Ada sesuatu yang tersembunyi di balik film Gundala karya terbaru sutradara Joko Anwar, padahal hal tersembunyi itu sesuatu yang penting. Oleh sebab itu, untuk dapat membaca film ini secara utuh, sesuatu yang tersembunyi tersebut perlu dibeberkan.
Sebagian besar penonton film Gundala akan melulu melihat film ini merupakan sebuah film penuh kekerasan fisik. Ini tidak salah.
Dari awal sampai akhir film memang berisi kekejaman, penganiayaan, siksaan, perkelahian dan pembunuhan. Kendati demikian, di balik begitu banyak kekerasan fisik, sebenarnya, film ini juga merupakan film kekerasan batin yang sangat mengiris dan menyayat.
Justeru kekerasan batin inilah yang dihadirkan lebih luluh lantak, dan dari kacamata ini, luka batin yang sedemikian nyerinya, lebih “mengerikan” dibanding dengan berbagai kekerasan fisik yang menyertainya.
Sejak kecil Sancaka (Muzakki Ramdhan) hidup dalam luka batin yang dalam. Jiwanya mengalami teror kekerasan yang luar biasa. Ayahnya (Rio Dewanto) yang dijadikan panutan, selalu mengajarkan,”Kalau ada ketidakadilan dan kita diam saja, kita bukan manusia lagi!” Nilai-nilai yang ditularkan dari “idolanya” ini, bersemayam kuat di hati Sancaka kecil.
Di lain pihak, Awang (Faris Fadjar), yang menolong dan menyelamatkan nyawanya, justru mengajarkan sebaliknya. ”Loe jangan suka ikut campur urusan orang lain, nanti loe jadi susah.” Dua “filosofi” yang bertentangan ini, membuatnya menjadi manusia yang labil. Ini membuat selama hidup Gundala (Abimana Aryasatya) atau Sancaka dewasa, lebih menyiksa ketimbang hajaran fisik yang menerpanya.
Sebelumnya, jiwa Sancaka sudah lebih dahulu dihajar kekerasan. Dia melihat dengan matanya, sang ayah terbunuh. Tapi waktu itu, bukan fisik Sancaka yang terkena kekerasan, tapi batin Sancakalah yang terhantam kekerasan dahsyat.
Kekerasan jiwa berikutnya dialami Sancaka sewaktu ditinggal ibunya (Marissa Anita). “Waktu kamu pulang sekolah nanti, ibu sudah siapkan makanan,” kata ibunya sebelum pergi. Namun ketika janji si ibu tidak ditepati, janji itu langsung merusak jiwa sang anak. Si ibu membuatnya sebatang kara.
“Dia meninggalkan saya!” katanya kepada Wulan (Tara Basa ) kenalan perempuannya, mengungkapkan lubuk hatinya.
Kisah berawal dari perjuangan Ayah Sancaka sebagai tokoh buruh. Dia dikhianati sesama buruh, lantas terbunuh dalam sebuah kerusuhan waktu demonstrasi buruh melawan pasukan para pengusaha. Kemudian untuk mencari penghasilan, ibu Sancaka harus terpencar dari anaknya, dan jadilah Sancaka anak jalanan sebatang kara.
Berumah atap langit, Sancaka mulai menjalani beratnya kehidupan jalanan. Sancaka bukan hanya melihat kekerasan jalanan, tetapi juga langsung mengalaminya. Dia hidup dikejar-kejar dan dianiaya kelompok-kelompok anak jalanan. Masih beruntung dia ditolong oleh Awang.
Setelah besar, Sancaka yang kemudian menjadi Gundala harus berhadapan dengan Pengkor, big boss mafia yang kejahatannya juga merangsek ke dalam dunia politik.
Tabiat Pengkor (Bront Palarae) bermula dari rasa sakit jiwanya diperlakukan dengan kejam di Panti Asuhan dan membuatnya tumbuh sebagai manusia sadis dan licik. Pengkorlah yang mengatur pemilik panti asuhan untuk disiksa dan menjadikan semua anak panti asuhan pasukannya.
