Ketidaksetaraan gender dalam rumah tangga dapat menjadi salah satu penyebab sering terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). "Ketidakseimbangan posisi suami - istri atau ketidak setaraan gender, misalnya dalam pembagian masalah pekerjaan rumah, mengurus anak dan sebagainya dapat menjadi pemicu terjadinya konflik yang berujung pada kasus KDRT," kata Direktur Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN) Maluku Bai Hadjar Tualeka kepada ANTARA di Ambon, Senin. Tualeka mengatakan, kebanyakan dari kasus-kasus KDRT, perempuan atau istri selalu berada dalam posisi lemah dan kerap terjebak dalam situasi sulit untuk memilih, sehingga mengalami kekerasan secara psikis dan fisik. Hal ini disebabkan oleh budaya patriarki yang berkembang dalam masyarakat, menomor duakan perempuan. Selain itu minimnya tingkat pendidikan dan pengetahuan mereka mengenai hak-haknya. "Beragam alasan mulai dari masalah ekonomi dan anak mengharuskan banyak wanita memilih mengalah untuk menghindari terjadinya keributan maupun perceraian, tetapi ini justru menempatkan mereka sebagai korban dan itu tidak disadari," katanya. Menurut Tualeka, kendati telah berkali-kali mengalami KDRT, banyak wanita tidak berani melaporkan apa yang dialaminya kepada pihak kepolisian maupun lembaga-lembaga non pemerintah yang bergerak di bidang perlindungan dan pemberdayaan perempuan, dikarenakan malu dan tidak adanya akses. "Banyak juga yang melapor, tapi tuntutannya dicabut kembali, karena alasan takut aib keluarga tersebar dan tidak adanya dukungan ekonomi, apabila kasusnya berakhir dengan perceraian," katanya. Ia menambahkan, di Maluku sendiri kasus KDRT juga meningkat. Tahun 2009 tercatat ada 53 kasus KDRT yang pernah ditangani oleh LAPPAN. Jumlah tersebut meningkat menjadi 63 kasus pada 2010. "Perempuan harus berani menentukan sikap, untuk itu mereka juga harus memberdayakan diri sendiri dan tidak bergantung pada suami," kata Bai Hadjar Tualeka.

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2011