Ternate, 17/3 (Antaranews Maluku) - Tenang dan santai, ekspresi itulah yang ditunjukkan Ahmad Hidayat Mus (AHM) ketika Calon Gubernur Maluku Utara (Malut) tersebut mengetahui dirinya ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Mantan Bupati Kepulauan Sula dua periode itu tidak mau berkomentar terkait penetapannya sebagai tersangka korupsi oleh KPK dan hanya menegaskan bahwa dirinya akan tetap fokus melakukan kampanye bersama pasangannya Rivai Umar.

Para pendukung dan simpatisan AHM sejauh ini tidak begitu terpengaruh dengan status tersangka cagub yang diusung koalisi Partai Golkar dan PPP itu, justru mereka terus memberikan dukungan dengan memadati setiap kampanye yang dilakukan.

Pengurus Partai Golkar dan PPP di Malut juga tetap menunjukkan kekompakan dan loyalitasnya terhadap pasangan AHM - Rivai, karena mereka menganggap itu merupakan konspirasi dari pihak tertentu.

Elektalibitas pasangan AHM - Rivai sebelum penetapan AHM sebagai tersangka korupsi oleh KPK sesuai hasil survei sejumlah lembaga survei adalah yang tertinggi dari ketiga pasangan cagub/cawagub lainnya yang akan tampil pada Pilkada Malut.

Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang menyebutkan mantan Ketua DPD I Golkar Malut itu ditetapkan sebagai tersangka korupsi dalam kasus pembebasan lahan Bandara Bobong di Kabupaten Pulau Taliabu, yang saat itu masih masuk wilayah Kabupaten Kepulauan Sula tahun 2009 senilai Rp3,4 miliar.

Kasus itu semula ditangani oleh Polda Malut dengan menetapkan delapan orang tersangka, termasuk di antaranya AHM yang beberapa tersangka di antaranya sudah menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Ternate dan dinyatakan bersalah.

AHM sendiri mengajukan praperadilan di PN Ternate atas penetapan sebagai tersangka dalam kasus itu dan hasilnya menang, tetapi Polda Malut mengambil langkah lain dengan melimpahkannya ke KPK.

Status AHM sebagai tersangka, menurut Ketua KPU Malut Syahrani Somadayo, tidak akan serta merta mengugurkan keberadaannya sebagai cagub yang akan tampil pada Pilkada Malut 2018.

Bahkan kalau pun AHM sudah ditahan KPK dan menjalani sidang di Pengadilan, tidak akan menghilangkan posisinya sebagai cagub, karena tidak ada regulasi yang menyebutkan bahwa seorang cagub yang terlibat kasus hukum akan hilang statusnya sebagai cagub.

Tetapi kalau ada regulasi baru, misalnya ada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang menegaskan bahwa cagub/cawagub yang menjadi tersangka dalam kasus hukum harus digugurkan dan diganti dengan calon lain maka mau tidak mau KPU Malut akan melaksanakannya.


Kurang Tepat

Pengamat Hukum dari Universita Khairun (Unkhair) Ternate, King Faisal menilai penetapan calon kepala daerah sebagai tersangka korupsi oleh KPK, seperti yang terjadi pada Cagub Malut AHM, momentumnya kurang tepat.

Upaya KPK untuk memberantas korupsi harus didukung, tetapi lembaga anti rasuah itu dalam melaksanakan peran, selain tetap mengacu pada aturan hukum, juga perlu mempertimbangkan faktor lainnya yang dapat memicu munculnya masalah yang lebih besar.

Penetapan calon kepala daerah sebagai tersangka kasus korupsi dikhawatirkan dapat memicu terjadinya kegaduhan di masyarakat, yang bisa jadi akan berimbas terhadap kestabilan masyarakat, yang pada gilirannya akan menghambat kelancaran pesta demokrasi pilkada.

Selain itu, King Faisal mengkhawatirkan langkah KPK menetapkan calon kepala daerah sebagai tersangka kasus korupsi akan memunculkan presepsi bahwa KPK telah menjadi alat politik pihak tertentu untuk menjegal calon kepala daerah tertentu.

Presepsi seperti itu jika meluas di masyarakat sudah pasti akan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap KPK yang selama ini justru menjadi benteng bagi KPK dalam menghadapi berbagai upaya yang ingin melemahkan perannya.

Penetapan tersangka korupsi terhadap calon kepala daerah seharusnya dilakukan setelah pengumutan suara, karena langkah seperti itu tidak melanggar hukum, apalagi alasannya untuk mencegah kegaduhan di masyarakat dalam menghadapi pilkada.

King Faisal sangat setuju dengan imbauan Menkopolhulkam, Wiranto kepada KPK untuk menunda penetapan tersangka terhadap calon kepala daerah yang diduga terlibat korupsi, karena imbauan itu bukan sebagai bentuk intervensi terhadap KPK dalam menangani kasus korupsi.

Imbauan itu tidak hanya bermaksud mencegah kegaduhan di masyarakat, juga untuk menjamin hak demokrasi para calon kepala daerah, karena kalau mereka ditetapkan sebagai tersangka saat masih menjadi calon kepala daerah akan mengakibatkan elektabilitas merosot, padahal secara hukum ia belum tentu terbukti melakukan korupsi.

Usulan KPK agar Presiden mengeluarkan Perppu untuk mengganti calon kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi juga dinilai bukan sebagai solusi yang bijak, karena calon kepala daerah yang akan dipilih sebagai pengganti dirugikan karena tidak memiliki waktu yang luang untuk melakukan sosialisasi.

KPK sebaiknya mengikuti kesepakatan bersama antara Kejaksanaan Agung, Polri dan Kemendagri untuk menunda penanganan calon kepala daerah yang terlibat korupsi sampai selesai pilkada, karena menurut King Faisal kesepakatan itu lebih banyak manfaatnya daripada mudaratnya.

Namun terlepas dari semua itu langkah KPK yang menetapkan calon kepala daerah sebagai tersangka korupsi harus menjadi pelajaran bagi partai politik agar kedepannya ketika akan mengusung calon kepala daerah jangan hanya melihat tingkat elektabilitasnya, tetapi juga menelesuri apakah yang bersangkutan memiliki keterkaitan dengan kasus korupsi atau tidak.

Pewarta: *

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2018