Selain menyuguhkan kekerasan fisik, film berdurasi 123 menit ini secara paralel juga menampilkan persembunyian kekerasan terhadap jiwa-jiwa anak manusia yang kemudian diikuti berbagai kekerasan fisik. Kekerasan terhadap jiwa inilah yang nyaris tak “dibaca” oleh penonton kebanyakan.
Kuat dan matang
Melalui film yang diangkat dari karya komik Hasmi Suraminata yang terbit tahun 1969, sutradara Joko Anwar memproklamirkan diri. Bagi dirinya masalah teknikal film atau sinematografi bukan lagi persoalan, bahkan memakainya sebagai alat mencapai tujuan estetiknya. Rangkaian adegan ditata dengan apik: kuat, konsisten, pengambilan sudut kamera yang “indah,” sekaligus juga menawarkan “filosofis” menarik.
Adegan Sancaka setelah menendang rantang dan disusul merangkak meraba makanan yang diambil dengan sudut pandang dari belakang atas, bukan sekedar memperlihatkan dirinya sangat lapar, tapi sekaligus simbolisme betapa itulah nasibnya kelak: tertatih-tatih dan terhina menghadapi kesulitan hidup.
Pengambilan gambar dari belakang ketika Sancaka keluar dari rumah dengan latar pabrik juga menggambarkan kontras lingkungan di situ. Pabrik berdiri gagah perkasa, sementara lingkungan sekitar tempat tinggal para buruh yang begitu sederhana.
Demikian pula pengambilan gambar Sancaka melihat suatu peristiwa dari balik jendela kecil, memberi makna kepada kehidupan yang dijalaninya.
Film Gundala juga cukup banyak menghadirkan adegan lari. Dari mulai Sancaka kecil dikejar-kejar, hingga Sancaka harus berlari sekuat tenaga mengejar Awang untuk dapat ikut naik kereta bersamanya.
Adegan ini bukan cuma sekedar adegan tegang Sancaka mengejar Awang, tetapi juga bermakna terlepasnya satu episode kehidupan Sancaka dan dia harus masuk ke episode kehidupan baru.
Simbolisme seperti itu ditampilkan menyatu dalam satu kesatuan film, dan dengan satu tarikan nafas unsur cerita. Lari di film ini bukan sekedar hiasan pemanis film, namun “dibaca” sebagai salah satu pesan film.
Pada film Gundala sutradara lulusan ITB jurusan teknik penerbangan ini mendemonstrasikan, dia tidak hanya terampil secara teknikal, sesuatu yang sampai kini tetap masih menjadi masalah buat banyak sutradara lainnya, tetapi telah sampai pada estetika film.
Joko mengendalikan film dengan ukuran yang ketat, kuat dan menarik. Dia mampu membetot konsentrasi penonton dari awal sambil akhir untuk terus memelototi film.
Dengan begitu, lewat film ini Joko yang saat ini berusia 43 tahun, memproklamir diri masuk ke dalam daftar sutradara Indonesia, meminjam terminologi dari dunia olah raga, “peringkat super” dengan elo rating (metode menghitung tingkat keterampilan pemain) sangat tinggi. Demikian pula meminjam istilah manajemen, joko mencapai KPI (key performe indicator) yang juga sangat memuaskan.
Kritik Sosial
Kendati ini film kekerasan, tetapi Gundala juga menghadirkan kritik sosial. Adegan petugas pembagi obat buat ibu-ibu hamil yang dapat disogok oleh orang tertentu, menggambarkan realitas sehari-hari masyarakat kita yang masih mudah disuap. Di sini Joko seperti menyindir tanpa membuat marah.
Joko juga mengkritik masyarakat yang lebih suka ber-selfie ria atau mengambil gambar dari orang yang sedang memerlukan pertolongan, ketimbang berbuat konkret menolong yang membutuhkan pertolongan.
Adegan di sebuah apartemen ada korban yang dirampok di depan banyak orang, tetapi masyarakat malah mengambil gambar kejadian itu lewat telepon seluler dan bukan menolong, menyentil perilaku sehari-hari yang tidak peka dan sebaliknya suka pamer menyebarkan peristiwa menarik paling dulu.
Banyak perilaku anggota parlemen yang dikendalikan melalui remote control oleh orang yang membiayai masuk jadi anggota parlemen, juga merupakan kritik kepada kehidupan politik.
