Komisi IV DPRD Maluku menilai kebijakan pemerintah lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mengeluarkan juknis mematok 50 persen dana BOS untuk pembayaran upah guru honorer sebenarnya masih kurang.

"Untuk tahun 2020 ini sudah ada petunjuk dari kementerian, mengalokasikan dana BOS sebesar 50 persen untuk membayar gaji guru honorer," kata Ketua Komisi IV DPRD Maluku Samson Atapary di Ambon, Kamis.

Ia menjelaskan bahwa tadinya dana BOS itu dialokasikan hanya 20 persen dan sekarang naik menjadi 50 persen untuk bayarkan honor guru, tetapi kalau dihitung sebenarnya masih kurang.

Makanya rata-rata guru honor ini mendapatkan upah per bulan yang diterima setiap triwulannya hanya di kisaran Rp400.000 hingga Rp500.000.

"Memang ada beberapa sekolah, para guru honorer dibayar per jam setiap mengajar di kelas sehingga kalau dijumlahkan per bulannya bisa mencapai angka jutaan rupiah," ujar Samson.

Karena itu, kata dia, kesejahteraan tenaga guru honorer ini masih menjadi persoalan dan perlu dibicarakan secara kontinyu, supaya ada solusi yang baik dan bukan hanya menjadi tanggung jawab provinsi, tetapi juga pemerintah di tingkat pusat.

Karena untuk semua urusan gaji ini bersumber langsung dari dana alokasi umum yang disalurkan pemerintah, termasuk sarana dan prasarana pendidikan yang sebagian besar dari DAK.

Dia mengatakan, persoalan lainnya, bukan hanya guru honorer, tetapi ada yang dengan latar belakang pendidikannya bukan guru lalu diangkat menjadi pegawai negeri sipil, tetapi difungsikan menjadi guru akibat kekurangan tenaga pengajar di suatu sekolah.

Sehingga mereka tidak punya ketrampilan mengajar lalu sampai sekarang tidak ada peningkatan pengetahuan mereka sebagai guru kompetensi, dan kondisi ini hampir ditemukan pada seluruh kabupaten dan kota yang didatangi oleh Komisi IV DPRD Maluku saat melakukan agenda pengawasan.

"Jadi memang ada tantangan cukup berat, dimana harus ada penambahan guru ASN, kemudian kesejahteraan guru honor dan kontrak masih menjadi tanggung jawab yang harus dinaikkan karena kondisinya sangat miris dari beban mereka mengajar lalu menerima upah setiap triwulan sehingga anggaplah mereka kerja relawan," ujarnya.

Persoalan lainnya adalah kompetensi guru, karena belum ada peningkatan pengetahuan dan ketrampilan mereka mengajar, mulai dari angka dan bakat yang belum ada, termasuk distribusi guru yang belum merata.

Dia mengatakan ada beberapa sekolah untuk satu mata pelajaran bisa lebih dari dua tenaga guru, sehingga kadangkala per minggu guru yang bersangkkutan tidak bisa mendapatkan jatah mengajar sesuai yang disyaratkan oleh sertifikasi, yakni 24 jam, dan akibatnya mereka tidak mendapatkan tunjangan sertifikasi.

Bahkan, katanya, ada sekolah tertentu yang tidak ada guru untuk mata pelajaran tertentu.

Maka, menurut dia, perlu ada analisis pemetaan tentang penyebaran guru, kebutuhan per mata pelajaran, sehingga diharapkan paling lambat Tahun 2021 sudah selesai dilakukan pemetaan supaya kebijakan pemerataan guru di 11 kabupaten/kota bisa berjalan baik dan maksimal.

Yang pasti, kata dia, bukan hanya di Kota Tual, tetapi juga di Kabupaten Kepulauan Aru dan Maluku Tenggara bertemu semua pemangku kepentingan, termasuk para guru dan kepala sekolah dan komite sekolah untuk membicarakan masalah ini. Karena yang menjadi persoalan ini adalah tenaga pengajar dan ASN juga masih terjadi pengurangan.

Ambil contoh di Kota Tual, kata dia, sebelumnya satu sekolah bisa terdapat 70 guru 10 tahun lalu dan sekarang sudah berkurang jauh dan tersisa 40-an guru karena pensiun, namun belum ada guru pengganti.

"Makanya kenapa sekarang guru honor itu menjadi suatu kebutuhan untuk menutupi mata-mata pelajaran akibat tidak adanya guru berstatus ASN," kata Samson.

Persoalan lain, katanya, guru honor itu masih terbatas sebab mereka dibayar dengan mengharapkan dana BOS.

Pewarta: Daniel Leonard

Editor : Lexy Sariwating


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2020