Ambon (Antara Maluku) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ambon dan Imparsial Indonesia mendiskusikan isi Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Nasional (Kamnas) dan RUU Rahasia Negara yang secara struktural dinilai masih lemah dan tidak memihak kepada masyarakat sipil, Senin.
Diskusi publik yang diikuti oleh puluhan mahasiswa, aktivis kemanusiaan dan wartawan tersebut menghadirkan Peneliti Imparsial Ardi Manto Adiputra, Akademisi dari Universitas Darussalam (Unidar) Ambon Dayanto, dan anggota Dewan Etik AJI Ambon Al Mudatsir Sangadji sebagai pembicara.
Ketua AJI Ambon Abu Karim Angkotasan dalam kesempatan tersebut mengatakan, isi RUU Kamnas dan RUU Rahasia Negara masih bersifat "abu-abu", jika diresmikan tanpa proses perubahan maka dapat menghambat kerja jurnalis dalam mengakses informasi dan data karena bertolak belakang dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Di Maluku, dua RUU ini belum menjadi diskursus yang menarik bagi aktivis dan pekerja HAM, begitu juga dengan jurnalis, ini seharusnya menjadi wacana yang didiskusikan secara mendalam," katanya.
Sementara itu, Ardi Manto Adiputra mengatakan beberapa pasal krusial dalam RUU Kamnas masih multitafsir, represif dan subfersif, seperti Pasal 16 jo dan Pasal 17, dapat merujuk pada kelompok-kelompok yang kritis terhadap kekuasaan, akibatnya mogok masal dan sebagainya bisa didakwa sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional, dan presiden bisa menentukan ancaman potensial dan aktual.
"RUU ini dapat mendakwa teman-teman mahasiswa yang demo menolak kebijakan kenaikan harga BBM karena dianggap mengganggu stabilitas negara, begitu juga dengan demo buruh dan lain-lainnya," katanya
Peneliti dari Imparsial itu mengatakan, beberapa pasal lainnya juga masih harus ditelisik dengan seksama, seperti Pasal 28 J yang tidak berprespektif HAM, Pasal 12 jo Pasal 34 ayat 2 tentang status tertib sipil sebagai keamanan nasional dan pelibatan militer dalam masalah keamanan.
Begitu juga dengan Pasal 47 ayat 4 tentang legalisasi kelompok sipil bersenjata atau milisi, yang mana dibolehkannya pembentukan satuan-satuan sipil bersenjata atau milisi selama darurat militer, termasuk juga militerisasi sipil yang menjadi komponen cadangan berdasarkan keputusan presiden seperti dalam Pasal 35 ayat 6 jo dan Pasal 36 ayat 1 - 4.
"Pemberian kewenangan untuk menetapkan kebijakan keamanan nasional dan mengendalikan penyelenggaraannya kepada Dewan Keamanan Nasional (DKN) dalam Pasal 25 poin b adalah bentuk pengambil alihan kewenangan presiden yang jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi, sedangkan Forum Koordinasi Keamanan Nasional Daerah dalam Pasal 33, seperti masa orde baru," katanya.
Lebih lanjut Ardi mengatakan, sama halnya dengan RUU Kamnas, RUU Rahasia Negara juga masih belum jelas substansinya dan dapat menghambat penegakan hukum karena Pasal 27 menyatakan bahwa rahasia negara diperlukan polisi, jaksa, dan/atau hakim untuk kepentingan peradilan tidak dihadirkan secara fisik, melainkan digantikan dengan keterangan yang diterbitkan oleh pemilik informasi.
Dengan demikian, proses penyidikan kasus korupsi atau pelanggaran HAM akan terhenti jika suatu dokumen penting yang mampu mengungkap tindak pidana tersebut, dinyatakan sebagai rahasia negara, bahkan mungkin oleh pelaku yang masih menjabat kepala suatu instansi pemerintah.
Oleh karena itu, Ardi menilai, RUU Rahasia negara tidak dibutuhkan karena pengaturan tentang rahasia negara secara eksplisit telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, khususnya Pasal 17 mengenai informasi yang dikecualikan.
"Secara substantif, ruang lingkup yang diatur dalam RUU ini sangat luas dan bersifat karet sehingga berpotensi menghancurkan sendi-sendi kehidupan demokrasi khususnya kebebasan pers, menghambat pemberantasan korupsi dan menghambat penegakkan HAM," katanya.
Imparsial-AJI Diskusikan RUU Kamnas dan Rahasia Negara
Selasa, 12 Mei 2015 5:34 WIB