Organisasi nirlaba Aksi Cepat Tanggap (ACT) berencana membangun tempat penampungan sementara atau shelter yang memiliki ketahanan selama lima hingga 10 tahun, bagi para pengungsi korban terdampak gempa tektonik magnitudo 6,5 yang mengguncang Pulau Ambon dan sekitarnya.
"Untuk emergensi tensinya mulai kita turunkan, kita akan mencoba memulai interaksi untuk pembangunan shelter, jadi proses komunikasi dengan pengungsi lebih ditonjolkan pada tahap pemulihan," kata Direktur Komunikasi ACT Lukman Azis saat dihubungi dari Ambon, Minggu.
Ia mengatakan pembangunan shelter saat ini masih dikoordinasikan, karena harus menunggu hasil "assessment" terkait lokasi pembangunan shelter oleh tim ACT yang masih terus melakukan aksi kemanusiaan di lokasi-lokasi terdampak gempa.
Desa Liang, Kecamatan Salahutu (Pulau Ambon), Kabupaten Maluku Tengah yang terdampak parah gempa pada 26 September lalu, adalah salah satu wilayah yang akan dibangun shelter.
"Daerah dengan kehancuran bangunan cukup masif akan dibangun shelter, dari assessment yang tim lakukan bisa diketahui daerah mana saja. Di Liang pasti akan dibangun, cuma titiknya masih dikomunikasikan," ujarnya.
Menurut Lukman, ada dua konsep shelter yang memiliki ketahanan selama lima hingga 10 tahun yang akan dibangun oleh ACT di wilayah-wilayah terdampak parah gempa, yakni integrated community shelter dan family shelter.
Integrated community shelter adalah konsep penampungan yang terintegrasi dengan berbagai fasilitas pendukung lainnya, seperti sekolah darurat, dapur umum, sarana ibadah, mandi cuci kakus (MCK) dan arena bermain anak dalam satu komplek atau lokasi.
Sedangkan family shelter adalah konsep penampungan di mana per kepala keluarga dibangunkan rumah tinggal sementara di samping rumahnya yang rusak.
Untuk membangun satu integrated community shelter, kata dia dibutuhkan lokasi tanah lapang yang cukup luas dengan tingkat kemiringan yang memadai dan tidak berpotensi longsor, agar bisa digunakan lebih lama oleh para pengungsi.
"Family shelter lebih kepada perorangan, sedangkan integrated community shelter harus ada tanah lapang yang luas karena kita memperhitungkan juga tingkat kemiringan dan sebagainya, karena konstruksinya akan dipastikan aman, tidak berpotensi longsor," imbuh Lukman.
ACT diketahui mulai melaksanakan aksi kemanusiaan untuk pengungsi gempa Ambon dengan membangun posko-posko bantuan dan dapur umum juga menurunkan tim medisnya, dua hari pascagempa bumi mengguncang Pulau Ambon dan sekitarnya.
Tercatat hingga saat ini sudah ada enam posko ACT yang tersebar, yakni satu posko induk di Desa Nania, satu posko wilayah di Suli, Kecamatan Salahutu (Pulau Ambon) dan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, serta Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat.
Sementara untuk posko logistik ditempatkan di Desa Liang dan Kabupaten Seram Bagian Barat. Sedangkan untuk dapur umum, sedikitnya sudah ada lima dapur umum yang dibangun tersebar berbagai lokasi pengungsian di wilayah Seram Bagian Barat dan Maluku Tengah.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019
"Untuk emergensi tensinya mulai kita turunkan, kita akan mencoba memulai interaksi untuk pembangunan shelter, jadi proses komunikasi dengan pengungsi lebih ditonjolkan pada tahap pemulihan," kata Direktur Komunikasi ACT Lukman Azis saat dihubungi dari Ambon, Minggu.
Ia mengatakan pembangunan shelter saat ini masih dikoordinasikan, karena harus menunggu hasil "assessment" terkait lokasi pembangunan shelter oleh tim ACT yang masih terus melakukan aksi kemanusiaan di lokasi-lokasi terdampak gempa.
Desa Liang, Kecamatan Salahutu (Pulau Ambon), Kabupaten Maluku Tengah yang terdampak parah gempa pada 26 September lalu, adalah salah satu wilayah yang akan dibangun shelter.
"Daerah dengan kehancuran bangunan cukup masif akan dibangun shelter, dari assessment yang tim lakukan bisa diketahui daerah mana saja. Di Liang pasti akan dibangun, cuma titiknya masih dikomunikasikan," ujarnya.
Menurut Lukman, ada dua konsep shelter yang memiliki ketahanan selama lima hingga 10 tahun yang akan dibangun oleh ACT di wilayah-wilayah terdampak parah gempa, yakni integrated community shelter dan family shelter.
Integrated community shelter adalah konsep penampungan yang terintegrasi dengan berbagai fasilitas pendukung lainnya, seperti sekolah darurat, dapur umum, sarana ibadah, mandi cuci kakus (MCK) dan arena bermain anak dalam satu komplek atau lokasi.
Sedangkan family shelter adalah konsep penampungan di mana per kepala keluarga dibangunkan rumah tinggal sementara di samping rumahnya yang rusak.
Untuk membangun satu integrated community shelter, kata dia dibutuhkan lokasi tanah lapang yang cukup luas dengan tingkat kemiringan yang memadai dan tidak berpotensi longsor, agar bisa digunakan lebih lama oleh para pengungsi.
"Family shelter lebih kepada perorangan, sedangkan integrated community shelter harus ada tanah lapang yang luas karena kita memperhitungkan juga tingkat kemiringan dan sebagainya, karena konstruksinya akan dipastikan aman, tidak berpotensi longsor," imbuh Lukman.
ACT diketahui mulai melaksanakan aksi kemanusiaan untuk pengungsi gempa Ambon dengan membangun posko-posko bantuan dan dapur umum juga menurunkan tim medisnya, dua hari pascagempa bumi mengguncang Pulau Ambon dan sekitarnya.
Tercatat hingga saat ini sudah ada enam posko ACT yang tersebar, yakni satu posko induk di Desa Nania, satu posko wilayah di Suli, Kecamatan Salahutu (Pulau Ambon) dan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, serta Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat.
Sementara untuk posko logistik ditempatkan di Desa Liang dan Kabupaten Seram Bagian Barat. Sedangkan untuk dapur umum, sedikitnya sudah ada lima dapur umum yang dibangun tersebar berbagai lokasi pengungsian di wilayah Seram Bagian Barat dan Maluku Tengah.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019