Ternate, 30/12 (Antaranews Maluku) - Masyarakat di wilayah Subaim dan Wasiley, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, semula berharap masuknya sejumlah perusahaan untuk mengeksploitasi tambang nikel di wilayah itu, akan banyak memberi manfaat bagi kehidupan mereka.

Perusahaan yang masuk mengeksploitasi tambang nikel di wilayah itu, di antaranya PT Alam Raya Abadi sejak semula juga menyatakan komitmennya untuk berkontribusi bagi kemajuan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, termasuk dalam mencegah terjadinya pencemaran lingkungan.

Tetapi setelah sekian tahun perusahaan tersebut beroperasi, apa yang diharapkan masyarakat dan yang dijanjikan perusahaan, seperti pepatah jauh panggang dari api, karena yang dirasakan masyarakat justru kerugian, terutama akibat adanya pencemaran lingkungan.

Setiap musim hujan, lumpur dari lokasi aktivitas tambang nikel PT Alam Raya Abadi mengalir ke permukiman masyarakat, lahan perkebunan dan perkebunan serta tambak ikan milik warga, yang mengakibatkan kerugian sangat besar.

Seperti pada musim hujan bulan Desember 2017 ini, sedikitnya 188 hektare lahan pertanian, 201 hektare lahan perkebunan, 10 hektare tambak ikan serta 752 unit rumah warga, tergenang lumpur dari aktivitas penambangan nikel perusahaan tersebut.

Pencemaran dari akivitas penambangan nikel di wilayah Subaim dan Wasiley berdampak pula di perairan laut sekitarnya, di antaranya ditandai dengan menurunnya hasil tangkapan nelayan, karena perairan laut dipenuhi dengan endapan lumpur.

Masyarakat di wilayah itu menuntut pihak perusahaan untuk memberikan ganti rugi kepada masyarakat yakni sebesar Rp20 juta per hektare untuk lahan pertanian, perkebunan dan tambak ikan yang rusak serta Rp7,5 juta bagi setiap rumah warga yang tergenang lumpur.

Pihak PT Alam Raya Abadi menyanggupi tuntutan ganti rugi dari masyarakat itu, yang dijanjikan akan direalisasikan pada Januari 2018, namun masyarakat agak ragu dengan janji itu karena pengamalan selama ini perusahaan sering mengingkari janjinya.

Oleh karena itu, mereka mengharapkan adanya dukungan dari Pemkab Halmahera Timur dan pihak terkait lainnya, untuk menekan manajamen PT Alam Raya Abadi agar perusahaan itu dapat memenuhi janjinya secara tepat waktu dan sesuai dengan nilai ganti rugi yang disepakati.

Masyarakat juga meminta perusahaan tambang nikel itu, untuk mengupayakan agar aktivitas penambangan nikel yang mereka lakukan tidak lagi mencemari lingkungan sekitarnya, terutama kawasan permukiman, lahan pertanian dan perkebunan serta tambak ikan masyarakat.



Di Semua Lokasi

Kerugian akibat adanya pencemaran dari aktivitas pertambangan nikel seperti yang dialami masyarakat di wilayah Subaim dan Wasiley tersebut, juga dialami masyarakat di berbagai wilayah lainnya di Maluku Utara, yang menjadi lokasi aktivitas pertambangan.

Pencemaran itu terjadi karena ketidakpatuhan perusahaan dalam menerapkan prosedur pencegahan dampak lingkungan, yang sudah atur dalam dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), serta berbagai ketentuan lainnya yang terkait dengan masalah lingkungan.

Bahkan disinyalir tidak sedikit perusahaan tambang di Maluku Utara yang dokumen Amdalnya tidak dapat dilaksanakan secara baik, karena penyusunannya tidak disesuaikan dengan kondisi riil di lapangan dan Amdal seperti ini biasanya hanya sekadar untuk memenuhi persyaratan admistrasi saat pengurusan izin.

Terungkapnya 27 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Maluku Utara yang bermasalah, di antaranya tidak memiliki dokumen Amdal, yang saat ini tengah dalam pengusutan Panitia Khusus (Pansus) IUP DPRD Maluku Utara menjadi bukti bahwa perusahaan tambang dalam melakukan aktivitas penambangan mengabaikan faktor kelestarian lingkungan.

Pemerintah daerah dan instansi terkait yang seharusnya mengawal dan mengawasi seluruh aktivitas perusahaan tambang, terutama yang terkait dengan kepatuhannya terhadap penanganan dampak lingkungan yang diatur dalam Amdal, tidak dilaksanakan secara baik.

Bahkan ketika aktivitas perusahaan tambang nyata-nyata menimbulkan pencemaran yang merugikan masyarakat, pemerintah daerah dan instansi terkait terkesan melindungi perusahaan dengan mengeluarkan pernyataan bahwa perusahaan bersangkutan tidak melanggar Amdal atau ketentuan mengenai lingkungan lainnya.

Kalau pun mengakui adanya kelalaian perusahaan tambang dalam melaksanakan prosedur pencegahan pencemaran lingkungan, tidak mengeluarkan sanksi tegas kepada perusahaan bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, akibatnya perusahaan tambang tidak memiliki keseriusan untuk menerapkan aktivitas penambangan yang ramah lingkungan.

Kalangan pemerhati lingkungan di Maluku Utara telah berulang kali menyuarakan perlunya pemerintah daerah dan instansi terkait, untuk mencabut izin perusahaan tambang yang aktivitasnya terbukti mencemari lingkungan agar bisa memberi efek jera sekaligus mendorong setiap perusahaan tambang untuk mematuhi prosedur pencegahan pencemaran lingkungan.

Selain itu, pemerintah daerah tidak lagi mengeluarkan izin baru bagi perusahaan tambang di Maluku Utara, terutama di kawasan hutan yang menjadi habitat berbagai flora dan fauna endemik, seperti burung bidadari dan burung kaka tua putih di wilayah Halmahera.

Sejumlah daerah di Maluku Utara, yang sudah ditetapkan sebagai sentra pengembangan pangan, khususnya padi sawah, seperti di Kabupaten Halmahera Timur, terutama di wilayah Subaim dan Wasiley tidak boleh ada aktivitas penambangan nikel atau mineral lainnya agar pengembangan pangan di wilayah itu tidak terganggu pencemaran dari aktivitas penambangan.

Eksploitasi potensi tambang di suatu wilayah memang akan memberikan kontribusi pendapatan daerah dan penyediaan lapangan kerja, tetapi kalau pengelolaannya tidak bijak maka kerugian yang akan ditimbulkan jauh lebih besar dan berlangsung dalam jangka panjang, terutama kerugian dari segi kerusakan lingkungan. 

Pewarta: La Ode Aminuddin

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2017