Cuma segelintir anggota parlemen yang benar-benar bekerja berdasarkan hati nuraninya. Selebihnya cuma memperhitungkan kepentingan diri dan kelompoknya atau orang yang membayarnya, tanpa peduli dengan kepentingan rakyat yang diwakilinya.
Kritik sosial ini sebenarnya keras, namun lantaran penyampaiannya sebagai bagian dari cerita dan dibalut sangat luwes, sehingga terasa sebagai teguran yang menyegarkan.
Adanya kritik sosial ini, meskipin sangat minim, membuat film tak melulu menjual adegan kekerasan melainkan juga menyentil secara halus. Hal ini perlu dicatat pula sebagai salah satu point lebih dari film ini.
Skenario yang ditulis sendiri oleh Joko Anwar memang kuat. Alur cerita, permasalahan dan karakteristik Gundala memungkinkan menjadi karya film yang menarik.
Meski memang benang merah film ini tetap sama dengan komik Gundala karya Hasmi, namun terdapat sejumlah penyesuaian latar belakang dan karakter tokoh. Joko Anwar berhasil memadukan penyesuian dari komiknya itu dengan lancar dan rapi.
Sebelumnya tahun 1981 dari komik yang sama juga pernah dibuat film dengan judul: Gundala Putra Petir disutradarai Lilik Sudjiu dengan bintang aktor kenamaan saat itu, Teddy Purba (Sancaka), Ami Prijono (Profesor Saelan), Anna Tairas (Minarti), dan W.D. Mochtar (Gazul). Versi film pertama bercerita tentang Sancaka dan Profesor Saelan yang berhasil menemukan serum antimorfin.
Pada film pertama kostum Gundala masih berwarna biru dengan kuping abu-abu dan sarung tangan merah. Film yang masih dibuat dengan sistem pita seleloit itu juga menampilkan banyak aksi laga. Skenaro Joko Anwar berhasil keluar dari imaji-imaji film Gundala pertama dan membentuk kisah dan karakter sendiri.
Peran editor (Dinda Amanda) sangat terasa pada film ini. Naik turun dramaturgi film disusun dengan apik. Penyambungan adegan sangat lancar dan tepat sasaran. Dengan begitu, irama film dan kelangsungan tetek bengek adegan dapat tersusun rapi dan buntutnya tentu saja “sedap” dinikmati.
Tentu tak perlu diragukan, di belakang itu, kemampuan penata kamera (Ical Tanjung) menghadirkan gambar-gambar bersih, dengan pelbagai angle yang menarik, menjadi salah satu dasar kekuatan film ini. Gambar tak hanya “bagus,” tapi juga memberikan arti.
Joko Anwar pada film ini menunjukkan kekuatannya menggarap akting para pemain filmnya. Pada kebanyakan film Indonesia, fokus sutradara biasanya hanya tertuju kepada akting beberapa pemainya saja, terutama pemain-pemain utama atau pemain “kesayangannya”.
Walhasil, sering kali akting segelintir tokoh utamanya bagus, tetapi sebagian besar lainnya “kedodoran,” sehingga menciptakan kejomplangan akting antara pemain pada satu film.
Hal itu jelas sangat mengganggu. Pada film Gundala, Joko terhindar dari hal semacam itu. Semua pemain, dapat diarahkan menampilkan akting yang sesuai tuntutan cerita.
Peran Sancaka kecil dapat dibawakan dengan penjiwaan anak kecil yang penuh penderitaan secara pas. Peran ini dilanjutkan dengan baik pula oleh Gundala sebagai Sancaka besar. Ekspresi Gundala yang “dingin” lantaran pergumulan batinnya selama ini, berhasil memberikan tafsir yang cocok.
Tak hanya itu gerakan-gerakan perkelahian pun ditata dengan baik. Kentara sekali tendangan, pukulan, menyerang, menangkis, mengelak dan sebagainya, aliran bela diri manapun yang dipakai, dilakukan dengan gerakan-gerakan benar, tidak sekedar apa adanya.
