Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon, Maluku, diminta membatasi jumlah pegawai honorer atau kontrak pada seluruh instansi jajaran organisasi perangkat daerah dikarenakan beban belanja pegawai telah mencapai hampir separuh dari APBD. 

"Sebenarnya ini agendanya evaluasi kita untuk penyerapan APBD, tapi karena ini berkaitan dengan Badan Kepegawaian, sehingga fokus kita pada jumlah ASN di Kota Ambon. Karena dalam postur APBD kita, belanja pegawai sudah lebih mencapai 40 persen dari total ABPD. Karena besaran APBD kita hampir 40 persen habis untuk gaji ASN,” kata Ketua Komisi II DPRD Kota Ambon, Christianto Laturiuw, di Gedung DPRD Ambon, Kamis.

Menurutnya, saat ini terdapat 1.063 orang tenaga non-ASN di Kota Ambon. Sementara standar UMP Kota Ambon mencapai Rp2,6 juta. Jika dikalikan dengan 1.063 orang, maka per bulan harus dianggarkan Rp 2,7 miliar, dan dalam setahun sebesar Rp33 miliar lebih.

Jumlah tersebut belum termasuk tenaga ASN dengan jumlah 4.806 yang standar gaji berkisar Rp4-Rp5 juta. Sehingga komposisi belanja daerah khusus untuk belanja pegawai tergolong sangat tinggi.

"Fakta demikian bukan berarti kita melarang orang untuk menjadi ASN, tapi yang paling penting adalah BKD harus menyampaikan porsi untuk satu OPD itu jumlah pegawai idealnya berapa, harus ada standar," ujarnya.

Politisi yang akrab disapa Tito itu menyebut, Kepala OPD tidak boleh diberikan kewenangan yang luas untuk mengangkat orang menjadi tenaga honor dan yang diangkat harus sesuai kebutuhan instansi dengan mempertimbangkan keuangan daerah.

"Terbukti sekarang kan banyak pegawai yang nganggur. Artinya lebih sedikit beban bekerja, banyak waktu yang nganggur, sehingga tidak efektif. Banyak tenaga tapi sedikit kerja," tuturnya.

Menurutnya, rekrutmen pegawai non-ASN juga harus mengarah pada spesifikasi. Jangan hanya diangkat dan tercatat sebagai tenaga honorer tapi tidak ada outputnya. Kalau diongkosi dengan uang pribadi kepala OPD, tidak masalah. 

"Tapi kalau dibebankan pada APBD hanya untuk menghabiskan anggaran, apa tanggungjawab sebagai pegawai," ungkap Tito.

Ia menjelaskan, penataan tenaga non-ASN pada pemerintah daerah adalah bagian dari langkah strategis untuk membangun SDM ASN yang lebih profesional dan sejahtera serta memperjelas aturan dalam rekrutmen. Sebab tidak jelasnya sistem rekrutmen tenaga honorer  berdampak pada pengupahan yang kerap dibawah upah minimum regional (UMR). 

Baca juga: DPRD Ambon sebut gaji ASN pemkot Ambon kuras 40 persen APBD, begini penjelasannya

Menpan-RB juga telah mengimbau agar para Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) instansi pemerintah untuk menentukan status kepegawaian pegawai non-ASN paling lambat 28 November 2023.

Hal itu tertuang dalam surat Menteri PANRB No. B/185/M.SM.02.03/2022 perihal Status Kepegawaian di lingkungan instansi pemerintah pusat dan daerah. Hal utama yang diharapkan, PPK diminta untuk menyusun langkah strategis penyelesaian pegawai non-ASN yang tidak memenuhi syarat atau tidak lulus seleksi Calon PNS dan PPPK sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum batas waktu tanggal 28 November 2023. 

Pemerintah pusat juga mengharapkan agar pengangkatan pegawai melalui pola outsourcing sesuai kebutuhan harus dilakukan dengan mempertimbangkan keuangan dan sesuai dengan karakteristik masing-masing kementerian/lembaga/daerah.

Kalau tenaga non-ASN di Ambon mau dialihkan ke outsourcing, maka BKD harus siapkan skema tersendiri. "Aturannya sudah turun, tapi 1063 pegawai non-ASN ini mau di outsourcing dengan cara apa. Pihak ketiga yang mana yang mau menampung mereka. Jadi pemkot harus batasi itu," pungkasnya.

Baca juga: Bupati Tanimbar serahkan SK pengangkatan 2.000 pegawai honorer, begini penjelasannya

Pewarta: Winda Herman

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2022