Jakarta (ANTARA) - Industri perfilman Indonesia semakin menunjukkan kekuatannya, karya-karya sineas anak bangsa pun tak sedikit yang mendapat pengakuan dari luar negeri, salah satunya adalah "Gundala" yang berhasil masuk dalam ajang Toronto International Film Festival 2019 dan menjadi angin segar untuk perfilman Tanah Air.
Hadirnya "Gundala" dalam festival film dunia bisa dibilang yang pertama kalinya bagi perfilman Indonesia dengan latar belakang cerita superhero, tentu hal tersebut akan menjadi sebuah gerbang pembuka bagi film lain khususnya dengan tema serupa.
Artinya, secara kualitas Indonesia mulai mampu bersaing dengan film-film luar, meski perlu proses untuk menandingi superhero Marvel.
Peluang film Indonesia di kancah internasional
Production Manager BumiLangit Studios, perusahaan yang menaungi "Gundala", Imansyah Lubis, percaya bahwa pahlawan lokal Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk menuju Hollywood.
Dengan diterimanya "Gundala" di festival film internasional, hal ini akan menjadi pemantik bagi superhero lain untuk melakukan kesuksesan yang sama.
Menurut Imansyah, di Indonesia sesama pemilik IP (Intellectual Property atau karya) saling mendukung dan bukan menjadikan pesaing.
"Enggak ada yang langsung memang (menandingi Marvel), masih terlalu dini kalau bilang bisa menyaingi pendapatan "Avengers: Endgame", tapi kita sudah berusaha bikin film sebaik-baiknya. Semoga "Gundala" disukai dan ini baru awalnya," kata Imansyah kepada Antara belum lama di Jakarta.
Indonesia memiliki beberapa film yang kualitasnya diakui oleh dunia internasional seperti "Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak" yang meraih banyak apresiasi di festival film dunia seperti Cannes Film Festival pada 2017 dan Festival International de Films de Femmes de Créteil 2018.
Film arahan Mouly Surya ini juga meraih penghargaan Asian World Film Festival (AWFF) 2018 yang berlangsung di Culver City, California, AS dan mewakili Indonesia di Academy Awards 2019 untuk kategori Best Foreign Languange.
Karya sineas Tanah Air yang juga mendapat respon positif dunia internasional adalah "The Night Comes For Us" yang disutradarai oleh Timo Tjahjanto. Film ini merupakan film Indonesia pertama yang masuk Netflix. Belum lagi ulasan positif dalam world premiere di Fantastic Festival 2018.
"Gundala" bukan film superhero pertama Indonesia
Film arahan Joko Anwar itu, sebenarnya bukan satu-satunya film superhero lokal yang akan menembus pasar internasional.
Jika diingat, sebelumnya ada film "Wiro Sableng" produksi Lifelike Pictures bekerja sama dengan FOX International Production yang merupakan rumah produksi raksasa di Hollywood.
Tidak hanya satu film, "Wiro Sableng" pun akan hadir dalam tiga seri di mana saat ini pihak Lifelike Pictures sedang menggodok untuk seri keduanya.
Berbicara soal film superhero, Satria Dewa Studio juga sedang menyiapkan seri film "Jagad Satria Dewa". Seperti halnya Marvel Cinematic Universe yang memiliki puluhan film seperti "Iron Man", "Thor", "Guardians of the Galaxy" hingga yang terbaru "Avengers: Endgame", Rene Ishak selaku produser juga telah menyiapkan pahlawan super lokal yang rencananya terdiri dari delapan film.
Debut perdananya akan dimulai dengan "Satria Dewa: Gatotkaca" yang diharapkan tayang pada 2020, "Satria Dewa: Arjuna", "Yudhistira", "Bima", "Nakula Sadewa", "Srikandi" dan diakhiri dengan "Battle of Kurukshetra" yang merupakan sebuah pertandingan sengit antara para Pandawa dan Kurawa.
"Harusnya "Wiro Sableng" kemarin bisa menjadi kunci pembuka masuk ke universinya. Saya berharap bisa banyak lagi yang kayak "Wiro Sableng", genre silat fantasi, ingin silat lebih bagus karena ceritanya banyak banget enggak akan habis. Karena dari dilu ada dari "Brama Kumbara", sandiwara radio yang dibikin film," jelas Imansyah.
Tantangan menggarap film pahlawan super
Imansyah tidak menampik bahwa membuat film pahlawan super dibutuhkan keberanian yang besar, sebab dari proses praproduksi hingga pascaproduksi sangat berbeda dengan genre drama dan komedi. Belum lagi risiko besar di tengah penggarapan film seperti dana yang kurang atau investor yang pergi.
"Bikin film gini budget-nya hampir pasti lebih mahal dibanding drama pada umumnya. Sponsor juga begitu. Mereka mungkin agak deg-degan mau sponsorin film sueperhero sejenis karena untuk yang sekarang "Gundala" kan jadi pionir, ini akan menetapkan standard baru, jadi pada nungguin kalau "Gundala" sukses mau sponsori," ujar Imansyah.
Tak hanya itu, Imansyah juga sadar bahwa sumber daya manusia (SDM) di Indonesia khususnya yang berkecimpung di industri film sangatlah sedikit. Menurut Imansyah, kemungkinan banyak yang belum berani untuk mengambil keputusan membuat film yang berbeda.
"Padahal harusnya ada generasi baru yang siap mengisi. Kalau dulu ada sekolah film di IKJ doang, ada ISI lagi naik, kursus yang bukan kuliah tapi spesialis, harusnya SDM perfilman memang makin banyak," jelas Imansyah.
"Gundala" sendiri rencananya akan tayang pada 29 Agustus 2019. Film ini merupakan hasil garapan dari Bumilangit Studios, Screenplay Films bekerja sama dengan Legacy Pictures dan Ideosource Entertainment.
Selain "Gundala", Bumilangit Studio juga akan menggarap film "Si Buta dari Gua Hantu" karya sutradara Timo Tjahjanto.
"Lagi siap-siap preparation ("Si Buta dari Gua Hantu"), harusnya Oktober sudah mulai syuting. Timo asyik, memang suka banget komik, film, dia juga peduli banget sama sesuatu yang tampak di layar harus keren, percayalah sama Timo," tutup Imansyah.
Beban "Gundala" tolok ukur sukses film superhero lokal
Senin, 12 Agustus 2019 13:34 WIB