Ini bukan lantaran sejak kecil joko sudah senang menonton film-film laga tapi memang setiap adegan laga perkelahian digarap dengan serius dan cermat.
*) Wina Armada Sukardi adalah Kritikus Film
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019
Sebagian besar penonton film Gundala akan melulu melihat film ini merupakan sebuah film penuh kekerasan fisik. Ini tidak salah.
Dari awal sampai akhir film memang berisi kekejaman, penganiayaan, siksaan, perkelahian dan pembunuhan. Kendati demikian, di balik begitu banyak kekerasan fisik, sebenarnya, film ini juga merupakan film kekerasan batin yang sangat mengiris dan menyayat.
Justeru kekerasan batin inilah yang dihadirkan lebih luluh lantak, dan dari kacamata ini, luka batin yang sedemikian nyerinya, lebih “mengerikan” dibanding dengan berbagai kekerasan fisik yang menyertainya.
Sejak kecil Sancaka (Muzakki Ramdhan) hidup dalam luka batin yang dalam. Jiwanya mengalami teror kekerasan yang luar biasa. Ayahnya (Rio Dewanto) yang dijadikan panutan, selalu mengajarkan,”Kalau ada ketidakadilan dan kita diam saja, kita bukan manusia lagi!” Nilai-nilai yang ditularkan dari “idolanya” ini, bersemayam kuat di hati Sancaka kecil.
Di lain pihak, Awang (Faris Fadjar), yang menolong dan menyelamatkan nyawanya, justru mengajarkan sebaliknya. ”Loe jangan suka ikut campur urusan orang lain, nanti loe jadi susah.” Dua “filosofi” yang bertentangan ini, membuatnya menjadi manusia yang labil. Ini membuat selama hidup Gundala (Abimana Aryasatya) atau Sancaka dewasa, lebih menyiksa ketimbang hajaran fisik yang menerpanya.
Sebelumnya, jiwa Sancaka sudah lebih dahulu dihajar kekerasan. Dia melihat dengan matanya, sang ayah terbunuh. Tapi waktu itu, bukan fisik Sancaka yang terkena kekerasan, tapi batin Sancakalah yang terhantam kekerasan dahsyat.
Kekerasan jiwa berikutnya dialami Sancaka sewaktu ditinggal ibunya (Marissa Anita). “Waktu kamu pulang sekolah nanti, ibu sudah siapkan makanan,” kata ibunya sebelum pergi. Namun ketika janji si ibu tidak ditepati, janji itu langsung merusak jiwa sang anak. Si ibu membuatnya sebatang kara.
“Dia meninggalkan saya!” katanya kepada Wulan (Tara Basa ) kenalan perempuannya, mengungkapkan lubuk hatinya.
Kisah berawal dari perjuangan Ayah Sancaka sebagai tokoh buruh. Dia dikhianati sesama buruh, lantas terbunuh dalam sebuah kerusuhan waktu demonstrasi buruh melawan pasukan para pengusaha. Kemudian untuk mencari penghasilan, ibu Sancaka harus terpencar dari anaknya, dan jadilah Sancaka anak jalanan sebatang kara.
Berumah atap langit, Sancaka mulai menjalani beratnya kehidupan jalanan. Sancaka bukan hanya melihat kekerasan jalanan, tetapi juga langsung mengalaminya. Dia hidup dikejar-kejar dan dianiaya kelompok-kelompok anak jalanan. Masih beruntung dia ditolong oleh Awang.
Setelah besar, Sancaka yang kemudian menjadi Gundala harus berhadapan dengan Pengkor, big boss mafia yang kejahatannya juga merangsek ke dalam dunia politik.
Tabiat Pengkor (Bront Palarae) bermula dari rasa sakit jiwanya diperlakukan dengan kejam di Panti Asuhan dan membuatnya tumbuh sebagai manusia sadis dan licik. Pengkorlah yang mengatur pemilik panti asuhan untuk disiksa dan menjadikan semua anak panti asuhan pasukannya.
Selain menyuguhkan kekerasan fisik, film berdurasi 123 menit ini secara paralel juga menampilkan persembunyian kekerasan terhadap jiwa-jiwa anak manusia yang kemudian diikuti berbagai kekerasan fisik. Kekerasan terhadap jiwa inilah yang nyaris tak “dibaca” oleh penonton kebanyakan.
