Ambon, 28/10 (Antara Maluku) - Cucu pahlawan AM Sangadji, Almudatsir Sangadji berorasi kebangsaan di malam refleksi peringatan Hari Sumpah Pemuda yang dilaksanakan oleh kelompok Cipayung Plus, di Ambon, Sabtu malam.
Digelar di kawasan Pattimura Park, Almudatsir yang berprofesi sebagai pengacara, berorasi di hadapan puluhan mahasiswa dan pemuda dari berbagai organisasi kepemudaan, sekitar 15 menit lamanya.
"Hari ini dalam putaran kalender 89 tahun lalu, anak bangsa, mereka berbeda daerah, identitas suku dan agama namun memiliki imajinasi kolektif yang sama, embrio ide terbentuknya negara Indonesia," kata Almudatsir dalam orasinya.
Ia mengatakan Sumpah Pemuda merupakan peristiwa monumental kebangsaan yang perlu direfleksikan terus menerus, terutama konteks dan pesan yang terkandung di dalamnya.
Mengutip Anthony Giddens, pakar sosiologi dari Inggris dalam tulisannya "tidak ada bangsa yang tergesa mati tanpa didahului kematian refleksi", sangat penting bagi para pemuda di masa kini untuk terus merefleksikan dirinya terhadap perjalanan bangsa ke depan.
"Bangsa ini terjahit dengan rupa warna kemajemukan, baik etnis, agama maupun kebudayaan. Tuhan mempersatukan kita sebagai bangsa melalui perjuangan senior-senior kita di masa lalu," katanya.
Sumpah Pemuda, kata Almudatsir lagi, mengandung dua dimensi mendasar, yakni sebagai ingatan kolektif tentang sejarah ke-Indonesia-an yang telah menembus tembok primordial kedaerahan, dan sebagai konsolidasi gerakan protes atas ketidakadilan kolonialisme.
Di masa sekarang, peristiwa itu bisa dijadikan sebagai gerakan profetik dan progresif melawan segala macam bentuk ketidakadilan yang menggerogoti nilai-nilai kebangsaan, seperti neokolonialisme, feodalisme, kleptokratisme, fanatisme etnik dan fundamentalis agama yang memboncengi politik dan kuasa wacana.
Karena mengilhami Sumpah Pemuda adalah kerja kolektif kaum muda untuk memajukan kesejahteraan rakyat, mendorong pemerintahan yang bersih dan akuntabel, serta merawat nasionalisme.
"Kita berhutang kepada pemuda-pemudi yang berkumpul di sebuah rumah di jalan Kramat Jaya Nomor 106, Jakarta, 89 tahun lalu. Kita ada di fase yang berbeda saat negeri ini telah menyatakan kemerdekaan dan mengisi pembangunannya," ucapnya.
Almudatsir dalam orasinya yang bertajuk `Kontiunitas Sumpah Pemuda: Landasan Pacu Kebangsaan`, juga sempat menyinggung tentang kakeknya A.M. Sangadji yang dikatakannya tidak banyak ditulis dalam buku-buku sejarah.
A.M. Sangadji dikenal sebagai si Jago Tua, ia juga turut terlibat dalam Kongres Pemuda II yang telah melahirkan kesepakatan Sumpah Pemuda.
"Saya mengenalnya sebagai pejuang justru bukan dari buku sejarah dan jejak perjuangannya, namun dari balasan surat yang dia tulis kepada ayahnya," kata Almudatsir.
Diceritakannya, A.M. Sangadji pernah diminta oleh ayahnya untuk pulang kampung dan menjadi raja di Desa Rohomoni, Kecamatan Pulau-Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, tapi dalam balasan suratnya, si Jago Tua menulis "lebih baik berjuang untuk merdeka daripada menjadi raja".
"Surat itu dia tulis dari Yogyakarta, menjawab surat panggilan ayahnya untuk pulang menjadi raja di negerinya, Rohomoni," ujarnya.
Orasi kebangsaan Almudatsir Sangadji merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Sumpah Pemuda yang ke-89 oleh organisasi kepemudaan, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan lainnya.
Dalam kesempatan itu juga digelar "Deklarasi Jong Ambon untuk Indonesia Satu" yang dicetuskan oleh Bansa Hadi Sela (Badan Koordinasi HMI Maluku - Maluku Utara), Dodi L. Soselisa (GMKI Maluku), Tarsisius Sarkol (PMKRI Maluku), Lahol Yeubun (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia - PMII Maluku), Jopi Ferdinandus (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia - GMNI Maluku), Lutfi Abdullah Wael (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah - IMM Maluku) dan La Jainuri (KAMMI Maluku).