Manado, 30/6 (Antara Maluku) - Pengamat Ekonomi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado Agus Tony Poputra mengatakan kasus Britain Exit (Brexit) merupakan pelajaran berharga dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) saat ini.
"Bercermin dari Brexit, bergabungnya Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) perlu dicermati lebih lanjut agar tidak mengulang pengalaman Brexit," kata Agus di Manado, Kamis.
Pada UE, Jerman sebagai negara dengan perekonomian terbesar di blok tersebut menjadi negara yang paling dominan dalam kebijakan ekonomi dan politik.
Namun kondisi berbeda kemungkinan terjadi dalam MEA. Sebagai negara dengan perekonomian terbesar dalam MEA tidak serta merta Indonesia akan dominan menentukan kebijakan blok kerja sama ini. Faktor mengganjal di antaranya, Indonesia masih berkutat dengan angka kemiskinan yang tinggi.
Kemudian, katanya, kebijakan ekonomi yang tidak konsisten; dan banyaknya gaduh politik untuk hal yang tidak substansial serta menonjolkan kepentingan pribadi dan kelompok. Apabila dikaitkan dengan MEA+3 yang melibatkan Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan, maka Tiongkok berpotensi dominan dalam kebijakan MEA+3.
MEA sendiri pada dasarnya merupakan penyatuan ekonomi yang sangat rapuh atau mudah pecah. Faktor penyebabnya antara lain, banyak negara di ASEAN memiliki konflik perbatasan satu dengan lainnya dan sering saling mengganggu, perbedaan kondisi ekonomi yang sangat kontras, perbedaan sistem politik yang cukup signifikan, angka kemiskinan yang tinggi pada sebagian besar negara anggota.
Oleh sebab itu, kata Agus, MEA sebaiknya tidak perlu ditingkatkan derajat kerja samanya seperti UE sebab akan menimbulkan banyak mudharat ketimbang manfaat bagi negara anggota yang tidak dominan dalam kebijakan MEA.
Indonesia perlu memperjuangkan pasal perjanjian yang memuat pengunduran diri mudah (soft exit) apabila ada negara anggota MEA yang mundur. Ini didasarkan pertimbangan bahwa Indonesia berpotensi akan mundur di masa depan.
Ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Indonesia akan dirugikan dalam MEA, terutama dengan bebasnya tenaga terampil melakukan mobilasi antar negara di Asean. Indonesia sebagai negara dengan banyak tenaga kerja tidak terampil tentunya sulit memanfaatkan peluang tersebut bahkan menjadi pasar tenaga terampil dari negara lain.
Selain itu, katanya, tenaga kerja terampil Indonesia sulit masuk ke negara ASEAN lainnya. Negara-negara tersebut memiliki banyak tenaga kerja terampil dengan lapangan kerja yang terbatas sehingga akan melakukan berbagai cara untuk mendahulukan tenaga kerja mereka sendiri.
Inilah tantangan yang perlu menjadi bahan pemikiran para pemimpin bangsa Indonesia dalam mengejar kesejahteraan rakyat tanpa mengorbankan kedaulatan ekonomi dan politik.
Tanggal 24 Juni 2016 menjadi salah satu hari bersejarah bagi Inggris dan Uni Eropa (UE). Lewat referendum, 51,9 persen pemilih di Inggris memutuskan negara tersebut meninggalkan UE dimana dikenal sebagai Brexit.
Keputusan tersebut, katanya, bukanlah hal yang mudah karena banyak kebijakan pemerintah Inggris telah terbelenggu dengan keikutsertaan mereka dalam UE. Inggris diperkirakan akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri kembali sebagai negara berdaulat.
Hal ini dirasakan oleh Perdana Menteri David Cameron yang langsung mengumumkan pengunduran diri. Masalah yang dihadapi Inggris tidak sekedar itu, untuk keluar dari UE perlu waktu negosiasi dua tahun bahkan lebih setelah mengaktifkan Pasal 50 Traktat Lisabon.
Ini membuat perekonomian dan politik Inggris menghadapi masa transisi yang panjang dan rentan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin menghukum Inggris maupun para spekulator yang memanfaatkan kondisi ketidakpastian ini.
Keikutsertaan Inggris dalam Uni Eropa bukanlah tanpa berliku. Pada 1975 (baru 2 tahun begabung), Inggris telah melakukan referendum untuk memutuskan tetap di UE atau keluar dimana hasilnya kala itu Inggris tetap di UE. Saat ini situasinya telah berubah, referendum telah memenangkan kelompok Brexit.
Fenomena ini kemungkinan tidak dialami Inggris semata, kelompok-kelompok tertentu di Prancis, Belanda, dan beberapa negara lain dalam UE telah menggulirkan isu untuk mengikuti langkah Inggris.
Hal itu mengindikasikan penyatuan ekonomi seperti itu selain membawa manfaat sekaligus memberikan mudharat yang besar juga. Mudharat yang menjadi alasan Inggris keluar dari UE adalah negara tersebut merasa dikendalikan oleh Uni Eropa, baik dalam kebijakan ekonomi maupun politiknya.
Kedua, persoalan imigran yang masuk ke Inggris dimana sulit dibendung karena kesepakatan dalam UE dan iuran keanggotaan yang terlalu besar.