Kuat dan matang
Melalui film yang diangkat dari karya komik Hasmi Suraminata yang terbit tahun 1969, sutradara Joko Anwar memproklamirkan diri. Bagi dirinya masalah teknikal film atau sinematografi bukan lagi persoalan, bahkan memakainya sebagai alat mencapai tujuan estetiknya. Rangkaian adegan ditata dengan apik: kuat, konsisten, pengambilan sudut kamera yang “indah,” sekaligus juga menawarkan “filosofis” menarik.
Adegan Sancaka setelah menendang rantang dan disusul merangkak meraba makanan yang diambil dengan sudut pandang dari belakang atas, bukan sekedar memperlihatkan dirinya sangat lapar, tapi sekaligus simbolisme betapa itulah nasibnya kelak: tertatih-tatih dan terhina menghadapi kesulitan hidup.
Pengambilan gambar dari belakang ketika Sancaka keluar dari rumah dengan latar pabrik juga menggambarkan kontras lingkungan di situ. Pabrik berdiri gagah perkasa, sementara lingkungan sekitar tempat tinggal para buruh yang begitu sederhana.
Demikian pula pengambilan gambar Sancaka melihat suatu peristiwa dari balik jendela kecil, memberi makna kepada kehidupan yang dijalaninya.
Film Gundala juga cukup banyak menghadirkan adegan lari. Dari mulai Sancaka kecil dikejar-kejar, hingga Sancaka harus berlari sekuat tenaga mengejar Awang untuk dapat ikut naik kereta bersamanya.
Adegan ini bukan cuma sekedar adegan tegang Sancaka mengejar Awang, tetapi juga bermakna terlepasnya satu episode kehidupan Sancaka dan dia harus masuk ke episode kehidupan baru.
Simbolisme seperti itu ditampilkan menyatu dalam satu kesatuan film, dan dengan satu tarikan nafas unsur cerita. Lari di film ini bukan sekedar hiasan pemanis film, namun “dibaca” sebagai salah satu pesan film.
Pada film Gundala sutradara lulusan ITB jurusan teknik penerbangan ini mendemonstrasikan, dia tidak hanya terampil secara teknikal, sesuatu yang sampai kini tetap masih menjadi masalah buat banyak sutradara lainnya, tetapi telah sampai pada estetika film.
Joko mengendalikan film dengan ukuran yang ketat, kuat dan menarik. Dia mampu membetot konsentrasi penonton dari awal sambil akhir untuk terus memelototi film.
Dengan begitu, lewat film ini Joko yang saat ini berusia 43 tahun, memproklamir diri masuk ke dalam daftar sutradara Indonesia, meminjam terminologi dari dunia olah raga, “peringkat super” dengan elo rating (metode menghitung tingkat keterampilan pemain) sangat tinggi. Demikian pula meminjam istilah manajemen, joko mencapai KPI (key performe indicator) yang juga sangat memuaskan.
Kritik Sosial
Kendati ini film kekerasan, tetapi Gundala juga menghadirkan kritik sosial. Adegan petugas pembagi obat buat ibu-ibu hamil yang dapat disogok oleh orang tertentu, menggambarkan realitas sehari-hari masyarakat kita yang masih mudah disuap. Di sini Joko seperti menyindir tanpa membuat marah.
Joko juga mengkritik masyarakat yang lebih suka ber-selfie ria atau mengambil gambar dari orang yang sedang memerlukan pertolongan, ketimbang berbuat konkret menolong yang membutuhkan pertolongan.
Adegan di sebuah apartemen ada korban yang dirampok di depan banyak orang, tetapi masyarakat malah mengambil gambar kejadian itu lewat telepon seluler dan bukan menolong, menyentil perilaku sehari-hari yang tidak peka dan sebaliknya suka pamer menyebarkan peristiwa menarik paling dulu.
Banyak perilaku anggota parlemen yang dikendalikan melalui remote control oleh orang yang membiayai masuk jadi anggota parlemen, juga merupakan kritik kepada kehidupan politik.
