Duta Besar RI untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel di Jarwal, Mekkah, Kamis, mengakui agak tersinggung ketika ada yang disebutnya menyerobot doa dalam prosesi pemakaman KH Maimoen Zubair di Pemakaman Ma’la.
“Kami agak tersinggung kalau dalam pemakaman Mbah Moen tiba-tiba ada yang menyerobot sebuah doa, ini agak sensitif bagi saya karena ini terkait dengan prasasti kesejarahan masa lalu,” kata Maftuh dalam sambutan acara Silaturahim NU Sedunia ke-18 di Altayseer Towers Hotel No. 1002 Lantai PR, At Taysir, Mekkah Al Mukarramah.
Ia mengatakan, rangkaian prosesi dari mulai pengurusan jenazah, penghormatan terakhir, hingga pemakaman di Ma’la untuk kiai asal Rembang itu merupakan “gawe” Kedutaan Besar RI untuk Arab Saudi dan Konsulat Jenderal RI Jeddah sebagai perwakilan Pemerintah Indonesia di Arab Saudi.
Untuk itu setengah bercanda di hadapan para nahdliyin termasuk tokoh ulama dan pejabat yang hadir di acara tersebut ia berkelakar jika ingin ada yang memanjatkan doa untuk Mbah Moen di tempat pemakaman harus izin kepada pihaknya terlebih dahulu.
“Yang punya gawe kemarin KBRI dan KJRI jadi kalau ada yang mau doa harus izin kita,” kata Agus Maftuh setengah berkelakar.
Agus mengaku sempat tidak bisa tidur lantaran mendapatkan berbagai macam tekanan dari persoalan pemimpin doa yang memang terlanjur viral di Tanah Air tersebut.
Ia kemudian mengisahkan bagaimana mengatasi kegalauan hatinya tersebut dalam forum yang dihadiri para kiai berpengaruh tersebut.
“Mohon maaf saya semalam tidak bisa tidur, lelah banget. Istri saya tahu persis, saya tidak bisa tidur karena teringat ucapan Umar bin Khattab ketika memberikan brief kepada gubernur-gubernurnya bahwa kembali ke sebuah kebenaran yang terang benderang lebih baik daripada tenggelam dalam ketidakpastian,” katanya.
Agus Maftuh menegaskan ia harus bicara dengan tegas karena secara pribadi pun memiliki hubungan khusus dengan Mbah Moen.
“Lewat emak saya dan istri Mbah Moen yang sama-sama tukang masak di Pondok Pesantren Al Hidayat Lasem,” katanya.
Selain itu, kata dia, Mbah Moen pada 1960 ketika pertama kali mendirikan Pondok Pesantren di Sarang, memiliki santri pertama bernama Abdul Rosyid seorang tukang jam yang merupakan ayah dari Agus Maftuh.
Agus bercerita tentang malam ketika ia sowan sebelum Mbah Moen meninggal, bahkan Mbah Moen sudah bisa meramalkan kematiannya dan banyak bercerita tentang masa lalu soal hubungan dengan Agus Maftuh.
“Kang Maftuh, bapak sampeyan itu tukang jam kalau duit habis, dia muter Sarang benerin jam orang-orang. Saat dapat duit dipakai untuk beli beras kemudian ke tempat saya untuk ngaji. Bapakmu fanatik sama saya. Begitu diceritakan Mbah Moen karena itu akhirnya bapak saya diangkat jadi santri beliau,” kata Agus menirukan kata-kata Mbah Moen kepadanya.
Agus Maftuh mengatakan ia mengajak anak dan istrinya menemui Mbah Moen pada Senin malam atau malam sebelum Mbah Moen berpulang.
Ia menceritakan Mbah Moen sempat mengatakan padanya bahwa Agus Maftuh adalah tamunya yang terakhir.
“Kata-kata terakhir itu bahkan sampai diulang dua kali oleh Mbah Moen,” katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019
“Kami agak tersinggung kalau dalam pemakaman Mbah Moen tiba-tiba ada yang menyerobot sebuah doa, ini agak sensitif bagi saya karena ini terkait dengan prasasti kesejarahan masa lalu,” kata Maftuh dalam sambutan acara Silaturahim NU Sedunia ke-18 di Altayseer Towers Hotel No. 1002 Lantai PR, At Taysir, Mekkah Al Mukarramah.
Ia mengatakan, rangkaian prosesi dari mulai pengurusan jenazah, penghormatan terakhir, hingga pemakaman di Ma’la untuk kiai asal Rembang itu merupakan “gawe” Kedutaan Besar RI untuk Arab Saudi dan Konsulat Jenderal RI Jeddah sebagai perwakilan Pemerintah Indonesia di Arab Saudi.
Untuk itu setengah bercanda di hadapan para nahdliyin termasuk tokoh ulama dan pejabat yang hadir di acara tersebut ia berkelakar jika ingin ada yang memanjatkan doa untuk Mbah Moen di tempat pemakaman harus izin kepada pihaknya terlebih dahulu.
“Yang punya gawe kemarin KBRI dan KJRI jadi kalau ada yang mau doa harus izin kita,” kata Agus Maftuh setengah berkelakar.
Agus mengaku sempat tidak bisa tidur lantaran mendapatkan berbagai macam tekanan dari persoalan pemimpin doa yang memang terlanjur viral di Tanah Air tersebut.
Ia kemudian mengisahkan bagaimana mengatasi kegalauan hatinya tersebut dalam forum yang dihadiri para kiai berpengaruh tersebut.
“Mohon maaf saya semalam tidak bisa tidur, lelah banget. Istri saya tahu persis, saya tidak bisa tidur karena teringat ucapan Umar bin Khattab ketika memberikan brief kepada gubernur-gubernurnya bahwa kembali ke sebuah kebenaran yang terang benderang lebih baik daripada tenggelam dalam ketidakpastian,” katanya.
Agus Maftuh menegaskan ia harus bicara dengan tegas karena secara pribadi pun memiliki hubungan khusus dengan Mbah Moen.
“Lewat emak saya dan istri Mbah Moen yang sama-sama tukang masak di Pondok Pesantren Al Hidayat Lasem,” katanya.
Selain itu, kata dia, Mbah Moen pada 1960 ketika pertama kali mendirikan Pondok Pesantren di Sarang, memiliki santri pertama bernama Abdul Rosyid seorang tukang jam yang merupakan ayah dari Agus Maftuh.
Agus bercerita tentang malam ketika ia sowan sebelum Mbah Moen meninggal, bahkan Mbah Moen sudah bisa meramalkan kematiannya dan banyak bercerita tentang masa lalu soal hubungan dengan Agus Maftuh.
“Kang Maftuh, bapak sampeyan itu tukang jam kalau duit habis, dia muter Sarang benerin jam orang-orang. Saat dapat duit dipakai untuk beli beras kemudian ke tempat saya untuk ngaji. Bapakmu fanatik sama saya. Begitu diceritakan Mbah Moen karena itu akhirnya bapak saya diangkat jadi santri beliau,” kata Agus menirukan kata-kata Mbah Moen kepadanya.
Agus Maftuh mengatakan ia mengajak anak dan istrinya menemui Mbah Moen pada Senin malam atau malam sebelum Mbah Moen berpulang.
Ia menceritakan Mbah Moen sempat mengatakan padanya bahwa Agus Maftuh adalah tamunya yang terakhir.
“Kata-kata terakhir itu bahkan sampai diulang dua kali oleh Mbah Moen,” katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019