Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS) meminta pemerintah untuk lebih mencermati pengukuran tinggi dan berat tubuh anak dibandingkan terus mengejar besar capaian angka kekerdilan pada anak (stunting).

“KOPMAS melihat itu hanya mengatasi persoalan angka, yang penting bagaimana angkanya turun, turun dan data masuk seperti itu. Itu yang sangat KOPMAS sedihkan,” kata Sekretaris Jenderal KOPMAS Yuli Supriati dalam workshop “Menganalisis Tren Stunting dan Persoalan Sistematis Gizi Buruk” yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (4/8).

Yuli menuturkan target penurunan angka prevalensi stunting menjadi 14 persen pada tahun 2024, mendorong pemerintah daerah untuk saling berlomba mengejar sebuah “prestasi” menurunkan angka di wilayahnya.

Sayangnya penurunan angka prevalensi stunting di daerah belum bisa dikatakan berjalan optimal dan tepat, sesuai dengan keadaan nyata yang berada di lapangan.

Penyebab yang ditemukan pihaknya di lapangan adalah kurang maksimalnya keterlibatan kader dan posyandu saat melakukan pendataan tinggi badan dan berat badan tiap anak secara berkala.

Ia mencontohkan di Depok, Jawa Barat, ditemukan kasus di mana ketua RT melakukan pendataan dan pencatatan sebatas melalui grup Whatsapp saja. Semua data yang tercatat murni bersumber dari orang tua yang memiliki kemungkinan tidak memiliki atau tidak melakukan pengukuran menggunakan alat ukur berat dan tinggi badan.

“Nanti dikirimkan ke Ibu RT dan mungkin dikirim ke kader, jadi dari kader akan disampaikan ke puskesmas. Yang jadi pertanyaan ini keterlibatan kader kesehatannya ada di mana? Ketika orang tua yang mengukur tinggi badan dan berat badan, apakah kita yakin dia di rumah punya timbangan badan?,” kata dia.

Hal lain yang ditemukan pihaknya yakni adanya salah satu daerah di Sumatera Utara yang mengaku telah mencapai zero stunting, namun setelah kembali ditelusuri masih dapat banyak ditemukan anak-anak yang mengalami gizi buruk atau mengarah pada stunting.

Menurutnya, faktor yang menyebabkan keberhasilan penurunan angka stunting tidak bisa hanya diukur dari tinggi atau rendahnya capaian angka pada data saja. Terdapat faktor budaya atau keyakinan yang harus diperhatikan.

Selain kurangnya ukuran berat dan tinggi badan, pemerintah juga harus mencermati terjadinya stunting kemungkinan disebabkan oleh tidak adanya pemberian imunisasi dan adanya kepercayaan kalau memberikan susu dapat menyebabkan anak mengalami sakit perut.

“Jadi bagaimana dengan data yang didapatkan? apakah itu benar-benar fakta yang akurat seperti itu,” ujar dia.

Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso membenarkan apabila salah satu penanganan stunting pada anak di Indonesia, memang menyangkut mengumpulkan data yang tepat sesuai dengan keadaan di lapangan.

Namun untuk mengatasi permasalahan tersebut, IDAI bersama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Kementerian Kesehatan mulai melakukan audit kasus stunting agar

IDAI juga akan memperbaiki pengukuran menggunakan alat antropometri yang sesuai dengan standart kesehatan. Dengan demikian, orang tua tidak perlu lagi untuk melakukan pengukuran sendiri dan data dapat tersusun secara riil.

“Tapi ini dengan petugas yang sudah terlatih ya dan dengan cara pengukuran yang benar,” kata Piprim.




Baca juga: Kemenkes: Pangan lokal jadi alternatif cegah kejenuhan bantuan stunting

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti

Editor : Moh Ponting


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2022