Cuma segelintir anggota parlemen yang benar-benar bekerja berdasarkan hati nuraninya. Selebihnya cuma memperhitungkan kepentingan diri dan kelompoknya atau orang yang membayarnya, tanpa peduli dengan kepentingan rakyat yang diwakilinya.
Kritik sosial ini sebenarnya keras, namun lantaran penyampaiannya sebagai bagian dari cerita dan dibalut sangat luwes, sehingga terasa sebagai teguran yang menyegarkan.
Adanya kritik sosial ini, meskipin sangat minim, membuat film tak melulu menjual adegan kekerasan melainkan juga menyentil secara halus. Hal ini perlu dicatat pula sebagai salah satu point lebih dari film ini.
Skenario yang ditulis sendiri oleh Joko Anwar memang kuat. Alur cerita, permasalahan dan karakteristik Gundala memungkinkan menjadi karya film yang menarik.
Meski memang benang merah film ini tetap sama dengan komik Gundala karya Hasmi, namun terdapat sejumlah penyesuaian latar belakang dan karakter tokoh. Joko Anwar berhasil memadukan penyesuian dari komiknya itu dengan lancar dan rapi.
Sebelumnya tahun 1981 dari komik yang sama juga pernah dibuat film dengan judul: Gundala Putra Petir disutradarai Lilik Sudjiu dengan bintang aktor kenamaan saat itu, Teddy Purba (Sancaka), Ami Prijono (Profesor Saelan), Anna Tairas (Minarti), dan W.D. Mochtar (Gazul). Versi film pertama bercerita tentang Sancaka dan Profesor Saelan yang berhasil menemukan serum antimorfin.
Pada film pertama kostum Gundala masih berwarna biru dengan kuping abu-abu dan sarung tangan merah. Film yang masih dibuat dengan sistem pita seleloit itu juga menampilkan banyak aksi laga. Skenaro Joko Anwar berhasil keluar dari imaji-imaji film Gundala pertama dan membentuk kisah dan karakter sendiri.
Peran editor (Dinda Amanda) sangat terasa pada film ini. Naik turun dramaturgi film disusun dengan apik. Penyambungan adegan sangat lancar dan tepat sasaran. Dengan begitu, irama film dan kelangsungan tetek bengek adegan dapat tersusun rapi dan buntutnya tentu saja “sedap” dinikmati.
Tentu tak perlu diragukan, di belakang itu, kemampuan penata kamera (Ical Tanjung) menghadirkan gambar-gambar bersih, dengan pelbagai angle yang menarik, menjadi salah satu dasar kekuatan film ini. Gambar tak hanya “bagus,” tapi juga memberikan arti.
Joko Anwar pada film ini menunjukkan kekuatannya menggarap akting para pemain filmnya. Pada kebanyakan film Indonesia, fokus sutradara biasanya hanya tertuju kepada akting beberapa pemainya saja, terutama pemain-pemain utama atau pemain “kesayangannya”.
Walhasil, sering kali akting segelintir tokoh utamanya bagus, tetapi sebagian besar lainnya “kedodoran,” sehingga menciptakan kejomplangan akting antara pemain pada satu film.
Hal itu jelas sangat mengganggu. Pada film Gundala, Joko terhindar dari hal semacam itu. Semua pemain, dapat diarahkan menampilkan akting yang sesuai tuntutan cerita.
Peran Sancaka kecil dapat dibawakan dengan penjiwaan anak kecil yang penuh penderitaan secara pas. Peran ini dilanjutkan dengan baik pula oleh Gundala sebagai Sancaka besar. Ekspresi Gundala yang “dingin” lantaran pergumulan batinnya selama ini, berhasil memberikan tafsir yang cocok.
Tak hanya itu gerakan-gerakan perkelahian pun ditata dengan baik. Kentara sekali tendangan, pukulan, menyerang, menangkis, mengelak dan sebagainya, aliran bela diri manapun yang dipakai, dilakukan dengan gerakan-gerakan benar, tidak sekedar apa adanya.
Ini bukan lantaran sejak kecil joko sudah senang menonton film-film laga tapi memang setiap adegan laga perkelahian digarap dengan serius dan cermat.
*) Wina Armada Sukardi adalah Kritikus Film
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019