DPRD Maluku menilai ada kerancuan produk hukum antara putusan Mahkamah Konstitusi dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri dalam menetapkan batas wilayah antara Maluku Tengah selaku kabupaten induk dengan Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB).sebagai wilayah pemekarannya.

"Sebenarnya untuk persoalan Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat itu rancu dalam produk hukumnya," kata Ketua Komisi A DPRD Maluku, Melki Frans di Ambon, Selasa.

Yang namanya keputusan MK itu sifatnya sebagai pengganti Undang-Undang dan otomatis putusan itu wajib ditindaklanjuti oleh DPR RI dan Menteri Dalam Negeri dalam rangka perubahan status Desa Samasuru dan Wasia-Sananahu di wilayah perbatasan Malteng-SBB.

Menurut dia, tidak ada yang lebih tinggi dari keputusan MK, kecuali UUD 1945 karena MK mengadili UU yang terkait dengan UUD dan MA mengadili produk hukum di bawah UU termasuk Per Menteri.

Jadi kalau produk UU sudah diputuskan MK maka itu juga adalah UU, dan tidak ada keputusan MK yang bisa dibatalkan oleh lembaga mana pun di negara ini, kecuali Perppu dan itu pun dalam situasi tertentu.

Kondisi ini diperburuk lagi dengan Permendagri yang mengatur tentang perbatasan wilayah antara dua kabupaten tersebut.

"Atas dasar Permendagri itu lalu Pemkab Malteng mengajukan gugatan lagi ke Mahkamah Agung dan menguatkan Permendagri Nomor 29 Tahun 2010 desa-desa tersebut masuk wilayah Kabupaten SBB," tandasnya.

Sehingga lembaga-lembaga hukum dan peradilan tertinggi di republik ini justeru membuat daerah pusing dengan keputusan yang dikeluarkan, terutama gubernur dan dua bupati.

"Jadi kalau ada upaya Pemkab Malteng untuk menggugat kembali keputusan MK, saya pikir mereka bisa menang, namun untuk sementara waktu sampai hari ini mengingat wilayah itu masih diakui status pemerintahannya oleh Mendagri adalah milik Pemkab SBB, maka proses pemilu harus dijalankan oleh SBB," jelas Melki Frans.

Dalam hasil pengawasan komisi A ke Kabupaten SBB, maka sudah jelas masyarakat Desa Samasuru dan Wasia-Sanahu terdaftar di kabupaten tersebut dan proses pemilu akan berjalan di sana, sehingga Pemkab Malteng diminta untuk tidak mengganggu status daerah dan masyarakatnya sampai proses proses pemilu ini berakhir.

Nantinya setelah proses pemilu 2019 selesai, maka Pemkab Malteng silahkan melakukan gugatan lagi.

"Menurut pandangan saya pribadi, keputusan MK itu adalah UU dan mestinya terjadi perubahan setelah ditetapkan, artinya Mendagri harus membatalkan peraturannya tentang batas wilayah SBB-Malteng sesuai UU nomor nomor 40 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten SBB dan Kabupaten Kepulauan Aru secara bersamaan yang menempatkan batas wilayah SBB-Malteng di Sungai Mala," tegasnya.

Karena putusan MK nomor 123/PUU-VII/2009 tanggal 2 Februari 2010 yang mengatakan batas wilayah dua kabupaten ini berada di Sungan Tala.

Putusan MK bisa dijadikan rujukan dan UU tentang pembentukan daerah otonom baru Kabupaten SBB dengan batas-batas wilayah antara batang tubuh dengan lampiran yang tidak sinkron harus disesuaikan berdasarkan putusan dimaksud.

Bahwa keputusan Mendagri yang mengarah kepemilikan wilayah di Kabupaten SBB harus dibatalkan, dan lebih parah lagi Mahkamah Agung RI memperkuat putusan Mendagri sehingga terjadi kerancuan yang menguras habis energi.

"Kalau saya jadi anggota DPR RI maka itu menjadi agenda utama yang akan dibicarakan, dan herannya kenapa tidak diperjuangkan secara keras oleh para wakil rakyat asal Maluku yang ada di Jakarta," ujarnya.

Sebab sebagian warga pada desa di wilayah perbatasan ini juga bingung mau ikut pemilu di Kabupaten SBB karena sudah terdaftar di sana, tetapi ada yang memiliki Kartu Tanda Penduduk Elektronik yang dikeluarkan Pemkab Malteng.
 

Pewarta: Daniel Leonard

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019