikanan di sana menggunakan sistem bagi hasil antara anak buah kapal (ABK) dan pemilik usaha penangkapan sebesar 50:50. 50 persen keuntungan pemilik usaha dibagi dua dengan juru kapal.
Saat musim timur, upah yang diterima oleh nakhoda dan juru mesin adalah Rp8.800.000 per bulan, sedangkan ABK biasa Rp4.400.000 per bulan. Ketika bukan musim ikan yang diterima nahkoda dan juru adalah Rp1.430.000 per bulan, sedangkan ABK biasa Rp780.000 per bulan.
"Tujuh unit jaring giob telah menyerap 84 tenaga kerja langsung, dengan total uang yang beredar adalah Rp892.500.000 per bulan saat musim ikan. Jumlah yang cukup besar untuk satu desa kecil seperti Desa Keffing, ini membuktikan bahwa unit usaha jaring giob memberikan kontribusi besar bagi perekonomian di Kabupaten Seram Bagian Timur," ujar Daniel.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2017
"Untuk produksi ikan julung, menurut kami perlu ada pembatasan waktu dan daerah tangkap, sehingga produksinya tetap terjaga," kata Kepala Bidang Pengelolaan dan Diseminasi Hasil Penelitian PPLD-LIPI Daniel Pelasula, di Ambon, Senin.
Keffing merupakan pulau kecil dengan luas tidak mencapai 2.000 kilometer persegi. Dihuni oleh 400 kepala keluarga, pulau itu terkenal sebagai penghasil ikan julung-julung.
PPLD-LIPI didukung oleh Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Perindustrian dan Perdagangan (Koperindag) Kabupaten Seram Bagian Timur melakukan eksplorasi sumber daya perairan pulau Keffing dan sekitarnya pada 29 November 2017.
Hasil penelitian dan rekomendasi pengelolaan sumber daya hayati di kawasan itu telah disampaikan kepada Bupati, DPRD dan SKPD setempat beberapa waktu lalu.
Menurut Daniel pembatasan waktu dan daerah tangkap ikan julung-julung sangat memungkinkan, karena umumnya ikan tersebut datang ke wilayah pesisir untuk bertelur. Jika ditangkap sebelum bertelur maka akan memutuskan regenerasinya dan keberlanjutan sumberdaya.
Ia juga menyarankan penghentian penggunaan batang mangrove sebagai kayu bakar untuk mengasapi ikan dan diganti dengan alternatif lainnya. Beberapa sumber bahan bakar yang bisa dimanfaatkan, antara lain tempurung dan kulit kelapa, pelepah sagu, kulit kenari dan lainnya.
"Produksi tertinggi didapatkan pada musim timur yang berlangsung sekitar Mei - Agustus. Waktu operasi penangkapan yang efektif antara pukul 06.00 - 11.00 WIT dan pukul 15.00 - 18.00 WIT," katanya.
Nelayan Keffing, kata dia, umumnya melaut menggunakan perahu kapal. Satu perahu bisa diisi oleh maksimal 10 orang. Mereka menangkap ikan julung-julung menggunakan pukat cincin berukuran kecil atau mini purse seine (jaring giob).
Biaya operasi nelayan Keffing setiap bulan adalah Rp7.500.000. Dibutuhkan investasi paling sedikit adalah Rp92 juta untuk pengadaan satu unit penangkapan jaring giob (Rp45 juta), perahu (Rp35 juta), dua unit mesin (Rp10 juta) dan kelengkapan lainnya (Rp2 juta).
Sebelum dijual di pasar ikan di Kota Geser, ibu kota kecamatan Seram Timur, ikan julung-julung hasil tangkapan ditempatkan di kerangka bambu persegi panjang yang disebut waya. Satu waya berisi 20 ekor ikan.
Ikan julung-julung segar dijual seharga Rp85.000 per ikat (10 waya), yang sudah diasapi Rp115.000 - Rp130.000 per ikat, sedangkan per waya bisa dibeli dengan harga Rp15.000 - Rp16. 000.
Ketika musim timur, produksi rata-rata ikan julung-julung sekitar 1.500 ikat per bulan, dengan total pendapatan mencapai Rp127.500.000 per bulan. Sedangkan produksi saat bukan musim ikan adalah 25 ikat per sekali melaut.
Waktu operasi produktif pada saat bukan musim ikan hanya 12 hari, maka dalam sebulan nelayan mendapatkan 300 ikat yang dijual dengan harga rata-rata Rp90.000 per ikat, sehingga total pendapatan hanya Rp27.000.000 per bulan.
"Harga rata-rata ikan julung-julung kering adalah Rp115.000, jika dikurangi biaya pengolahan Rp30.000 per ikat, maka harganya sama dengan harga ikan mentah," ucapnya.
Dikatakannya lagi, usaha perikanan di sana menggunakan sistem bagi hasil antara anak buah kapal (ABK) dan pemilik usaha penangkapan sebesar 50:50. 50 persen keuntungan pemilik usaha dibagi dua dengan juru kapal.
Saat musim timur, upah yang diterima oleh nakhoda dan juru mesin adalah Rp8.800.000 per bulan, sedangkan ABK biasa Rp4.400.000 per bulan. Ketika bukan musim ikan yang diterima nahkoda dan juru adalah Rp1.430.000 per bulan, sedangkan ABK biasa Rp780.000 per bulan.
"Tujuh unit jaring giob telah menyerap 84 tenaga kerja langsung, dengan total uang yang beredar adalah Rp892.500.000 per bulan saat musim ikan. Jumlah yang cukup besar untuk satu desa kecil seperti Desa Keffing, ini membuktikan bahwa unit usaha jaring giob memberikan kontribusi besar bagi perekonomian di Kabupaten Seram Bagian Timur," ujar Daniel.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2017